• LAINYA

METODOLOGI–Sebagai sebuah disiplin ilmu atau upaya intelektual dalam kebudayaan Islam, tafsir merupakan alat pengetahuan yang efektif dalam rangka menjangkau dan menyingkap makna dan pesan yang dimaksudkan Allah, sang pencipta dan pemilik teks Alquran, dari ayat-ayatnya. Atas dasar ini, tujuan dan falsafah keberadaan Alquran ialah memahami makna setiap teksnya sebagaimana yang dimaksudkan oleh Allah yang Maha Bijaksana.

Dengan demikian, ada dua premis yang, suka atau tidak, diterima sepenuhnya oleh penafsir Al-quran: (a) manusia dapat memahami maksud dan pesan Allah yang terdapat dalam teks Alquran dan (b) tidak dibenarkan memposisikan pemahaman pribadi sebagai maksud Allah. Pada premis kedua inilah topik tafsir bi al-ra’yi kerap muncul.

Pengertian Tafsir bi Al-Ra’yi

Tafsir bi Al-Ra’yi yaitu menafsirkan Alquran berdasarkan pandangan sendiri merupakan salah satu hal yang paling riskan dalam memahami dan manafsirkan Alquran. Hadis-hadis menggolongkannya sebagai salah satu dosa besar (kabirah), sedangkan pelakunya diusir dari rahmat Allah SWT. Misalnya, dalam sebuah hadis qudsi disebutkan bahwa Allah SWT berfirman, “Tidaklah beriman kepada-Ku orang yang menafsirkan ucapan-Ku dengan pendapatnya sendiri.” Ancaman ini amat jelas, karena seorang muslim yang baik tidak akan menafsirkan firman Allah semau hatinya.

Dalam hadis lain yang banyak dimuat dalam kitab-kitab utama hadis seperti: Shahih Al-Turmudzi, Shahih Al-Nasa’i, Musnad Abu Daud dan sebagainya, disebutkan, “Barangsiapa mengatakan sesuatu pada Alquran dengan pendapatnya sendiri atau dengan sesuatu yang ia tidak ketahui, maka tempatnya adalah neraka” (Mabahits fi Ulum Al-Qur’an, hlm. 304).

Adapun yang dimaksud dengan tafsir bi al-ra’yi atau menafsirkan Alquran dengan pandangannya sendiri lalah menafsirkan Alquran semaunya: sesuai kepentingan dirinya atau kepentingan kelompoknya, tanpa disertai arahan rasional, arahan literal, atau bukti yang menyertai makna ayat itu. Penafsir seperti ini pada dasarnya tidak mengikuti Alquran, tapi bermaksud agar Alquran mengikuti kemauannya. Dan tentu saja, orang yang memiliki iman yang utuh pada Alquran tidak akan melakukan hal seperti ini.

Baca Juga :  Al-Quran, Filsafat Ijtihad dan Pemahaman Kontekstual (Bagian Terakhir)

Selain itu, jika pintu tafsir bi al-ra’yi ini dibuka, Alquran akan kehilangan esensinya, sebab setiap orang akan menafsirkannya semau hatinya dan menerapkan Alquran pada berbagai aqidah dana kepercayaan yang menyimpang.

Dengan demikian, tafsir bi al-ra’yi ialah penafsiran yang menyimpang dari kaidah bahasa, sastra, dan pemahaman penutur asli bahasa, serta menerapkan Alquran atas pandangan-pandangan sesat, keinginan pribadi dan kepentingan kelompok. Cara-cara ini dapat mengakibatkan penyimpangan makna dan maksud yang dikandung Alquran.

Masih terdapat beberapa bentuk tafsir bi al-ra’yi. Salah satunya ialah memilih ayat-ayat yang mendukung pendapat, analisis dan opininya saja. Misalnya, ketika seseorang menjelaskan masalah syafaat, tauhid, imamah, dan sebagainya, ia hanya memilih ayat-ayat terkait yang menguatkan pandangannya saja dan meninggalkan ayat-ayat lain yang tidak sesuai dengan pandangannya yang justeru dapat berfungsi sebagai penjelas ayat-ayat lain.

Singkat kata, jumud atau berpikir beku seputar ayat-ayat Alquran dan mengabaikan arahan rasional (qarinah aqliyah) serta arahan literal (qarinah naqliyah) yang benar dan pasti merupakan bagian dari penyimpangan dalam memahami dan menafsirkan Alquran. Demikian pula tafsir bi al-ra’yi. Keduanya membuat kita jauh dan ajaran dan nilai-nilai agung Alquran.

Fungsi Hadis dalam Tafsir

Salah satu cara memperoleh arahan rasional atau arahan literal dari luar Alquran ialah hadis-hadis Nabi dan riwayat Ahlul Bait a.s. Karena itu, seseorang tidak dapat mengatakan, “Kafānā kitāb Allāh”: cukup bagi kami Alquran saja, lalu bersikap masabodoh terhadap hadis Nabi SAW yang merupakan penafsir maksud-maksud teks Alquran, menjelaskan ayat-ayat nasikh dan mansukh, ayat-ayat khusus dan umum, serta menerangkan pokok-pokok agama dan cabang-cabangnya, karena ayat-ayat Alquran sendiri menjadikan sunnah Nabi SAW dan sirah beliau sebagai hujjah bagi Muslimin dan sumber utama untuk memahami agama dan menyimpulkan hukum.

Baca Juga :  Mana yang lebih Memuat Kekerasan: Alquran atau Bible? Berikut Analisis Komputer Odin Text

Dan apa yang dibawa oleh Rasul kepadamu terimalah, dan apa yang dicegahnya jauhilah” (QS. Al-Hasyr [59]: 7).

Tidak ada hak bagi seorang mukmin, laki maupun perempuan, jika Allah dan rasul-Nya memutuskan suatu perkara mengambil pilihan lain dari urusan mereka. Maka barangsiapa menentang Allah dan rasul-Nya sungguh telah sesat sesesat-sesatnya” (QS. Al-Ahzab [33]: 36).

Orang yang tidak peduli kepada hadis dan sunnah Nabi SAW sesungguhnya telah memalingkan diri dari Alquran. Tentu saja, sunnah harus diperoleh dari jalur-jalur yang benar dan muktabar, karena tidak semua yang dinukil dari Nabi SAW adalah betul-betul datang dari Nabi SAW, mengingat tidak sedikit yang berbohong atas nama Nabi SAW.

Dalam sebuah hadis masyhur yang diriwayatkan oleh semua mazhab Islam, Syiah maupun Ahli Sunnah, Nabi SAW bersabda, “Sesungguhnya aku tinggalkan dua perkara yang sangat besar; selama kalian berpegang teguh pada kedua tidak akan sesat selama-lama, yaitu kitab Allah dan keluargaku – Ahlul Baitku.”

Nabi SAW memang mengetahui masa depan umatnya dan problema-problema yang akan menghadang mereka. Karena itu, ia memberikan jalan keluar kepada mereka, yaitu mengikuti Alquran dan imam-imam Ahlul Bait a.s. Dengan demikian, sudah bukan pada tempatnya mengacuhkan hadis penting ini.

Karena itu, jika persoalan ini mendapat perhatian lebih besar, maka sebagian problema yang dihadapi kaum Muslimin dewasa ini, yakni dalam masalah aqidah, tafsir, dan fiqh tidak akan pernah muncul.

Share Page

Close