• LAINYA

TAFSIR-SOSIAL–Sudah dari asal takdir Allah, kita diciptakan dengan fitrah ingin senang dan tidak mau menderita. Faktanya, kebanyakan orang dan kebanyakan usia setiap orang tidak beruntung, tidak juga berhasil memenuhi keinginan fitrah itu. Setelah tahun lalu dihantam bencana alam gempa, dunia sejak awal tahun, khususnya Indonesia, sudah lanjut diuji dengan pandemi Corona. Berbagai reaksi dan respon bermunculan secara tak segan-segan ekstrem. Beragam protokol, peraturan dan kebijakan publik dibuat.

Itu tampak genting bila ditimbang dengan dampak multidimensi, sosial dan psikologis warga. Bahkan tidak sedikit orang frustasi dan kehilangan alasan untuk tetap bertahan hidup hingga memutuskan bunuh diri. Ini lantaran, di antaranya, kesulitannya memahami hukum alam yang kerap mengancam kehidupan dunia setiap orang.

Sesungguhnya falsafah apa yang mendasari bencana alam itu terjadi di luar kendali dan prediksi kita?

  • Mendidik Jiwa
  • Menguji Ketulusan dan Keteguhan Hati
  • Konsekuensi dari Ulah Manusia
  • Konsekuensi dari Iman Manusia dan Kasih Allah
  • Memberi Pelajaran dan Memulihkan Kesadaran

Sebagai buku panduan penggunaan alam dan manusia dari Tuhan Pencipta, Alquran mengemukakan keterangan seputar kejadian bencana dan musibah. Setidaknya, ada 5 keterangan dalam ayat-ayatnya terkait wabah Corona dan kejadian bencana lainnya:

1. Mendidik Jiwa
Yaitu menciptakan keadaan tunduk dan rendah hati dalam diri. Bencana dan musibah menimpa manusia agar ia sadar dan keluar dari rasa angkuh, jumawa, merasa diri besar dan mampu melakukan apa saja secara mandiri. Dengan sendirinya, ia menyadari betapa dirinya lemah, tak berdaya dan senantiasa akan membutuhkan bantuan Allah.

وَلَقَدْ أَرْسَلْنَا إِلَىٰ أُمَمٍ مِّن قَبْلِكَ فَأَخَذْنَاهُم بِالْبَأْسَاءِ وَالضَّرَّاءِ لَعَلَّهُمْ يَتَضَرَّعُونَ

“Dan sungguh telah Kami utus [rasul-rasul] kepada umat-umat sebelum engkau, kemudian Kami siksa mereka dengan kemelaratan dan kesengsaraan agar mereka memohon dengan kerendahan hati.”
(QS. Al-An’am [6]: 42. Juga lih. QS. Al-A’raf [7]: 94)

Di ayat lain, dalam keadaan senang terus, manusia punya kecenderungan merusak alam:

“Dan sekiranya Allah melapangkan rezeki kepada hamba-hamba-Nya, niscaya mereka akan berbuat melampaui batas di bumi, tetapi Dia menurunkan dengan ukuan yang Dia kehendaki. Sungguh Dia Mahateliti terhadap hamba-hamba-Nya dan Maha Melihat” (QS. Al-Syura [42]: 27).

2. Menguji Ketulusan dan Keteguhan Hati
Sejak awal, hidup di dunia ini tidak bebas dari masalah. Namun, keliru bila menganggap masalah sebagai akhir kehidupan. Bencana dan musibah merupakan medan pengujian manusia menjadi manusia, yakni menjadi hamba sepenuhnya dan peduli pada hamba-hamba yang lain.

Baca Juga :  Fakta Saintis Alquran: jangankan Manusia, Binatang saja sudah Bisa Membodohi

وَلَنَبْلُوَنَّكُم بِشَيْءٍ مِّنَ الْخَوْفِ وَالْجُوعِ وَنَقْصٍ مِّنَ الْأَمْوَالِ وَالْأَنفُسِ وَالثَّمَرَاتِ ۗ وَبَشِّرِ الصَّابِرِينَ

“Dan Kami pasti akan menguji kalian dengan sedikit ketakutan, kelaparan, kekurangan harta, jiwa dan buah-buahan. Dan sampaikanlah kabar gembira kepada orang-orang yang sabar.”
(QS. Al-Baqarah [2]: 155)

Di surah lain diingatkan, “Maka adapun manusia, apabila Tuhannya mengujinya lalu memuliakannya dan memberinya kesenangan, maka dia berkata, ‘Tuhanku telah memuliakanku.’ Namun apabila Tuhan mengujinya lalu membatasi rezekinya, maka dia berkata, ‘Tuhanku telah menghinakanku.’ Sekali-kali tidak! Bahkan kalian tidak memuliakan anak yatim. Dan kalian tidak saling mengajak memberi makan orang miskin … Dan kalian mencintai harta dengan berlebihan” (QS. Al-Fajr [89]: 15-16)

3. Konsekuensi dari Ulah Manusia
Segala kejadian pasti ada sebabnya, setiap perilaku ada konsekuensinya, entah bersifat material ataukah immaterial, yang tampak ataupun yang batin. Tidak ada yang tahu pengaruh batin kecuali Allah. Manusia diberi kesempatan untuk mengetahui dan menilai sendiri perilaku dirinya: apakah masih baik ataukah sudah buruk. Sebagian bencana dan musibah merupakan catatan peringatan bahwa itu terjadi lantaran juga dampak lahir dan batin dari perilaku buruk kita sendiri.

فَكُلًّا أَخَذْنَا بِذَنبِهِ ۖ فَمِنْهُم مَّنْ أَرْسَلْنَا عَلَيْهِ حَاصِبًا وَمِنْهُم مَّنْ أَخَذَتْهُ الصَّيْحَةُ وَمِنْهُم مَّنْ خَسَفْنَا بِهِ الْأَرْضَ وَمِنْهُم مَّنْ أَغْرَقْنَا ۚ وَمَا كَانَ اللَّهُ لِيَظْلِمَهُمْ وَلَٰكِن كَانُوا أَنفُسَهُمْ يَظْلِمُونَ

“Maka masing-masing mereka itu Kami azab karena dosa-dosanya, di antara mereka ada yang Kami timpakan kepadanya hujan batu kerikil, ada yang ditimpa suara keras yang mengguntur, ada yang Kami benamkan ke dalam bumi, dan ada pula yang Kami tenggelamkan. Allah sama sekali tidak hendak menzalimi mereka, tetapi merekalah yang menzalimi diri mereka sendiri.”
(QS. Al-Ankabut [29]: 40)

Di ayat lain Allah berfirman, “Dan musibah apa pun yang menimpa kalian adalah karena apa yang diperbuat oleh tangan sendiri, dan Allah memaafkan yang banyak” (QS. Al-Syura [42]: 30).

Perlu dicatat tebal bahwa dalam ayat ini diakhiri dengan keterangan Allah bahwa Dia menganulir banyak kesalahan diri manusia. Musibah itu tidak lebih banyak dari maaf-Nya atas kelancangan manusia terhadap-Nya. Betapapun, belas kasih Allah mendahului dan mengungguli murka-Nya. Namun, jika ditimbang keadilan Allah, musibah itu tidak seberapa daripada limpahan karunia yang terus Dia berikan kepada manusia. Dalam munajat Sayyidina Ali disebutkan, “Ya Allah! Perlakukanlah kami dengan kemurahan-Mu, dan jangan perlakukan kami dengan keadilan-Mu!”

Baca Juga :  Dosa-dosa tidak Merdeka (2): Mencari Kemerdekaan dalam Pancasila, di Sila yang mana?

“Dan seandainya Allah menghukum manusia karena kezalimannya, niscaya Dia tidak akan meninggalkan di [bumi] dari makhluk yang melata sekalipun, akan tetapi Dia menangguhkan mereka sampai waktu yang ditentukan” (QS. Al-Nahl [16]: 61)

4. Konsekuensi dari Iman Manusia dan Kasih Allah
Bencana juga menimpa orang-orang pilihan Allah. Dalam hadis Nabi SAW disebutkan, “Orang yang paling keras musibahnya adalah para nabi, lalu orang yang mirip dengan mereka” (Shahīh Al-Bukhārī, hadis no. 8440). Musibah mereka bukan karena dosa, sebab mereka dapat menjaga diri dari dosa, tetapi dalam rangka menaikkan derajat kesempurnaan mereka.

ذَٰلِكَ بِأَنَّهُمْ لَا يُصِيبُهُمْ ظَمَأٌ وَلَا نَصَبٌ وَلَا مَخْمَصَةٌ فِي سَبِيلِ اللَّهِ وَلَا يَطَئُونَ مَوْطِئًا يَغِيظُ الْكُفَّارَ وَلَا يَنَالُونَ مِنْ عَدُوٍّ نَّيْلًا إِلَّا كُتِبَ لَهُم بِهِ عَمَلٌ صَالِحٌ ۚ إِنَّ اللَّهَ لَا يُضِيعُ أَجْرَ الْمُحْسِنِينَ

“Yang demikian itu karena mereka tidak ditimpa kehausan, kepayahan dan kelaparan di jalan Allah, dan tidak pula menginjak suatu tempat yang membangkitkan amarah orang-orang kafir, dan tidak menimpakan suatu bencana kepada musuh kecuali [semua] itu dicatat bagi mereka sebagai amal kebaikan. Sungguh Allah tidak menyia-nyiakan pahala orang-orang yang berbuat baik.”
(QS. Al-Taubah [9]: 120)

Sayyidina Ali bin Abi Thalib ra. mengatakan, “Bencana itu pelajaran bagi orang zalim, ujian bagi orang beriman, dan kedudukan bagi para nabi” (Mustadrak al-Wasa’il, jld. 2, hlm. 438).

Oleh karena itu, keliru bila kita menilai setiap bencana dan musibah semata-mata siksa, azab dan murka Allah. Bencana juga tanda kedudukan korban tertimpa sebagai kekasih yang dicintai Allah. Bagi orang beriman dan orang-orang saleh, bencana itu karunia yang menempatkan kedudukan mereka lebih tinggi dan lebih dekat lagi dengan Allah, yaitu dengan cara tabah, bersabar dan tetap optimis dengan janji terbaik Allah, kalau tidak di dunia, di alam setelah kematian. Mereka inilah yang berhak mendapatkan kabar bahagia dari Allah:

Baca Juga :  Allah: Ada di mana? Kapan Dia Ada? Di Luar atau Bersama Makhluk?

“Dan sampaikan kabar gembira kepada orang-orang yang sabar. [Yaitu] orang-orang yang apabila ditimpa musibah, mereka berkata, “Inna lillahi wa inna ilayhi raji‘un” (sesungguhnya kami milik Allah, dan kepada-Nya-lah kami kembali)” (QS. Al-Baqarah [2]: 156).

–MUSIBAH ITU BAGI PECINTA SEPERTI API BAGI EMAS.

5. Memberi Pelajaran dan Memulihkan Kesadaran 
Sayyidina Ja’far bin Muhammad al-Shadiq mengatakan bahwa setiap kali Allah menghendaki kebaikan untuk seorang hamba, maka tatkala ia bermaksiat, Allah menimpakan musibah kepadanya agar tidak lalai memohon ampunan dari-Nya. Sebaliknya, Allah memberi limpahan nikmat kepada hamba yang berbuat maksiat hingga ia lupa memohon ampunan dan meneruskan maksiatnya.

وَبَلَوْنَاهُم بِالْحَسَنَاتِ وَالسَّيِّئَاتِ لَعَلَّهُمْ يَرْجِعُونَ

“Dan Kami uji mereka dengan kebaikan-kebaikan dan keburukan-keburukan agar mereka kembali.”
(QS. Al-A’raf [7]: 168)

Sebelum ayat ini, Allah mengisahkan azab atas Firaun dan pengikutnya, “Dan sungguh Kami telah menghukum Firaun dan kaumnya bertahun-tahun dan kekurangan buah-buahan agar mereka ingat kembali.” (QS. Al-A’raf [7]: 130).

“Dan tidakkah mereka memperhatikan bahwa mereka diuji sekali atau dua kali setiap tahun, namun mereka tidak [juga] bertaubat dan tidak mengambil pelajaran” (QS. Al-Taubah [9]: 126).

Lupa diri digambarkan secara eskplisit dalam sejumlah ayat, di antaranya di surah Hud, “Dan jika Kami cicipkan karunia kepada manusia, kemudian Kami cabut kembali, pastilah dia menjadi putus asa dan ingkar. Dan jika Kami cicipkan kebahagiaan setelah bencana menyentuhnya, niscaya dia akan berkata, “Bencana itu telah hilang dariku.” Sungguh dia merasa sangat gembira dan bangga. Kecuali orang-orang yang bersabar dan berbuat kebaikan, mereka inilah menperoleh ampunan dan pahala yang besar” (QS. Hud [11]: 9-11)

Kegembiraan dan kebanggaan mereka kerap melampaui batas hingga merasa diri jumawa, mandiri dan merasa sudah bisa melakukan apa saja hingga lupa perhitungan setelah kematian, seolah dia tidak akan mati dan akan hidup selamanya. Sedikit saja dicicipkan kenikmatan oleh Allah, dia mengatakan:

“Ini hakku, dan aku tidak yakin Hari Kiamat itu akan terjadi” … Dan apabila Kami berikan nikmat kepada manusia, dia berpaling dan menjauhkan diri [dengan sombong, tetapi apabila ditimpa musibah, dia berdoa panjang” (QS. Fushshilat [41]: 50-51).

Share Page

Close