• LAINYA

Sampai di bagian pertama cukup jelas kiranya bahwa antropologi filosofis Mulla Sadra tegak di atas dua prinsip penting: Kesejatian Ada (ashālat al-wujūd) dan Gerak Substansial (al-harakat al-jawhariyyah).

Maka, pada hemat Mulla Sadra, manusia sebagai manusia itu sendiri adalah Ada. Berbeda dengan Ibnu Sina yang menganggap hakikat manusia sebagai kuiditas abstrak (māhiyyah mujarradah), ia mendefinisikannya sebagai Ada abstrak (wujūd mujarrad). Ada abstrak manusia adalah realitas pemeragu (hierarkis) dan, sepanjang hidupnya, mencakup berbagai derajat, artinya ia suatu adaan yang senantiasa dalam transformasi, penyempurnaan, dan memiliki spektrum luas yang mencakup berbagai derajat bahani/material dan abstrak.

Pada bagian kedua ini, kemenyempurnaan manusia sebagai realitas abstrak dan berderajat akan dijabarkan dalam kerangka transformasi dan gerak.

Manusia sebagai semata-mata manusia adalah suatu adaan yang senantiasa dalam perubahan dan kemenyempurnaan.(1) Realitas manusia adalah Ada abstrak, bukan kuiditas abstrak. Maka dia senantiasa berada dalam keadaan menjadi.

Jika realitas manusia adalah substansi atau kuiditas abstrak yang berada dalam substansi bahani/material seperti burung dalam sangkar, maka ia tidak dapat bergerak, karena kuiditas, berbeda dengan Ada, adalah suatu realitas utuh dan tuntas yang tidak menerima kemenjadian dan transformasi pada esensinya. Perubahan substansi bahani/material menjadi substansi abstrak merupakan perubahan kuiditatif yang tidak mungkin dan mustahil terjadi-nyata. Itulah mengapa para pendukung Kesejatian Kuiditas (ashālat al-māhiyyah) mengaitkan setiap perubahan dan transformasi pada diri manusia dengan aksiden.

Sementara, bagi Mulla Sadra, realitas manusia adalah Ada abstrak, yaitu adaan yang merupakan titik puncak kemenyempurnaan alam bendawi dan titik awal alam ruhani. Kandungan semua derajat Ada bendawi adalah aktual (bi al-fi‘l), sementara semua derajat ruhani adalah potensial (bi al-quwwah). “Jiwa membentuk aksiden yang tersiar luas yang, di satu ujungnya, ada bahan/materi bendawi dan, di ujung lainnya, ada Akal Pemisah. Dari semacam Ada yang hierarkis (berderajat) ini, selama berada di antara dua batasan tersebut, kita mengabstraksi kuiditas jiwa.”(2)

Dengan kata lain, jiwa adalah diferensi (fashl) terakhir manusia, dan diferensi terakhir pada setiap adaan pasti mencakup semua genus dan diferensia sebelumnya. “Bentuk manusiawi (shūrah insāniyyah) adalah hakikat terakhir dan derajat bendawi tertinggi sekaligus hakikat dan maqam pertama ruhani. Ini adalah suatu maqam dan derajat menengah antara derajat terakhir kebendaan dan derajat pertama keabstrakan.”(3)

Pada dasarnya, setiap manusia memiliki bentuk terakhir yang tidak terdapat pada adaan sebelum mereka. Bentuk terakhir ini tak lain adalah akal cakap (‘aql nāthiqah) yang, seperti titik pertemuan dua laut, mempertemukan kedua laut: bahani/material dan abstrak.

“Jiwa adalah pertemuan dua laut, yaitu suatu tempat untuk pertemuan dan perkumpulan dua laut yang berbeda: yang-satu laut Ada bendawi dan yang-lain laut Ada ruhani. Jadi, jika Anda amati realitas jiwa di alam bendawi ini, Anda akan melihat bahwa jiwa, di rumah bendawi ini, adalah asal dan dasar semua daya fisikal dimana semua bentuk nabati dan hewani serta bentuk-bentuk mati berada di bawah kendalinya, karena semua itu merupakan efek dan implikasi dari Ada di alam ini. Jika Anda meninjau realitas jiwanya di alam aklani dan rumah ruhani, Anda akan temukan bahwa ia, sebanding dengan alam luhur (malakut), adalah suatu kekuatan yang bebas dan kosong dari bentuk apa pun, dan hubungannya dengan alam itu adalah seperti hubungan antara benih dan buah, karena benih adalah benih secara aktual sekaligus buah secara potensial.”(4)

Gerak jiwa bukanlah sejenis gerak mekanis atau dinamis, tetapi suatu gerak kemenguatan (isytidād). Gerak jiwa juga bukan gerak dalam aksiden, tetapi gerak substansial yang, dalam gerak ini, aksiden juga turut berubah. Jiwa adalah Ada abstrak dan satu realitas yang mencakup berbagai derajat sehingga, karena itu, ia dapat bergerak. Jiwa memulai gerak substansialnya dari alam fisik (thabī‘ah) dan, dengan melewati alam ini, mencapai alam ide (mitsāl), kemudian ia memasuki derajat (alam) akal dan, di alam akal ini, ia terus bergerak hingga sampai di [derajat] keabstrakan sempurna (tajarrud tāmm) akal. Melalui gerak substansial inilah jiwa mencapai berbagai kesempurnaan.

Baca Juga :  Azas Memaafkan dan Derajat Pemaaf di Pengadilan Yang Mahaadil

Gerak jiwa juga derajat-derajatnya memiliki aspek pengetahuan. “Jiwa memiliki tiga derajat kepengetahuanan: derajat pertama, bentuk indrawi fisikal yang representatifnya adalah badan dan pancaindra. Derajat inilah yang dikenal sebagai “dunia”. Derajat kedua, bayangan dan bentuk yang terputus dari indra lahiriah. Representatif derajat ini adalah indra batin atau dikenal juga dengan nama “alam gaib” dan “akhirat”. Derajat ketiga, derajat akal yang merupakan negeri orang-orang yang didekatkan (muqarrabīn), wisma akal dan akalan (ma‘qūl). Representatif derajat ini adalah daya akal.”(5) Tiga derajat jiwa ini berjenjang secara sepanjang (thūlī) dimana setiap derajat meliputi derajat di bawahnya.

Aspek kepengetahuanan pada derajat-derajat jiwa menyebabkan perbedaan tiga derajat itu(6) bersifat hierarkis, berupa perbedaan antarderajat. Hal-hal fisikal, kuantitatif dan aklani merupakan genus bagi masing-masing derajat dan diketahui melalui, secara berurutan, indra yang asalnya adalah fisik, khayal yang asalnya adalah jiwa, serta [kegiatan] berakal yang asalnya adalah akal.(7)

Poin penting di sini, jiwa bukanlah sesuatu yang tetap (tsābit) dan tidak memiliki kapasitas mengetahui berbagai hal di berbagai derajat. Menurut Mulla Sadra, jiwa adalah adaan ajaib yang, di setiap posisi dan derajat, mengada dengan suatu bentuk yang sesuai dengan posisi dan derajat tersebut. Di alam (derajat) benda, ia mengada dengan bentuk (realitas) badan, di alam ide ia dengan bentuk badan lembut atau badan ideal atau barzakhi dan, di alam aklani, ia dengan bentuk akal.(8) Akan tetapi, jiwa biasanya lalai terhadap sebagian derajat dirinya seraya fokus pada sebagian lainnya. Alam ide dapat diketahui dalam mimpi, kematian, barzakh dan [dalam menerima] wahyu.

Meskipun tidak ada perbedaan pendapat di kalangan filsuf Islam mengenai tiga derajat jiwa, teori Mulla Sadra berbeda dengan teori Suhrawardi tentang alam/derajat ideal yang merupakan batas penengah (hadd wasath) antara realitas bendawi manusia dan realitas aklaninya. Suhrawardi percaya bahwa alam ide adalah suatu Ada yang mandiri dari manusia yang dikenal dengan istilah khayal terpisah (khayāl munfashil) atau alam ide terbesar (‘ālam al-mitsāl al-akbar). Sementara Mulla Sadra mengatakan, “Alam ide tidak berada di luar alam jiwa yang luas dan selalu merupakan salah satu dari keadaan jiwa.”(9)

Alhasil, perbedaan pendapat Mulla Sadra dan Suhrawardi itu tidak berpengaruh signifikan terhadap studi kita atas gerak jiwa di sini. Jiwa pegerak (mutaharrik: yang-bergerak) menjalani naik-turun dan ulang-alik antar-tiga alam tersebut. Naik-turun berulang-kali jiwa dalam derajat dan posisinya menyebabkan dirinya antara ingat dan lupa.

Jiwa cakap mengalami serangkaian perubahan hingga adakalanya lenyap dari dirinya sendiri dan adakalanya pula kembali-sadar pada diri sendiri. Terkadang ia berpaling dari alam kesucian dan berkonsentrasi pada badan, terkadang pula ia berfokus pada alam kesucian dan menghadapkan ‘wajah’ kepada Tuhan.

Oleh karena itu, gerak jiwa tidak memiliki arah yang tetap juga tidak mesti meluhur dan menyempurna. Meskipun gerak ini, seperti juga gerak lainnya, menuju arah tertentu, akan tetapi berdasarkan kehendak dan kebebasan esensialnya arah itu tidak tertentukan dan terdefinsikan sebelumnya sehingga menjalani berbagai kemajuan dan kemunduran. Gerak jiwa di derajat rendah memiliki porsi dan kapasitas tertentu dan, terlepas dari kehendak kita, badan melanjutkan perubahan tertentu dan transformasi yang telah dirancang sebelumnya.

Baca Juga :  Pandemi dan Argumen Ateis atas Ketiadaan Tuhan (3): “Tidak Tahu” dalam Etika Berpikir dan Berkeyakinan

Namun, gerak jiwa di derajat tinggi berlangsung tidak sesuai model yang telah dirancang sebelumnya juga tidak terlepas dari kehendak-bebas kita. Gerak kepengetahuanan jiwa cakap akan terus bergantung pada keinginan dan tindakan bebas kita. Jika gerak jiwa cakap ini terus menerus menuju alam kesucian, maka gerak substansialnya akan berubah menjadi semacam gerak meluhur (harakat isti‘lā’ī).

Gerak jiwa—bertolak dari definisinya sebagai keluarnya jiwa dari potensialitas ke aktualitas dan naik dari derajat bahani-bendawi jiwa ke derajat ideal-khayali kemudian ke derajat aklani—tidak terjadi secara kebetulan (tashādufī) dan tanpa-sebab; ia bergantung pada kepelakuan subjek-pegerak (mutaharrik). Sesuatu yang membuat jiwa bergerak di tiga derajat tersebut tidak mungkin berupa sesuatu yang non-aklani.

“Kapanpun jiwa bergerak dari batas-batas potensialitas dan mencapai batas aktualitas pasti harus ada sesuatu yang menghantarkan jiwa dari tahapan itu ke tahapan ini. Jika sesuatu ini adalah adaan non-aklani seperti: badan atau kekuatan bendawi, maka derajat adawi yang lebih rendah menjadi sebab yang berpengaruh pada sesuatu yang, dari aspek adawi (hayts wujūdī), lebih mulia (lebih tinggi) sehingga non-akal berpengaruh pada akal, dan ini tentu saja mustahil terjadi.”(10)

Berdasarkan hukum universal, mu‘thī al-syay’ wūjid lahu (pemberi sesuatu pasti memilikinya), hanya pemilik derajat adawi yang lebih tinggi itulah yang bisa menghantarkan jiwa ke derajat tinggi akal. Oleh karena itu, sebab-pelaku (‘illah fā‘iliyyah) gerak jiwa mencapai derajat aklani, pada kenyataannya, adalah sesuatu yang merupakan akal fitriah atau akal esensial, yakni Akal Aktif (‘aql fa‘‘āl).

“Sesuatu yang mengantarkan jiwa ke derajat akal adalah [dua kemungkinan: (a)] ia membutuhkan sesuatu yang lain untuk menghantarkannya dari potensialitas ke aktualitas dan menjadikannya sebagai akal aktual (‘aql bi al-fi‘l), maka inferensi ini juga berlaku pada sesuatu yang lain itu dan berlanjut secara tasalsul atau siklus; atau (b) sesuatu yang membuat jiwa menjadi akal aktual ialah esensi akalnya itu sendiri yang murni dari polusi potensialitas dan cacat kesiapan. Dengan demikian, masalah ini terbukti benar.”(11)

Tujuan akhir jiwa adalah Akal Aktif atau kemenyatuan dengan Akal Aktif. Kemenyatuan dengan Akal Aktif ini mungkin terealisasi bagi jiwa, karena Akal Aktif hanya dapat menggerakkan jiwa menuju akal aktual tatkala ia memiliki suatu ketampakan (dhuhur) atau suatu Ada pada jiwa. Pada dasarnya, “meninjau akal Aktif dari aspek Ada pada-dirinya (wujūd fī nafsih) tidak sama dengan meninjaunya dari aspek kenyataannya dalam jiwa.”(12)

Akal Aktif memiliki dua aspek adawi: Ada pada dirinya dan Ada pada diri kita. Kesempurnaan jiwa dan ketuntasannya terealisasi dalam kemenyatuan dengan Akal Aktif, dan bentuk (realitas) jiwa tak lain adalah Ada/keberadaan Akal Aktif untuk jiwa.(13) Karena itu, “jiwa adalah adaan yang kekal, sebagaimana Akal Aktif selalu kekal dan abadi, dan curahan-curahan darinya akan terus turun dan diterima oleh substansi jiwa secara terus-menerus.”(14)

Dengan kata lain, Akal Aktif adalah adaan abstrak yang nyata. Dengan mencurahkan bentuk dan konsep (pengetahuan) kepada jiwa partikular kita, dia menggerakkan jiwa kita menuju akal. Pada hemat para filsuf Muslim, orang-orang pilihan bisa menyatu dengan Akal Aktif melalui berpikir dan berkhayal.

“Semua filsuf Muslim Kepejalanan (masysya’iyyah) menegaskan keniscayaan hubungan akal manusia dengan Akal Aktif sehingga dapat menyingkapkan pola kemunculan pengetahuan universal yang baru juga asal kemunculan pengetahuan. Kindi, Farabi dan Ibnu Sina percaya bahwa jiwa manusia adalah hierarkis, dari akal potensial hingga akal aktual. Dengan pencurahan bertahap dari Akal Aktif, Ruh Kudus atau Akal Suci, manusia memperoleh konsep atau pengetahuan aklani.”(15)

Baca Juga :  Isyarat Literal Ayat Cahaya: Menggali Wahdatul Wujud dari Terjemah Alquran (2): Cahaya Allah atau Cahaya Makhluk

Posisi sentral akal sebagai rezim universal yang berkuasa atas alam semesta menuntut agar bercakap dan berdialog dengan jiwa. Percakapan akal dengan jiwa ada dua macam: percakapan rendah yang, di dalamnya, fisik muncul dan dikelola, dan percakapan tinggi yang berkaitan dengan hal-hal ruhani. Dalam percakapan kedua inilah muncul kesadaran akan kelemahan sekaligus kerinduan meraih kebahagiaan serta kembali ke alam akal.(16)

Tujuan dan cita-cita gerak manusia ialah kebahagiaan. Pada hemat Mulla Sadra,(17) kebahagiaan tercapai dalam kerangka pencapaian derajat tertinggi Ada abstrak, karena kebahagiaan bergantung pada pencapaian kenikmatan maksimal, dan kenikmatan di setiap derajat jiwa atau, dalam ungkapan populer pada masa itu, kenikmatan masing-masing kekuatan jiwa yaitu pengetahuan akan sesuatu yang sesuai dengan esensi derajat atau kekuatan tersebut.

Karena itu, semakin tinggi derajat kenikmatan jiwa, semakin abadi dan bernilai pula kenikmatannya. Karena kesempurnaan eksklusif jiwa cakap di derajat tertingginya—yakni Akal Sumber—adalah kebersambungan dengan akal universal (‘aql kullī) dan menyaksikan berbagai bentuk pengetahuan adaan-adaan yang ada pada esensi akal universal atau Akal Aktif, maka kenikmatan paling abadi dan tertinggi tak lain adalah berada dalam kebersambungan dan penyaksian tersebut. Bahkan, kebahagiaan abadi diraih dalam pencapaian kesempurnaan tinggi ini.

“Kesempurnaan yang khusus bagi jiwa cakap yaitu ia menyatu dengan akal universal, yakni Akal Aktif, dan bentuk-bentuk pengetahuan seluruh adaan, sistem tersempurna serta kebaikan yang keluar dari Asal alam semesta—kebaikan yang mengalir-cair dalam akal, jiwa, esensi benda-benda langit dan elemen ke derajat terakhir Ada, seluruhnya harus tercetak pada esensinya, dan dengan kemenyatuan dengan Akal Aktif dan tercetaknya bentuk-bentuk universal segala adaan pada jiwa, ia (jiwa) pada esensinya sendiri menjadi alam aklani dan dunia pengetahuan, sehingga kuiditas dan realitas kepengetahuanan segala sesuatu akan terealisasi padanya dan kembali ke tanah-air keabadian serta kediaman asli mereka.”(18)

Pada kenyataanya, antroposofi sedemikian menjulang dalam Kebijaksanaan Luhur sehingga, pada akhirnya, Mulla Sadra mendeklarasikan keidentikan manusia dengan Ada. Dia berusaha membuktikan bahwa, berdasarkan kaidah filosofis: “setiap potensi adalah individu dari Ada karena kesederhanaannya”,(19) maka setiap kesiapan (isti‘dād) yang mungkin [mengada-aktual] adalah satu individu atau satu derajat dari Ada hierarkis, dan semua kesiapan itu terhimpun dalam jiwa manusia, “Semua potensi dengan segenap perbedaan mereka terhimpun dalam Ada jiwa.”(20)

Oleh karena itu, jiwa pada esensinya sendiri memiliki kesiapan sehingga jadi penghimpun seluruh derajat yang mungkin,(21) mencapai suatu posisi dimana seluruh alam adalah bagian dari esensinya, dan kekuasaannya mengalir atas semua adaan. Ini hanya karena manusia adalah titik akhir penciptaan. Mulla Sadra juga merujuk perkataan Imam Ali a.s.:

Apakah engkau kira kamu benda kecil, justru pada dirimu terlipat alam akbar.(22)

Apa pun yang terkait dengan benda (fisik) dan berupa kualitas dan aksidennya pasti akan mati, kehilangan kehidupan dan lenyap dari esensinya tergantung pada seberapa tingkat keterikatannya dengan benda. Demikian pula jiwa, tergantung pada tingkat keluarnya dari potensialitas bendawi (fisikal) ke aktualitas aklani, memiliki posisi aklani dan kehidupan aklani. Ketika jiwa mencapai akal aktual, kehidupannya dan kehidupan setiap adaan dimana mereka niscaya berada dalam pengelolaan dan kekuasaannya, serta alam malakut juga batin seluruhnya berada dalam genggaman handalnya.(23) Bersambung

 

Share Page

Close