• LAINYA

Seperti dijelaskan sebelumnya, untuk memperoleh pengetahuan—di luar wahyu yang hanya terbuka untuk kalangan tertentu—manusia memiliki alat indera, akal, dan intuisi sebagai sarana kasyf ‘penying-kapan hakikat’. Sepanjang sejarah, sangat banyak ilmuwan yang mengakui sarana-sarana pengetahuan tersebut. Usaha mereka untuk mengharmonikannya juga layak diacungi jempol. Ibnu Sina, tokoh filosof Peripatetis Islam, misalnya, cenderung mengandalkan akal dan pembuktian logis.

Namun pada saat yang sama, dia tidak menye-pelekan intuisi atau proses penyingkapan. Posisi dan kondisi kaum arif diklasifikasikan secara sistematis dalam karya filosofisnya yang mutakhir, Al-Isyârôt wa Al-Tanbîhât. Dengan maksud menggugat, Fakhru Razi mengomentari buku itu.

Di awal Bab Kesembilan, dia membubuhkan catatan:[1] “Bab Kesembilan lebih penting dari semua bab lain dalam buku ini. Karena pada bab ini, penulis telah melakukan klasifikasi terhadap ilmu-ilmu sufi yang tak seorang pun sebelum dan setelahnya mampu melakukannya.”

Kendati begitu, sebagian kaum arif masih merasa kurang puas ter-hadap ikhtiar Ibnu Sina itu. Pada hemat mereka, mustahil seseorang menjejakkan kaki nalarnya di ranah khusus kerinduan.

Hai kamu yang mengaji ayat cinta dari buku akal

aku kuatir kau tak tahu yang sebenarnya.[2]

Syihabudin Suhrawardi juga menulis Hikmah Al-Isyrôq; sebuah karya untuk memadukan filsafat dan irfan; akal dan intuisi. Dalam pengantar buku itu, filosof ini menyatakan bahwa mula-mula, kandungan bukunya diperoleh via intuisi dan kasyf, kemudian dia merumuskan dalil aklani dan pembuktian demonstratif sebagai pendukung.[3]

Usaha terbesar mengharmonikan filsafat, irfan dan wahyu dilaku-kan Shadrul Muta’allihin Syirazi dalam Al-Hikmah Al-Mutaâliyah. Dalam pengantar adikarya ini, filosof kita meng-utarakan tentang pengetahuan yang dicecapnya via intuisi dan ilham:

“Berkat jerih pembinaan diri yang berkepanjangan dan olah jiwa, hatiku menjadi terang benderang, cahaya malakut memancar dahsyat menerpanya … Karena itu, aku menemukan rahasia-rahasia yang sebelumnya tidak pernah kuketahui. Berbagai rumusan yang tidak begitu tampak dengan burhân kini tersibak jelas sekali di hadapanku. Bahkan segala apa yang dulu kuketahui dengan burhân sekarang telah kutatap dengan kesaksian yang nyata.”[4]

Baca Juga :  Memaafkan: Karakter Tangguh, Kepribadian Mulia dan Jiwa Merdeka tanpa-Dendam

Syahid Muthahari punya ungkapan menawan tentangnya, “Filsafat Shadra … ibarat titik yang mempertemukan empat jalan; Filsafat Peripatetik Aristotelian dan Sinaian, Filsafat Iluminasionis Sahruwardian, dan Irfan Teoretis Muhyidinian, serta konsep-konsep ilmu Kalam. Filsafat Shadra ibarat empat sungai yang bertemu dan berubah menjadi segalur sungai besar yang bergemuruh kencang.”[5]

Meski demikian, dalam literatur irfan, akal kerap diperlakukan sebagai objek pelecehan. Kerasnya sebagian pernyataan para arif mengesankan segala jenis pengetahuan akal, dalam bidang apa pun, tidak berharga lagi, sama sekali. Namun, bila diperhatikan lebih sek-sama, akan terlihat jelas maksud mereka yang sebenarnya; menyu-bordinasi akal di bawah kerinduan (‘isyq)—yang berarti bukan me-nyepelekannya secara mutlak. Hafidz, pujangga besar, mengatakan, “Gerbang ranah cinta / jauh lebih menjulang dari akal.”[6]

Hati di atas Akal

Seorang arif tidak mutlak mengingkari nilai demonstrasi logis (bur-hân) dan pembuktian aklani, melainkan lebih mengunggulkan hati ketimbang akal.

Jika kajian akal itu mutiara dan intan                       

maka yang lain kajian ruhanian.

Kajian ruh duduki posisi yang lain 

anggur ruh adalah tonggak yang lain.[7]

Perbedaan pokok ilmu-ilmu akal dengan ilmu-ilmu hati dan intuisi diilustrasikan dengan baik dalam kisah pertemuan Ibnu Sina dan Abu Sa’id Abul Khair (357-440 H):

“Suatu hari, Syeikh Abu Sa’id—semoga Allah menguduskan ruhnya yang mulia—berceramah di majelis Nisyabur. Tuan Abu Ali [bin] Sina lalu memasuki majelis Syeikh Abu Sa’id. Sebelumnya, mereka berdua tidak pernah bertatap muka, walau acap berkorespondensi satu sama lain. Saat Abu Ali Sina masuk, Syeikh Abu Sa’id segera menoleh ke arahnya. “Seorang hakim telah datang,” sambutnya. Abu Ali Sina lalu duduk.

“Syeikh Abu Sa’id pun melanjutkan ceramahnya sampai akhir. Setelah itu dia langsung pulang ke rumah. Abu Ali Sina juga ikut ke rumahnya. Mereka menutup pintu rumah lalu ber-khalwat selama tiga hari tiga malam sambil berbincang-bincang. Tak seorang pun tahu yang mereka bincangkan. Juga tak seorang pun memasuki tempat mereka kecuali setelah diberi izin. Keduanya tidak pernah keluar rumah kecuali untuk menunaikan salat berjamaah.

Baca Juga :  Radikalisme Positif dalam Beragama: Menjadi Tuhan itu Kewajiban juga Cita-cita

“Tiga hari tiga malam berlalu. Akhirnya Abu Ali Sina keluar dari rumah itu. Murid-muridnya bertanya, “Bagaimana Syeikh Abu Sa’id itu menurutmu?” “Dia menyaksikan semua yang kutahu,” jawabnya. Sebaliknya, para pengikut Syeikh Abu Sa’id bertanya, “Bagaimana Abu Ali Sina menurutmu?” “Dia tahu semua yang kusaksikan,” jawabnya.[8]

Cerita ini memicu perdebatan di kalangan pakar. Beberapa dari mereka menilai kejadian itu fiktif. Sementara sebagian lain membe-narkannya dan mengungkapkan kecenderungan Ibnu Sina pada irfan di akhir hayatnya karena rangkaian pertemuan dan korespondensi ini.[9]

Kalaupun pertemuan itu tidak benar-benar terjadi, setidaknya kata-kata pengakuan yang dinisbatkan kepada Ibnu Sina dan Abu Sa’id merefleksikan perbedaan yang jelas antara pengetahuan akal dan pengetahuan hati; yang pertama sejenis pembuktian, dan yang bela-kangan sejenis iluminasi (efodheh) dan penemuan (yoftan). Murtadha Mutahari mengatakan:

“Pengetahuan argumentatif tidak melampaui batas-batas persepsi, konsep-konsep mental, dan kepuasan potensi nalar. Tentunya semua ini sangat berharga. Akan halnya pengetahuan iluminatif (marefat-e efodhi) yang ditempuh seorang arif semacam pencapaian (residan) dan pencecapan (dzauq). Pengetahuan argumentatif hanya memuas-kan akal, sementara iluminasi mencipta gelora, gejolak, dan gerak luar biasa dalam keseluruhan eksistensi manusia.”[10]

Dengan kata lain, tujuan hakiki seorang arif adalah gelora dan kondisi (hâl) spiritual. Di sini, akal tidak terlalu berguna.

Dia teman kami dengan tutur dan tindakan                           

karena kau sampai tingkat hâl, jadi tiada.[11]

Karenanya, bukan hanya filsafat, irfan pun bila berubah menjadi disiplin ilmu sehingga alih-alih mencipta gelora dan kondisi (hâl) spiritual justru menjadi bahan perdebatan diskursif, juga tidak akan memuaskan kalangan arif yang Ilahi. Ini sebagaimana dinyatakan seorang arif, Imam Ruhullah Khomaini:

Baca Juga :  Apa maksud dari Dzikir/Ingat Tuhan, dan Apakah Dzikr-Allah itu lebih utama dari Salat?

 Hijau segar hanya di hari kita jadi arif di kedai minum

kala kita keluar dari aula akal dan menjadi gila.

Mari kita pecahkan cermin filsafat dan irfan

asingkan diri dari rumah berhala kafilah ini.[12]

 

___________________________

[1] Ibnu Sina: Al-Isyârôt wa Al-Tanbîhât, jld. 4, hlm. 47.

[2] M. Hafidz Syirazi: Divon-e Asyor, lirik ke-48.

[3] Quthbuddin Syirazi: Syarh Hikmat Al-Isyrôq, hlm. 16.

[4] Shadrul Muta’allihin: Al-Hikmat Al-Mutaâliyah fî Al-Asfâr Al-Aqliyyah Al-Arbaah, jld. 1, hlm. 8, dengan sedikit perubahan redaksi.

[5] M. Muthahari: Khadamot-e Motaqobel-e Eslom va Iron, hlm. 524.

[6] M. Hafidz Syirazi: Divon-e Asyor, lirik ke-121.

[7] Jalaluddin M. Balkhi: Matsnavi-e Manavi, daftar I, bait ke-1401 dan 1502.

[8] Muhammad bin Munawar: Asrôr Al-Tawhîd fî Maqômat Al-Syaikh Abi Said, bab 2, pasal 2, hlm. 209-210. Perlu diketahui, riwayat pertemuan ini juga termaktub dalam buku Halat va Sokhanan-e Abu Sa’id Abul Khoir yang ditulis berapa saat sebelum buku Asrôr Al-Tawhîd dan keduanya tergolong sebagai sumber riwayat hidup Abu Sa’id. Hanya saja, buku ini (Halat) tidak memuat jawaban Abu Ali Sina dan Abu Sa’id Abul Khair sebagaimana disebutkan di atas. Boleh dibilang, masing-masing penulis buku itu hanya menyoroti ba-gian tertentu dari kejadian dan percakapan mereka.

[9] Lih. S.M. Damadi: Abu Sa’id Nomeh, hlm. 40-42.

[10] M.H. Thabathaba’i: Ushul-e Falsafeh va Ravesy-e Re‘olism, jld. 5, hlm. 10.

[11] Jalaluddin M. Balkhi: Matsnavi-e Manavi, Daftar I, bait ke-1984.

[12] Imam Khomeini: Divone Emom Khomeini, hlm. 170.

Share Page

Close