• LAINYA

TAFSIR-Q&A–Di banyak ayat disebutkan tidak ada sesuatu apa pun yang lepas dari kekuasaan dan liputan pengetahuan Allah. Dia mengetahui lahiriah dan batiniah segala sesuatu yang sudah dan akan terjadi. Jika demikian, tentu Allah sudah mengetahui batin jiwa dan perbuatan manusia. Lalu, untuk apa lagi Allah menguji manusia? Apa lagi yang tersembunyi dari Allah sehingga dia perlu menguji manusia agar menjadi tampak hakikat dirinya bagi Dia?

Dua hal ini tampaknya kontradiktif: Allah mahatahu tetapi juga masih menguji manusia.

وَأَسِرُّوا قَوْلَكُمْ أَوِ اجْهَرُوا بِهِ ۖ إِنَّهُ عَلِيمٌ بِذَاتِ الصُّدُورِ . أَلَا يَعْلَمُ مَنْ خَلَقَ وَهُوَ اللَّطِيفُ الْخَبِيرُ

“Dan rahasiakanlah perkataan kalian atau nyatakanlah! Sungguh Dia Maha Mengetahui segala isi hati. Tidakkah yang menciptakan itu tidak mengetahui?! Padahal Dia Mahahalus dan Maha Mengetahui (QS. Al-Mulk [67]: 13-14).

Namun sebelumnya, masih di surah yang sama, Allah berfirman:

الَّذِي خَلَقَ الْمَوْتَ وَالْحَيَاةَ لِيَبْلُوَكُمْ أَيُّكُمْ أَحْسَنُ عَمَلًا ۚ وَهُوَ الْعَزِيزُ الْغَفُورُ

“Yang menciptakan mati dan hidup untuk menguji kalian siapa di antara kalian yang lebih baik amalnya. Dan Dia Maha Perkasa Maha Pengampun” (QS. Al-Mulk [67]: 2).

Tampaknya, pemecahan kontradiksi tadi terletak di falsafah pengujian: untuk apa menguji? Apa tujuan dari menguji sesuatu?

Penjelasan Pertama
Galibnya, kita menguji sesuatu untuk mengetahui secara pasti kenyataan sesuatu tersebut. Pedagang di pasar, misalnya, menguji nilai barang dagangannya dengan menimbangnya di atas timbangan. Dalam pengujian dan penimbangan itu, perlu ada indikator yang menjadi ukuran penentu nilai barangnya. Dengan begitu, ia akan meletakkan barang di timbangan dengan tujuan: memastikan berapa bobot dan nilai yang sesungguhnya.

Timbangan itu sendiri hanyalah alat menguji dan mengukur, sementara fungsinya hanyalah menguji dan menentukan bobot sesungguhnya dari barang yang ditimbangnya. Timbangan, betapapun, tidak berpengaruh apa-apa dalam mengurangi ataupun menambahi bobot dan nilai barang yang ditimbangnya.

Baca Juga :  QS. al-Hajj [22]: ayat 38, Konfrontasi antara Mukmin, Pengkhianat dan Kafir

Tetapi, selain untuk memastikan kenyataan nilai sesuatu, ujian juga berfungsi sebagai penyempurnaan dan aktualisasi potensi. Adakalanya sekolah, misalnya, menyelenggarakan ujian tidak semata-mata untuk mengetahui kemampuan anak didik, tetapi juga menempa anak untuk menunjang kesiapannya mengubah potensinya kelak jadi aktual.

Demikian pula ujian dan musibah bukan hanya sebagai alat mengukur bobot, nilai dan tingkatan sesuatu, tetapi juga berfungsi sebagai alat penambah bobot, pengangkat nilai, penyebab peningkatan kualitas dan potensi.

Dalam fungsi ini, pengujian Allah atas manusia tidaklah bertentangan dengan kemahatahuan-Nya. Allah Mengetahui takdir manusia serta nasib hidupnya: Dia mengetahui takdirnya sebagai makhluk yang hidup dengan kehendak-bebas, dan Dia mengetahui bahwa nasib hidupnya diperoleh dengan kehendak bebas dan pengujian. Pengujian inilah sarana Allah menunjang manusia untuk mencapai kesempurnaan dirinya sebagai nasib hidup yang sesungguhnya.

MUSIBAH DAN BENCANA ADALAH ALAT PENGGALI KANDUNGAN HAKIKAT DARI DALAM DIRI MANUSIA HINGGA NYATA DAN AKTUAL BAGI DIRINYA SENDIRI.

Allah menguji seseorang agar dia sendiri tahu dan menyadari betapa nilai dan derajat kepribadian dirinya sendiri, karena segala sesuatu sudah nyata bagi Allah dan tidak ada yang tersembunyi dari Dia. Di samping itu, Allah menguji manusia untuk meningkatkan kualitas kepribadian dan menyempurnakan jiwa dan mematangkan potensi kesempurnaan dirinya. Dengan ujian, menusia sendiri dalam perbuatan dan sikapnya akan menunjukkan tingkat kemanusiaannya, mana di antara kalian yang terbaik amalnya (QS. Al-Mulk [67]: 2).

Penjelasan Kedua
Pengujian adakalanya dimaksudkan untuk kepentingan diri penguji, adakalanya untuk kepentingan diri yang diuji. “Rahmat-Ku meliput segala sesuatu” (QS. Al-A’raf [7]: 156). Maka, pengujian Allah tentu didasarkan pada rahmat-Nya untuk menunjang manusia memaksimalkan kandungan potensi dirinya yang tak terbatas.

Baca Juga :  Tadabur: QS. Ghafir [40]: ayat 39

“Kendatipun Dia Yang Mahasuci adalah lebih mengetahui kenyataan mereka daripada diri mereka sendiri, akan tetapi amal perbuatan agar tampak nyata sehingga pantas menerima pahala dan siksa” (Ali bin Abi Thalib, Nahj al-Balāghah, kalimat pendek no. 93).

Dampak positif minimal yang dapat diperoleh manusia dari rahmat-ujian Allah ialah menyadari nilai dan kualitas dirinya dalam menghadapi ujian tersebut. Karena itu, ujian juga berfungsi sebagai alat ukur yang menampakkan kadar nilai kemanusiaan seseorang, sekaligus juga sebagai hujah dan persaksian Allah atas dirinya.

Dari kalimat Imam Ali di atas dapat dipahami bahwa sifat dan karakter yang masih terpendam belum cukup menjadi referensi dan ukuran penentu pahala dan siksa, tetapi harus tampak dalam bentuk perbuatan. Untuk itu, Allah menguji setiap orang agar apa yang terpendam dalam dirinya menjadi tampak dalam perbuatannya dan kandungan potensi dirinya menjadi aktual. Dengan begitulah ia berhak diganjar pahala atau pantas dihukum.

وَلِيَبْتَلِيَ اللَّهُ مَا فِي صُدُورِكُمْ وَلِيُمَحِّصَ مَا فِي قُلُوبِكُمْ ۗ وَاللَّهُ عَلِيمٌ بِذَاتِ الصُّدُورِ

“Dan untuk menguji apa yang ada dalam dada kalian dan untuk memurnikan apa yang ada dalam hati kalian. Dan Allah Maha Mengetahui isi hati” (QS. Al Imran [3]: 154).

Share Page

Close