• LAINYA

SEJARAH-PERADABAN–Aktivis gigih, kritis dan konsisten di usianya yang hampir menginjak 92 tahun. Jürgen Habermas masih mengadvokasi masyarakat sipil yang kuat, terbuka dan transparan. Kini, cendekiawan tersohor Jerman ini telah menolak penghargaan Uni Emirat Arab (UEA) atas nama presiden pertama negara kaya Teluk Persia itu, Sheikh Zayed.

Bulan depan ini, Jürgen Habermas akan menginjak usia 92 tahun. Filosof terkenal Jerman ini masih menjadi sorotan publik di sana setelah ia menerima, kemudian menolak, penghargaan kontroversial dari UEA, awal bulan ini (03 Mei 2021).

Seperti dilaporkan dw.com, Habermas puas mengambil keputusan menerima Penghargaan Buku Sheikh Zayed (Syeikh Zayed Book Award). Penghargaan ini akan membuatnya prestisius secara moril dan materil; ia menjadi Tokoh Budaya Tahun 2021 (Cultual Personality of the Year) dan, tentu saja, jadi lebih kaya € 225.000 ($ 271.000), setara 4 miliaran Rupiah.

 

APA ITU SHEIKH ZAYED BOOK AWARD?
Penghargaan ini mengambil nama Sheikh Zayed bin Sultan Al Nahyan, seorang penguasa Arab yang memerintah Abu Dhabi selama lebih dari 30 tahun. Zayed, yang meninggal pada 2004 pada usia 86 tahun, adalah Bapak Bangsa dan presiden pertama UEA.

Penghargaan ini diberikan setiap tahun kepada individu dan penerbit yang karya tulis dan terjemahannya dalam humaniora secara obyektif memperkaya intelektual, budaya, sastra dan kehidupan sosial Arab. perbedaan sebagai “”.

Peraih penghargaan ini tidak hanya berhak menyandang status “Tokoh Budaya Terbaik Tahun Ini”, tetapi juga menerima hadiah uang tunai sebesar 1 juta dirham UEA ($ 272.249).

Untuk tahun ini, panitia penetapkan penghargaan jatuh kepada Habermas. Ia secara luas dianggap sebagai filsuf Jerman paling penting pada paruh kedua abad ke-20, dikaitkan dengan teori sosial Mazhab Frankfurt. Banyak tulisannya tentang masalah filosofis telah diterjemahkan ke dalam bahasa Arab.

 

MENOLAK SETELAH MENERIMA
Pada mulanya, Habermas menyambut penghargaan resmi itu. Namun di minggu pertama Mei ini, ia meralat keputusan awalnya hingga menolak penghargaan UEA itu pada hari Minggu karena kekhawatirannya terhadap kondisi hak asasi manusia di negara Teluk itu.

Pada akhirnya, Habermas tidak dapat mengkompromikan prinsip-prinsip filosofis dasarnya yang telah ia perjuangkan selama lebih dari tujuh dekade. Ia mengadvokasi hak suaka selama krisis migran 2015. Ia juga menentang populisme sayap kanan dan xenofobia dalam pemilihan Parlemen Eropa 2019.

Di usia 90 tahun pada 2019, Habermas menerbitkan karya 1.700 halaman berjudul, This Too a History of Philosophy, sebuah karya yang menyelami arus evolusi rasionalitas dan nalar manusia. Oleh Boston Review, karya ini disebut sebagai “mahakarya pengetahuan dan sintesis”.

Baca Juga :  QS. Al-Ahzab [33]: Ayat 36-40; Ketika Pernikahan Jadi Tugas yang Penuh Resiko Dicemooh Publik

Habermas konsisten dalam berkomitmen aktif di atas cita-cita kosmopolitannya tentang demokrasi yang terbuka dan ketat, termasuk tentang post-sekularisme yang melonggarkan peran agama dalam tatakelola masyarakat Eropa.

Keputusan Habermas menerima penghargaan dari sebuah monarki absolut yang ditengarai kerap melakukan penindasan tidak membuat dirinya nyaman untuk dipertahankan lantaran bertentangan dengan prinsip-prinsipnya sendiri tentang kebebasan berpendapat dan debat terbuka di dalam “ruang publik” yang sehat.

Dalam sebuah pernyataan di situs berita Spiegel Online, Habermas mengakui sambutan awalnya menerima Penghargaan Buku Sheikh Zayed sebagai keputusan yang salah, “Saya tidak cukup puas menjelaskan kepada diri saya sendiri adanya hubungan begitu erat lembaga yang memberikan penghargaan di Abu Dhabi itu dengan sistem politik yang berkuasa di sana.”

 

MENCIPTAKAN RUANG PUBLIK
Lahir di Düsseldorf pada 1929, Jürgen Habermas paling dekat hubungannya dengan kota Frankfurt, lebih khusus lagi, dengan mazhab teori sosial dan kritis yang dikenal sebagai Mazhab Frankfurt.
Setelah meraih gelar doktor di bidang filsafat di Bonn, pada 1964 Habermas mengambil alih kursi Filsafat dan Sosiologi di Universitas Frankfurt dari Max Horkheimer, posisi yang ia pegang hingga 1971.

Kertas kerja pascadoktoralnya dari tahun 1961, Strukturwandel der Öffentlichkeit pada tahun 1989 sebagai Transformasi Struktural dari Ruang Publik. Di dalamnya ia menguraikan konsepnya tentang “ruang publik” sebagai domain dimana “opini publik” yang beralasan dapat digunakan untuk menjinakkan dampak-dampak Kapitalisme.

Upaya pemutakhiran Habermas atas teori Marxis pada waktu itu mempengaruhi protes mahasiswa tahun 1968. Namun, ketika gerakan protes menjadi lebih radikal, sang filosof ini secara terbuka justru balik mengkritik mereka.

Dalam karya utamanya dari tahun 1981, Theoy of Communicative Action, Habermas mengembangkan panduan teoretis aksi untuk masyarakat modern. Ia, sekali lagi, melihat bagaimana bahasa dan argumentasi rasional dapat berkembang sehingga setiap peserta bebas untuk mengambil bagian dalam wacana demokrasi.

 

WAJAH KUSAM HAM DI UNI EMIRAT ARAB
Segudang pengalaman akivisme dan intelektualisme telah mendorong Habermas untuk mudah mengambil keputusan menolak penghargaan Syaikh Zayed, orang nomor dua di negara Arab yang diam-diam menyembunyikan wajah asli HAM di balik kemakmurannya.

Seperti dituturkan Kenneth Roth, direktur eksekutif di Human Rights Watch, wacana demokrasi yang diyakini Habermas itu secara rutin ditutup di negara yang memberikan penghargaan kepadanya. Meskipun UEA masih terus berusaha menampilkan diri sebagai “benteng liberalisme di balik skandal yang berkilau.

Di era desruptif informasi, sulit menambal sulam kebocoran. Fakta di sana tampaknya lebih buruk dari sekedar ingar-bingar kemewahan yang terlihat di atas pesawat; para kritikus dipenjara, hak-hak pekerja migran dibatasi, dan penguasa Dubai mengunci putrinya yang sudah dewasa karena ingin melarikan diri dari jepitan jempolnya.

Baca Juga :  Manuskrip Alquran dari Emas dan Perak di Iran, Siap Catatkan Rekor Guinness

Syeikha Latifa, gadis dari perdana menteri Uni Emirat Arab dan penguasa Emirat Dubai, Sheikh Mohammed bin Zayed Al Nahyan, mengatakan dia ditahan di luar keinginannya sejak berusaha meninggalkan negara itu pada 2018. Sementara itu, saudara perempuannya, Shamsa, tidak terlihat sejak tahun 2000 ketika dia diduga diculik dari Cambridge, Inggris.

Ini menyusul putusan hakim Inggris pada Maret 2020 yang mengatakan penguasa miliarder Dubai telah memerintahkan penculikan putrinya dan memaksa istrinya yang terasing hidup dalam ketakutan dan intimidasi.

Tak pelak, sehari sebelum Habermas menolak penghargaan resmi UEA, kampanye #FreeLatifa turut memicu seruan untuk melarang kuda Sheikh Mohammed ikut serta dalam Kentucky Derby.

Dilansir dw.com, UEA tidak sekali dihukum karena situasi HAM yang buruk di sana. Penguasa negara itu dengan ketat mengontrol media dan menggunakan otoritas untuk menghukum individu yang mengkritik pemerintah.

Lembaga think tank Washington, Freedom House, menanadai UEA sebagai “not free”, karena pembatasan yang ketat atas kebebasan sipil.

Masalah HAM lainnya termasuk eksploitasi UEA terhadap migran dari India dan negara lain di bawah sistem kafala.

Skandal yang paling telanjang adalah serangan gabungan Saudi-UEA terhadap Houthi di Yaman yang juga menarik perhatian karena pembunuhan tanpa pandang bulu terhadap warga sipil salah satu negara sesama Arab dan termiskin di dunia.

Yang tidak kurang memalukan ialah keputusan UEA bersama beberapa negara Arab lainnya menormalisasi hubungan dengan negara apartheid Israel.

Keputusan Habermas mencabut keputusannya menerima penghargaan pangeran UEA itu datang ketika pemerintah otoriter UEA berupaya menimbang kondisi HAM di negara Teluk dengan cara yang lebih liberal dan toleran, terutama mengenai wanita.

Melalui akun tweeter ZayedBookAward, panitia Penghargaan menampilkan respon atas keputusan Habermas, “Panitia Penghargaan menyatakan penyesalannya atas keputusan Jurgen Habermas telah mencabut keputusannya menerima penghargaan, tetapi kami menghormatinya.”

Meski panitia telah meyakinkan penghargaan itu untuk mewujudkan nilai-nilai toleransi, pengetahuan dan kreativitas sambil membangun jembatan antar budaya, dan akan terus memenuhi misi tersebut, dalih ini tidak cukup untuk mengubah pikiran Habermas.

 

BERHARAP ADA RELASI ANTARA PENGHARGAAN DAN DEMOKRASI
Namun begitu, Habermas berharap penghargaan itu akan mendorong terciptanya iklim demokrasi dan kebebasan berpendapat di negara pengagas penghargaan.

Ketika Habermas pada mulanya siap menerima penghargaan tersebut, Spiegel Online mempertanyakan: mengapa pemikir terbesar Jerman dalam 50 tahun terakhir tidak begitu saja menolaknya.

“Dengan pemikir kelas dunia yang telah berjuang gigih untuk proyek Pencerahan (Enlightenment) dan jarak kritik terhadap kekuasaan selama lebih dari setengah abad, seharusnya mungkin untuk menjawab pertanyaan “apakah akan menerima penghargaan?” dengan tegas, ‘tidak’,” tulis Spiegel Online pada Minggu.

Baca Juga :  Apakah Dalai Lama Seorang Pemimpin Spiritual?

Habermas sebelumnya mengungkapkan harapan penghargaan itu akan menjadi umpan bagi penyebaran buku di wilayah yang, seperti dirinya, juga mempromosikan kebebasan berpendapat dan demokrasi.

Dia juga menyatakan bahwa dirinya telah meminta nasihat dari Jürgen Boos, direktur pelaksana Pameran Buku Frankfurt, yang juga duduk di komite penyeleksi Penghargaan Buku Sheikh Zayed. Dalam komentar singkatnya, Boos telah “menghilangkan kekhawatiran yang sudah jelas nyata.”

Sebaliknya, Boos kepada media Jerman tidak menyembunyikan kekecewaannya terhadap keputusan Habermas menolak penghargaan tersebut.

“Tentu saja saya menerima keputusan Mr. Habermas,” ujarnya. “Namun, menganugerahinya dengan penghargaan ini akan menjadi kesempatan membuat karya penting dan posisinya lebih dikenal di wilayah budaya Arab dan, dengan demikian, mempromosikan keterlibatan masyarakat Arab dengan karyanya. Sejumlah besar karya filosof dan sosiolog Jerman sudah diterjemahkan ke dalam bahasa Arab.”

 

PENOLAKAN DI HARI KEBEBASAN PRESS SEDUNIA
Habermas mengambil keputusan menolak penghargaan itu tepat di Hari Kebebasan Press Sedunia, 03 Mei 2021. Begitu ia mencabut penghargaan tersebut, beberapa kalangan di media sosial mengatakan bahwa filosof itu teguh menjunjung tinggi semangat “ruang publik”.

“Senang melihat Jürgen Habermas, kesarjanaannya mendefinisikan konsep ruang publik, telah menolak penghargaan dari UEA di #WorldPressFreedomDay,” tulis aktivis independen@ LyndonPeters01 di Twitter.

“Dengan tidak adanya kebebasan pers di UEA, tidak ada ruang publik. Jadi kita harus mengulang seruan #FreeAhmedMansoor,” tambahnya, mengacu pada aktivis hak asasi manusia yang telah dipenjara karena mengkritik penguasa UEA.

Cuitan lain diunggah Barry David Stocker, filosof Inggris bermukim di Istanbul, “Sederhananya, UEA tidak memenuhi cita-cita yang diartikulasikan oleh Habermas terkait demokrasi, hukum, ruang publik yang bebas, dan kritik terbuka. Ini adalah otokrasi yang secara sistematis melanggar hak asasi manusia.”

Dalam catatan hidupnya, Habermas merasakan rezim Nazi. Pengalaman pahit ini menginspirasi dirinya untuk memperjuangkan demokrasi di Eropa dan dunia melalui kekuatan dan ketajaman tintanya.

Dia mencoba, pada akhirnya, menciptakan suatu model komunikasi yang kompleks dimana anggota masyarakat dapat mencapai keseimbangan kepentingan mereka yang berbeda.

“Consensual” adalah nama yang diberikan kepada model sosial tersebut. Istilah ini memiliki dampak yang luar biasa pada citra-diri Republik Federal Jerman. Warga tidak lagi menerima perintah dari atas.

Sebaliknya, mereka didorong untuk terlibat di ruang umum, merumuskan pandangan mereka secara terbuka dan memasukkannya ke dalam diskusi skala besar sehingga setiap orang akan bekerja menuju titik kompromi.

Share Page

Close