• LAINYA

ETIKA-POLITIK–Selain multilevel dan bertingkat-tingkat, marah juga bisa beragam karena relasi yang berbeda, seperti relasi antara yang-kuat dan yang-lemah. Marahnya orang kuat terhadap orang lemah tidak sama dengan marahnya orang lemah terhadap orang kuat. Status kuat-lemah ini bisa bersifat fisik (gempal-ringkih), ekonomi (kaya-miskin), sosial (tokoh-awam, senior-junior, orangtua-anak, kakak-adik), politik (penguasa-rakyat).

Dalam Bahasa Arab (Mustafawi, Al-Tahqiq fi Kalimat Al-Qur’an, jld. 5), marahnya orang kuat terhadap orang lemah disebut sakhitha, kurang-lebih sepadan dengan murka. Kita tidak mengatakan, “Anak itu murka pada ayahnya”. Tetapi kita masih tepat mengatakan, “Ayah itu murka pada anaknya.”

Sebaliknya, marahnya orang lemah pada orang kuat disebut ghaydh, yakni kesal, sebal dan geram. Dalam Al Imran: 119, “Katakanlah, ‘Matilah kamu karena ghaydh-mu!'”, yakni karena kekesalan, kejengkelan dan kedongkolanmu.

Karena tak mampu melawan, pilihan orang lemah, biasanya, adalah menahan marah dan memendam gejolak perlawanan sehingga mengendap di hati berupa kesal dan geram yang diungkapkan dengan cara-cara seperti: menggerutu, mengomel, mengumpat di belakang atau, jika percaya Tuhan, dia akan mengeluhkan suara hatinya pada Dia dan berdoa untuk keburukan lawannya. Dalam hadis Qudsi disebutkan, “Aku berada bersama orang-orang yang hancur hatinya.” 

Maka tidak keliru bila dikatakan bahwa orang lemah yang berani dan berhasil mengeskpresikan marahnya di hadapan orang kuat sesungguhnya tidak lagi lemah, tetapi sudah mengklaim dirinya kuat atau sama-sama kuat.

Orang lemah secara lahiriah namun kuat dan tangguh secara batin (kuat tekad dan keyakinan) dialah yang akan mudah berjihad, dan “Jihad paling utama ialah mengatakan kebenaran di hadapan penguasa zalim.”

Dikatakan “jihad” karena dilakukan dalam keadaan lemah hingga membutuhkan pengerahan kekuatan yakin dan kehendak dalam dirinya. Lalu dikatakan “paling utama” karena jihad dan perjuangannya, meski berupa kata-kata, teriakan, tulisan, termasuk aksi unjuk rasa, dilakukan dengan dukungan minim dan resiko yang besar di hadapan pihak (penguasa) yang memiliki segala cara dan perangkat membalas. Dalam pengertian ini pula, kemarahan rakyat adalah kekuatan dan jihad. Kemarahan rakyat bisa pecah sebagai parade perayaan perlawanan dan suka-cita people power.

Baca Juga :  Bismillah: Ayat tentang Manusia dan Kelayakan Mengatasnamakan Allah

Tentu ingat dengan hadis yang dicatat Imam Muslim dari Nabi SAW, “Barangsiapa yang melihat kemungkaran, maka ubahlah dengan tangannya, jika tidak mampu, maka dengan lisannya, jika tidak mampu juga, maka dengan hatinya, inilah iman paling lemah.”

Dalam Tuhfat Al-Ahwadzi, dengan hatinya yaitu dengan ketidaksukaan dan kemarahan dalam hatinya. Maka, marah yang tertahan di hati adalah bagian dari iman.

Akan tetapi, orang kuat yang melampiaskan geram, dendam dan kesumatnya terhadap orang lemah sesungguhnya bukan orang kuat dan tangguh, tetapi lemah dan, tentu saja, penakut. Bukan hanya penakut, dia bahkan pengecut saking takut kehilangan kekuatannya hingga marah lantas menindak dan membalas orang lemah yang mengancam kekuatannya. Merasa dirinya terancam oleh orang lemah saja sudah merupakan kelemahan, kepengecutan, kekerdilan dan kepecundangan.

TATKALA DITANYA, “APAKAH AKAR KEMARAHAN?”, NABI ISA A.S. BERKATA, “SOMBONG, CONGKAK, DAN MEMANDANG RENDAH ORANG LAIN.”

Sebaliknya, keberhasilan orang kuat menahan murkanya terhadap orang lemah tidak akan menyusut apalagi menghilangkan status kuatnya. Tidak marahnya orang kuat pada saat tersulut marah bukan kelemahan dan ketakutan, tetapi justru membuktikan dirinya sebagai orang kuat sejati, berani sejati, dan tangguh sejati.

Dia tidak berusaha membalas dalam keadaan mampu membalas; dia tidak menggunakan fasilitas dan kemewahan (status, gelar, jabatan, kewenangan, aparatur, akses, relasi, media, kepemilikan) apa pun hanya untuk mempertahankan hak dirinya dengan cara menindak, menaklukkan dan melemahkan orang yang sudah lemah.

KAPAN AKU MEREDAKAN KESALKU SAAT AKU MARAH? APAKAH SAAT AKU TAK MAMPU MEMBALAS LALU AKU DIINGATKAN, “SEBAIKNYA KAMU BERSABAR!”, ATAUKAH SAAT AKU MAMPU MEMBALAS LAU AKU DIINGATKAN, “SEBAIKNYA KAMU MEMAAFKAN!”?–Ali bin Abi Thalib ra.

Keberhasilan orang kuat menahan murka, selanjutnya, akan menumbuhkan karakter hilmi (kesatria dan berjiwa besar), pemaaf, penyabar, pemaklum, mengalah, masabodoh (taghaful), toleran, tulus ikhlas, dan penyayang. Hadis Nabi SAW, “Memaafkan adalah cara mensyukuri kekuasaan.”

Dalam hadis lain disebutkan, “Allah tidak menambahkan kepada orang pemaaf kecuali kemuliaan.” (Tafsir Ibnu Katsir, jld. 7: 212).

Baca Juga :  Filsafat Nikah dan Keluarga dalam Alquran (1): Pendahuluan

وَالَّذِينَ يَجْتَنِبُونَ كَبَائِرَ الْإِثْمِ وَالْفَوَاحِشَ وَإِذَا مَا غَضِبُوا هُمْ يَغْفِرُونَ
“Dan (bagi) orang-orang yang menjauhi dosa-dosa besar dan perbuatan-perbuatan keji, dan apabila mereka marah mereka memberi maaf” (QS. Al-Syura [42]: 37).

Ketika Rasulullah menyerukan Islam ke warga Tsaqif dan dibalas dengan perlakuan kasar hingga Jibril bersama malaikat gunung yang siap melaksanakan perintahnya, namun beliau menolak mendoakan binasa atas mereka dan berkata, “Ya Allah, berilah petunjuk kepada umatku, karena mereka tidak mengerti.”

Doa kebaikan yang sama kerap beliau ulang-ulang dalam peristiwa serupa dengan warga Thaif, kaum Daus, pasca kekalahan di perang Uhud, dalam pembagian rampasan perang Hunain di Jakranah, bahkan terhadap sebagian sahabatnya yang berbicara kasar terhadap beliau (Al-Albani, Al-Silsilah Al-Shahihah).

Pengalah adalah pemenang, tapi kalah itu pecundang. Hanya orang kuat yang bisa mengalah, dan hanya orang lemah yang jatuh kalah. Adapun orang kuat punya pilihan: menjadi pengalah atau pemenang.

Orang kuat yang adil dan beradab adalah manusia yang diberi karunia kekuatan untuk digunakan pada tempatnya dan sesuai porsinya; ia mengalah pada orang lemah dan membalas pada sesama yang kuat atau yang mengklaim/bertingkah kuat.

فَمَنِ اعْتَدَىٰ عَلَيْكُمْ فَاعْتَدُوا عَلَيْهِ بِمِثْلِ مَا اعْتَدَىٰ عَلَيْكُمْ
Maka, barangsiapa yang menyerang kamu, maka seranglah ia, setimpal dengan serangannya terhadapmu (QS. Al-Baqaah [2]: 194)

وَإِنْ عَاقَبْتُمْ فَعَاقِبُوا بِمِثْلِ مَا عُوقِبْتُم بِهِ ۖ وَلَئِن صَبَرْتُمْ لَهُوَ خَيْرٌ لِّلصَّابِرِينَ
Dan jika kamu memberikan balasan, maka balaslah dengan balasan yang sama dengan siksaan yang ditimpakan kepadamu. Akan tetapi jika kamu bersabar, sesungguhnya itulah yang lebih baik bagi orang-orang yang sabar (QS. Al-Nahl [16]: 126).

وَجَزَاءُ سَيِّئَةٍ سَيِّئَةٌ مِّثْلُهَا ۖ فَمَنْ عَفَا وَأَصْلَحَ فَأَجْرُهُ عَلَى اللَّهِ ۚ إِنَّهُ لَا يُحِبُّ الظَّالِمِينَ
Dan balasan suatu kejahatan adalah kejahatan yang serupa, maka barang siapa memaafkan dan berbuat baik maka pahalanya atas (tanggungan) Allah. Sesungguhnya Dia tidak menyukai orang-orang yang zalim (QS. Al-Syura [42]: 40).

Dikisahkan pada suatu hari, Nabi SAW lewat di sekelompok orang yang sedang mengangkat batu. “Ada apa ini?” tanya Nabi. Mereka menjawab, “Dengan cara ini kami bisa tahu siapa di antara kami yang paling hebat dan paling kuat.” Nabi bertanya, “Tidakkah kalian ingin aku beritahu orang yang paling hebat dan paling kuat di antara kalian?” “Iya, wahai Utusan Allah”, jawab mereka.

Baca Juga :  Siapa Orang Pertama Penghapal Alquran?

Nabi SAW bersabda, “Orang yang paling hebat dan paling kuat di antara kalian dialah orang yang, jika senang, kesenangannya tidak menjebaknya masuk ke dalam perbuatan dosa dan sia-sia, dan jika marah, kemarahannya tidak mengeluarkannya dari mengatakan kebenaran, dan jika berkuasa, dia tidak akan mengambil yang bukan haknya.”

Dengan karakter hilmi, kesatria dan tahan marah, suami dan orang tua jadi pengayom bagi istri dan anak-anak, teman jadi kepercayaan, ulama jadi teladan, penguasa jadi negarawan, bangsa jadi keluarga, guru jadi pendidik, pekerja jadi pahlawan, pengusaha jadi penyantun, dan negeri jadi mulia dan makmur. Dalam hadis suci Nabi SAW, “Orang halim (berjiwa besar) nyaris menjadi nabi.”

Orang kuat dan pihak berwenang perlu marah hingga menampakkan ketegasannya menindak setiap aksi kekerasan, kerusuhan dan kekacauan. Hanya perlu juga dicatat bahwa marah dan ketegasan jangan sampai cenderung otoriter dan, tentu saja, sombong dan angkuh dengan meninggalkan azas keadilan dan menerjang proses pengadilan.

Apa jadinya bila orang kuat itu bernafsu membalas dendamnya kepada orang lemah di bawahnya? Tidak ada sebutan yang layak untuknya selain curang, kerdil, pongah, angkuh dan bengis; dia beraninya hanya terhadap yang lemah.

Bisa dibayangkan betapa radikalnya kecurangan, kekerdilan, kepongahan, keangkuhan dan kebengisan orang kuat yang, disulut api marah, lantas membalas dendam dan melampiaskan nafsu kesumatnya dengan cara menindak orang lemah dengan kekuatan status dan kewenangan yang diperolehnya dari orang lemah itu. Semua kekejaman ini diperas dalam kata munafik atau binatang.

Dalam hikmah kebijaksanaan Sayyidina Ali bin Abi Thalib ra., “Orang yang dikuasai oleh nafsu amarah dan syahwatnya berada dalam habitat binatang ternak.”

Lantas, bagaimana jadi orang kuat yang adil dan beradab? Bagaimana mengganti marah dengan jiwa besar dan kesatria? Bersambung

Share Page

Close