• LAINYA

FILSAFAT–Sejarawan kerap menyoroti lonjakan kemajuan peradaban Islam dari interaksi umat Islam dengan tradisi Barat, ditandai dengan dialog budaya terutama melalui penerjemahan karya-karya Barat. Satu di antaranya adalah buku-buku filsafat. Para penerjemah direkrut, entah dari kalangan Muslim ataupun non-Muslim. Buku-buku terjemahan begitu cepat menjadi bagian dari materi ajar di lingkungan dalam istana.

Baca Sebelumnya: Visi Keperadaban Filsafat Muhammad Iqbal (2): Alquran Roh Agenda Kebangkitan

Para filosof juga mendapatkan kedudukan terhormat sebagai konsultan raja dan gubernur kekhalifahan. Dengan segenap kemegahan yang dicatatkan, Iqbal menyebut secara eksplisit filsafat. justru sebagai penyebab kalangan elite ilmu pengetahuan Islam mundur dan memundurkan umat.

Fakta ini cukup lugas menyatakan karakter Iqbal sebagai pemikir objektif, merdeka dari fanatisme dan subjektivisme. Di masanya, filsafat dan tasawuf sudah dipandang sinis dan kecurigaan, bahkan jadi objek penyesatan, pembid’ahan, hingga pengkafiran dan alasan penerbitan vonis hukuman mati. Iqbal akan keberatan dengan pandangan radikal seperti itu. Namun, keberatan tadi tidak menutup mata Iqbal dari melihat bahaya yang sudah membuat umat tereduksi pemahaman agamanya karena filsafat.

Ada apa dengan filsafat? Iqbal menjelaskan, “Yang menjadikan kaum muslimin tidak produktif dalam membangkitkan peradaban ialah karena kaum Muslim terhipnotis di bawah pengarh filsafat Yunani yang cenderung pada ide abstrak dan konsep belaka”.[4] Iqbal, karena itu, di beberapa tempat mendefinisikan posisi Alquran sebagai anti klasik, yaitu anti filsafat Yunani. Sekali lagi, ia mengidentikkan klasik dengn filsafat Yunani.

TRADISI BERNALAR FILOSOFIS DAN BERPIKIR ABSTRAK HARUS DILURUSKAN DAN DIIMBANGI NALAR KONKRET DAN EMPIRIK.

Dalam gugus kritik Iqbal, filsafat Sokrates memusatkan fokus pada alam manusia semata. Baginya, studi yang tepat mengenai manusia adalah manusia itu sendiri, bukan tentang alam tetumbuhan, serangga dan angkasa. Betapa ini beda dengan semangat Alquran.

Baca Juga :  Profil Pemimpin Ideal dalam Tasawuf Politik Platon dan Khomeini (4): Kriteria Wali Faqih

Di dalam kitab suci ini, lebah, serangga kecil itu saja dipandang sebagai salah satu penerima wahyu Ilahi. Alquran selalu mendesak pembaca agar mengamati perubahan angin yang terus menerus, pergantian, siang dan malam, awan, langit berbintang, serta planet-planet yang melintasi ruang angkasa tak bertepi.

Tidak berhenti di Socrates, kritik Iqbal menerabas hingga menyasar Platon. Menurutnya, sebagai murid setia Socrates, Platon memandang rendah pengetahuan indrawi dan memposisikannya sebagai doxa (dugaan) yang hanya menghasilkan pendapat (opini), bukan pengetahuan hakiki. Ini, sekali lagi, berbeda tajam dengan Alquran yang memandang pendengaran dan penglihatan sebagai anugerah Ilahi yang juga berharga.[5]

Dalam aksentuasi Alquran, mata dan telinga sedemikian bernilainya hingga menjadi objek pertangungjawaban di hadapan Tuhan atas segala pemanfaatan dan penyalahgunaannya oleh manusia dunia. Hal ini, dalam analisis Iqbal, telah luput dari perhatian para sarjana Muslim awal akibat pesona spekulasi klasik. Mereka membaca Alquran dengan cahaya pemikiran Yunani.[6]

Realitas di atas telah menyebabkan kemunduran kaum elite sarjana dan ulama Islam, membuat mereka berjarak dari temuan-temuan sains modern. Dalam pelacakan Iqbal, 500 tahun terakhir ini pemikiran religius dalam Islam praktis berjalan di tempat. Padahal dahulu, pemikiran Eropa menerima inspirasi dari dunia Islam.[7] Kejayaan peradaban Islam itulah yang berkontribusi besar menyeberangkan Barat ke puncak superioritas abad ini.

Walaupun Iqbal menggalang kritik atas filsafat Barat hingga merumuskan kesimpulan semangat Alquran yang anti klasik [8], dia tidak serta merta menolak keseluruhan realitas yang berkembang di Barat. Menurutnya, untuk bangkit kembali ke puncak peradaban Muslimin, perlu menguji ulang, dengan jiwa yang mandiri dan merdeka, apa sebetulnya yang sudah dipikirkan Eropa dan sampai di mana konklusi dan prestasi yang telah mereka capai dapat membatu kita mengadakan revisi dan, jika perlu, merekontruksi pemikiran teologis dalam Islam.[9]

FILSAFAT YUNANI DIKEMBANGKAN FILOSOF MUSLIM DAN BERKONTRIBUSI DALAM PENGELOLAAN SOSIAL-POLITIK SERTA PEMBANGUNAN PERADABAN.

Bukan jika, tetapi memang perlu dan wajib. Karena itu, Iqbal merespon serius hal-hal yang konkret, menggunakan indra sebagai alat penelitian atas alam. Respon dan pemberdayaan indera ini sepenuhnya berbasis pada semangat dan roh Alquran. Hanya pertanyaannya, apakah epistemologi dan dasar-dasar pengetahuan Iqbal ini justru membuatnya berat sebelah hingga hanya mementingkan hal-hal yang bersifat lahiriah, kemudian menegasikan pengetahuan batin dalam rangka membangkitkan peradaban baru Islam?

Baca Juga :  Tafsir Al-Tustari, Tafsir Sufi Pertama dalam Sejarah

Nyatanya tidak demikian. Tradisi berpikir filosofis dan abstrak harus diluruskan dan diimbangi. Bagi Iqbal, menggunakan indra atau observasi ilmiah atas alam menjaga kita untuk tetap melakukan kontak dengan Realitas sehingga mempertajam pengetahuan batin kita untuk mendapatkan pemahaman yang lebih dalam dan lembut atas fenomena alam.[10]

Sikap penolakan Iqbal terhadap Yunani bukan karena keyunaniannya, bukan karena ke-Platon-annya, bukan pula karena ke-Aristoteles-annya. Karena di satu tempat dia memang menyanjung Platon, tapi di tempat lain ia kritik pemikiran Platon. Begitu juga pada Aristoteles. Pada buku Rekontruksi, bisa kita temukan dua nama filosof pertama ini disanjung mulia.[11]

Betapapun, sikap Iqbal yang anti klasik dan anti Yunani hanya karena filsafat bernuasa abstrak di kalangan umat Islam perlu ditinjau kritis. Sejak awal kali filsafat jadi platform agenda intelektual, moral dan politik Sokrates bersama Platon, filsafat sudah diupayakan berkuasa mengelola tata politik dan hukum Polis. Platon yang sangat idealis hingga kerap jadi profil utopis menunjukkan dirinya sebagai aktivis yang gigih menghadirkan idealisme filosof-raja di muka bumi.

Filsafat Platon juga Peripatetisme Aristoteles itu pula yang selanjutnya dikembangkan oleh dunia Islam dan, pada kurun tertentu, berkontribusi dalam pengelolaan sosial-politik dan pembangunan peradaban. Bila ternyata terjadi kemunduran dan kemandekan di kalangan filosof, itu perlu diteliti faktornya pada esensi abstraktif filsafat, seperti yang diidentifikasi Iqbal, atau kemungkinan  faktor lain, yaitu pada pribadi filosof itu sendiri yang kehilangan aktivisme Platon.

Pada prakteknya, Iqbal sendiri mengkritik dan mengajukan alternatif dengan paket utuh teoretis yang juga bernuansa filosofis yang, tentu saja, abstrak. Memang Iqbal tidak pernah menyebut paket pemikirannya sebagai filsafat. Orang-orang saja menomenklaturkan prinsip Khudi (kedirian) sebagai identitas filsafatnya.

Baca Juga :  Al-Quran, Filsafat Ijtihad dan Pemahaman Kontekstual (Bagian Kedua)

Namun, buku ini sendiri, yakni Rekonstruksi, penuh istilah teknis dengan struktur kalimat yang nyaris sama rumitnya dengan ontologi Ibnu Sina dalam Al-Syifa’, satu bidang filsafat yang paling abstrak. Pembaca yang akrab dengan buku-buku tradisional filsafat pun belum tentu langsung memahami gagasan di balik tulisan Iqbal dalam Rekonstruksi karena, di antaranya, gaya bahasa dengan ide-ide abstrak.

Alhasil, catatan kritis ini tidak mengaburkan fokus Iqbal agar kita tetap waspada tidak sampai membicarakan nilai-nilai hanya bersifat abstrak, bersifat spekulatif yang berhenti di alam ide dan mengabaikan emosi dan aksi. Salah satu kritik [salah alamat] Iqbal yang paling mendasar terhadap filsafat adalah karena Platon juga Aristoteles telah membuat muslimin berpikir secara spekulatif, berpikir secara teoretis dan abstrak.

Dampak berpikir abstrak ini menyebabkan umat Muslim jadi miskin peradaban. Padahal kitab suci mereka, seperti ditegaskan Iqbal di baris pertama Rekonstruksi, “Alquran adalah kitab yang menekankan perbuatan daripada pemikiran”.[Bersambung]

Share Page

Close