• LAINYA

HADIS-TASAWUF–Melihat tidak sama dengan tidak melihat. Melihat tentu saja lebih sempurna daripada tidak melihat. Perbandingan antara dua mata beserta kesimpulan pasti ini logis bila kedua mata itu sama-sama punya potensi melihat. Tapi, jika potensi itu tidak ada atau objek yang dilihat sedemikian jauhnya hingga menihilkan potensi mata melihat, maka pengakuan melihat objek tersebut agaknya merusak kejujuran atau terlampau berlebihan.

Tentang Tuhan juga demikian. Manakah derajat yang lebih tinggi: melihat Tuhan atau tidak melihat Tuhan? Jawaban atas pembandingan ini dapat ditelusuri, di antaranya, melalui hadis yang populer dengan nama Hadis Jibril. Umumnya, hadis ini dipahami dan diterangkan dengan menekankan melihat Tuhan itu lebih tinggi derajatnya daripada tidak melihat Tuhan.

Hadis Jibril merupakan salah satu hadis masyhur di kalangan sufi, terutama dalam tradisi tasawuf Ibnu Arabi. Pembaca akan mudah menjumpainya hampir di setiap jilid adikaryanya, Al-Futuhat Al-Makkiyah. Lewat hadis ini pula ia dan para sufi lain mengajarkan makna ihsan, di samping islam dan iman.

MEMBUKAKAN RAHASIA KETUHANAN ITU KEKAFIRAN–Imam Ghazali

Para imam besar hadis, termasuk Imam Bukhari dan Imam Muslim, meriwayatkan hadis Jibril dari Abu Hurairah. Dinamai Hadis Jibril karena menerangkan pertemuan Nabi Muhammad SAW dan Malaikat Jibril. Pertemuan keduanya disaksikan para sahabat. Di pertemuan itu pula Nabi dan Jibril berbincang tentang iman, Islam dan ihsan. Karena itu, hadis ini juga dikenal dengan Hadis Ihsan.

Hadis ini cukup panjang. Singkatnya, setelah tanya-jawab tentang islam dan iman, Jibril bertanya definisi ihsan, Nabi SAW menjawab:

أَنْ تَعْبُدَ اللهَ كَأَنَّكَ تَرَاهُ فَإِنْ لَمْ تَكُنْ تَرَاهُ فَإِنَّهُ يَرَاكَ
Hendaknya engkau beribadah kepada Allah seakan-akan engkau melihat-Nya. Jika engkau tidak melihat-Nya, maka sesungguhnya Dia melihatmu.”

Sabda ini dapat dipenggal menjadi dua bagian. Setiap bagian mencerminkan keadaan dan pengalaman tertentu seorang hamba dengan Tuhannya.

Dua keadaan ini dialami dalam kerangka ibadah, yakni mengabdi dan membudakkan diri hanya kepada Allah. Bagi muslim, hidup ini adalah ibadah, demikian juga sebaliknya: ibadah itu adalah hidup. Orang yang tidak beribadah adalah mati, dan orang mati adalah dia yang tidak beribadah. Kematian ruh itulah kematian yang sesungguhnya.

Maka, seluruh hidup muslim merupakan ibadah, “Hanya kepada Engkaulah kami beribadah” (QS. Al-Fatihah [1]: 5). Diamnya ibadah, geraknya ibadah, bahkan tidurnya pun dapat diiisi dengan ibadah. Artinya, setiap nafas yang ia tarik merupakan medan yang dapat diisi dengan nilai ibadah, yakni menyambungkan segala sesuatunya dengan kehendak Allah.

“Katakanlah [Muhammad], ‘Sesungguhnya salatku, ibadahku, hidupku dan matiku hanyalah untuk Allah, Tuan alam-alam.” (QS. Al-An’am [6]: 162).

Jika kehidupan ini mesti diisi sepenuhnya dengan nilai-nilai ibadah, seorang muslim seharusnya menjadi hamba yang selama hidupnya dapat melihat Allah dengan ruh dan mata batin. Ketika dalam hidupnya ia tidak melihat atau gagal melihat Allah, maka saat itu ia terdegradasi ke bawah derajat manusia, jatuh sederajat di bawah binatang.

Baca Juga :  Konsep Umat: Menggali Nilai-nilai Apriori dan Aposteriori Sosial Alquran (1): Esensi Umat

Sebaliknya, apabila seseorang berhasil melihat keagungan dan rahasia-rahasia Allah, maka hidupnya sederajat dengan “manusia khalifah”, layaknya Allah menempatkan manusia sebagai khalifah di muka bumi. Ketika itu, keagungan Allah tampak di hadapannya. Di sinilah tampak lapisan pertama dari ihsan, yaitu mampu melihat manifestasi keagungan Allah.

Ini keadaan pertama. Adapun keadaan kedua yaitu pengalaman hamba menjalani hidupnya namun belum mampu mencapai level “seakan-akan melihat Allah”. Dalam keadaan ini, setidaknya, ia yakin bahwa Allah melihat dirinya. Demikian pemahaman ini lazim ditarik oleh banyak kalangan dari penggalan kedua dari sabda Nabi, “Jika engkau tidak melihat-Nya, maka sesungguhnya Dia melihatmu.” Yakni, jika engkau tidak berhasil melihat-Nya, maka setidak-tidaknya engkau masih punya keyakinan bahwa Dia melihatmu.

HATI ORANG BERIMAN ADALAH ARASY YANG MAHAKASIH–Baginda Nabi SAW

Berdasarkan tafsiran ini, keadaan orang yang disinggung oleh penggalan kedua sabda Nabi SAW berada di bawah level hamba yang disebutkan di penggalan pertama. Derajat orang yang tidak mampu melihat Allah berada di bawah orang-orang yang mampu melihat-Nya.

Dari penjelasan singkat Ibnu Arabi di beberapa tempat Al-Futuhat Al-Makkiyah, hadis Jibril juga dapat dipahami sebaliknya. Yakni, penggalan kedua hadis ini bukan penurunan [derajat], tetapi justru peningkatan, bukan ketidakmampuan dan kegagalan hamba, tetapi bahkan keberhasilan tertinggi dan derajat terutama manusia.

Dalam jilid 4 dari buku itu, Ibnu Arabi menerangkan tafsiran yang tidak populer ini dalam sepotong bait puisi yang mirip penggalan kedua sabda Nabi:

فَإِنْ لَمْ تَكُنْ، تَرَهُ
“Jika engkau tidak ada, engkau niscaya melihat-Nya.”

Berdasarkan tafsiran ini, penggalan kedua justru berada di atas derajat penggalan pertama. Ibnu Arabi menerjemahkan (penggalan kedua) lebih radikal lagi: jika dirimu berhasil lenyap atau tidak ada, maka di situlah kamu melihat-Nya. Dengan kata lain, manusia yang berhasil tidak lagi mampu melihat Allah sesungguhnya lebih tinggi derajatnya di atas manusia yang berhasil melihat-Nya.

Dibaca dalam teori Agnoseologi tasawuf Islam di sepanjang karya-karya Ibnu Arabi, tampaknya ketidakmampuan melihat Allah, menurut Ibnu Arabi, adalah keberhasilan yang derajatnya lebih tinggi daripada derajat orang yang mampu melihat Allah.

Dalam pengalaman wahdatul wujud dan keadaan fana, seseorang menyaksikan keberadaan Allah sebanding dengan ketiadaan dan kelenyapan dirinya, maka lenyap pula kesempurnaan apa pun yang melekat pada dirinya; dirinya kosong dan nol bukan hanya dari penglihatan dan pendengaran, bahkan kosong dari semua pengetahuan dan kehendak dirinya.

Baca Juga :  Filsafat Islam: Meninjau Peluang dan Tantangan Kontribusinya dalam Problematika Kemanusiaan

Gambaran derajat tertinggi ini juga terungkap dalam sabda Nabi SAW yang kerap dikutip oleh Ibnu Arabi: “Aku tidak [sanggup] menghitung pujian bagi-MU. Engkaulah sebagaimana yang Engkau puja-puji kepada diri-Mu Sendiri”. Sabda ini menerangkan bahwa esensi Allah tidak bisa dijangkau dan dideskripsikan bahkan oleh manusia sesempurna Baginda Nabi SAW.

Begitu seseorang mengklaim atau merasa diberi anugerah berupa kemampuan melihat rahasia-rahasia Allah, maka itu bukan pencapaian terakhir. Justru di tingkatan itulah harus lebih waspada lagi dan menjaga (takwa-diri) agar teguh pada posisi tetap sebagai hamba, menghindar dari mengklaim diri-aku serta ujub “merasa diri-ku memiliki sesuatu” apalagi menikmati dan memperggunakan rahasia Allah. Imam Ghazali dalam Misykat Al-Anwar mengingatkan sufi, “Membukakan rahasia ketuhanan adalah kekafiran.”

Karena itu, di depan orang yang berhasil melihat Allah dengan mata batinnya masih terbuka jalan panjang untuk ditempuh dengan hati-hati dan hati yang rukuk dengan sepenuh makna ubudiyyah, penghambaan dan pembudakan diri, yakni fana, kelenyapan dan ketiadaan diri. Pada derajat ini juga akan lenyap pengetahuan dan kehendaknya seperti ungkapan Sahal Al-Tustari dalam kutipan Al-Futuhat Al-Makkiyyah, “Makrifat adalah pengetahuan akan ketidaktahuan”, dan kata-kata Abu Yazid Bustami yang kerap diulang-ulang Ibnu Arabi dalam adikarya yang sama, “Aku menghendaki agar aku tidak menghendaki.”

Derajat hamba sempurna itu seperti disampaikan oleh Sayidina Abu Bakar ra., “Ketidakmampuan mengetahui [hakikat] pengetahuan adalah pengetahuan [hakiki].” Jadi, puncak pengetahuan ialah kenyataan dirinya bahwa dia tidak tahu, dirinya sebegitu lemah dan tak berdaya menjangkau Allah. Ketiadaan pengetahuan dan kekosongan kehendak inilah yang membuka hati untuk siap sepenuhnya menjadi takhta Allah. Dalam sabda suci Nabi SAW, “Hati orang beriman adalah arasy Yang Mahakasih.”

DAN KESEMPURNAAN MENTAUHDKAN-NYA IALAH MEMURNIKAN DIRI KEPADA-NYA, DAN KESEMPURNAAN MEMURNIKAN DIRI KEPADA-NYA IALAH MENAFIKAN SIFAT-SIFAT DARI-NYA–Ali bin Abi Thalib ra.

Asas Agnoseologi dalam tasawuf Ibnu Arabi ini juga menjadi tafsir atas “Allahu Akbar”. Kalimat Takbir ini bukan berarti Allah lebih besar dari segala sesuatu, tetapi Allah lebih besar dan lebih agung dari kemampuan setiap orang dalam membandingkan-Nya dengan segala sesuatu.

Dengan demikian, Allah bukanlah salah satu dari dua objek perbandingan. Dia tidak dapat dijangkau oleh pengetahuan manusia. Sedemikian tingginya Allah, Dia tidak bisa diperbandingkan. Dia melampuai segala pembandingan dan di luar pengetahuan siapa pun.

Dalam hadis Qudsi yang juga masyhur dari Imam Bukhari, seorang hamba dapat mendekati Allah dengan beribadah dan menjalankan kewajiban-kewajiban syariat. Ia bahkan dapat terus mendekatinya dengan ibadah-ibadah sunah hingga Allah mencintainya. Selanjutnya:

“Apabila Aku (Allah) telah mencintainya, Aku pun menjadi pendengarannya yang dengannya ia mendengar, Aku menjadi penglihatannya yang dengannya ia melihat, Aku menjadi tangannya yang dengannya ia memukul, dan Aku menjadi kakinya yang dengannya ia berjalan.”

Baca Juga :  Tafsir Al-Tustari, Tafsir Sufi Pertama dalam Sejarah

Demikian Allah mengisi kekosongan seorang hamba dari keberadaan, pengetahuan dan kehendak. Ketika penglihatan kita sudah hilang, ketika kehendak kita lenyap, ketika segenap wujud kita tepat berada di titik nol, maka Allah mengisi penglihatan dan kehendak kita dengan penglihatan dan kehendak-Nya. Tidak mungkin ada dua kehendak dalam satu hati:

“Allah tidak menjadikan bagi seseorang dua hati dalam dirinya” (QS. Al-Ahzab [33]: 4).

Dalam terang hadis Qudsi tadi, maka penggalan dan keadaan kedua hamba merupakan pengalaman hamba yang dicintai Allah. Dia melihat dan menghendaki tidak lagi dengan penglihatan dan kehendaknya sendiri, tetapi dengan penglihatan dan kehendak Allah.

Di sini tampak, sekali lagi, maksud separuh bait Ibnu Arabi di atas, “Jika engkau tidak ada, niscaya engkau melihat-Nya.” Apabila hamba mencapai derajat fana dan lenyap-diri hingga ia tidak bisa melihat-Nya dengan pandangannya sendiri lantaran begitu lemah pandangannya dan sedemikian agung Realitas-Nya, maka yang melihat itulah Allah saat dia melihat.

Maka, makna ihsan dalam Hadis Jibril di atas juga dapat dijelaskan berikut: hendaknya kamu beribadah kepada Allah dan menjalani hidupmu seakan-akan melihat-Nya. “Jika engkau tidak melihat-Nya, maka sesungguhnya Dia melihatmu.” Yakni, jika kamu kemudian berhasil meningkat lebih sempurna hingga kamu tidak lagi mampu melihat Allah, ketika itulah Dia sesungguhnya menjadi penglihatanmu yang dengannya kamu melihat. Maka, pada tingkatan agnoseologis (fana, kelenyapan diri, ketidaktahuan), kamu melihat tidak lagi dengan penglihatan dirimu sendiri, tetapi dengan penglihatan Allah, “…. maka sesungguhnya Dia melihatmu.”Penjelasan ini, sekali lagi, dikuatkan oleh puisi Rubaiyat Ibnu Arabi di Bab 63 di buku yang sama:

Bila kekasihku tlah tampak diri-Nya
dengan mata apakah aku melihat-Nya.
Dengan mata-Nya, bukan dengan mataku
karena selain-Nya tak ‘kan melihat-Nya.

Ibnu Arabi segera membubuhkan catatan, “Ini merupakan tanzih ‘penyucian’ atas maqam Allah sekaligus pengakuan atas firman-Nya, “Dia tidak terjangkau oleh mata.” Ini tidak berlaku secara khusus hanya di alam ini tidak di alam lain, karena Allah menyatakan ayat itu secara mutlak dan fakta nyata yang terbuktikan. Maka, Dia tidak diketahui oleh selain diri-Nya. Jadi, dengan mata-Nya ia melihat-Nya. Dalam hadis disebutkan, “Aku menjadi matanya yang dengannya ia melihat.”

Pertanyaan berikutnya, apakah penjelasan ini juga didukung oleh Alquran? Nantikan jawabannya dalam uraian irfani-isyari atas tafsir QS. Al-An’am [6]: 122 dan QS. Al-Furqan [25]: 45.

  • Tulisan diadaptasi dari islamindonesia.id.
  • Untuk detail kelengkapan referensi tulisan ini silakan menghubungi penulis via e-mail: ammarfauziheryadi@gmail.com

 

Share Page

Close