• LAINYA

SEJARAH–Tidak ada muslim yang tak kenal nama Hamzah bin Abdul Muththalib. Ia adik dari ayah Nabi SAW, hanya terpaut tiga tahun lebih tua dari Nabi. Dalam Islam, Hamzah sangat terhormat karena perjuangan dan pembelaannya untuk Islam dan Nabi SAW. Semua tercermin dari gelar-gelar kehormatan seperti: Asadullah (singa Allah), Asadunnabi (singa Nabi), dan Sayyid al-Syuhada (pemimpin para syahid).

Tidak banyak rekam dan jejak kehidupan Hamzah dicatat sejarawan, baik sebelum masuk Islam ataupun setelahnya. Namun, yang paling unik dan, tentunya, paling menentukan bagi Hamzah sendiri adalah keputusannya masuk Islam dan beriman pada Nabi SAW. Uniknya, tidak ada yang menduga dia akan masuk Islam, tidak masyarakat Mekkah dan tokoh Quraisy, tidak juga bahkan Hamzah sendiri.

Sebagian orang malah mengira Hamzah masuk Islam secara kebetulan dan spontan, tanpa alasan apa pun selain kelepasan kata.

Benarkah demikian? Bagaimana kisahnya?

Sejawaran terawal dan terkemuka, Ibnu Hisyam, dalam sirah-nya (v.2, p.291-292) mencatat Hamzah masuk Islam di Dzulhijjah, bulan terakhir dari tahun keenam sejak Nabi SAW mulai menyerukan Islam di Mekkah. Berawal dari kebetulan Abul Hakam, yang lebih populer dikenal dengan nama Abu Jahal, suatu hari melintas di sekitar Ka’bah, dan menjumpai Nabi SAW di bukit Shafa.

Seperti biasa dan sudah jadi kebiasaannya, Abu Jahal menghampiri Nabi SAW hanya untuk menghina, menista, memaki dan mengumpat beliau dengan kata-kata kasar dan kotor. Beliau sendiri bergeming di hadapannya; beliau tetap diam, hanya mendengarkan dan tidak membalasnya.

Tidak cukup sampai di situ, Abu Jahal lalu memungut batu dan melemparkannya tepat mengenai kepala orang yang paling dia benci. Kepala Nabi SAW terluka sampai berdarah.

Merasa sudah puas, Abu Jahal meninggalkan Nabi SAW menuju kumpulan tokoh-tokoh Quraisy di dekat Ka’bah. Dia bergabung dan duduk-duduk bersama mereka hanya untuk memamerkan dan membanggakan kegagahan dirinya sudah berhasil menistakan Nabi SAW.

Masih juga kebetulan. Rupanya, ada seorang budak perempuan kafir milik Abdullah bin Jadz’an, seorang kafir Quraisy. Tempat tinggalnya tidak jauh dari tempat kejadian. Ia menyaksikan betapa perlakuan kejam Abu Jahal terhadap Nabi SAW di bukit Shafa.

Baca Juga :  Filsafat Alquran (1): 5 Alasan ini, Manusia Perlu Nabi

Tak lama berselang, Hamzah muncul. Ia datang dari berburu dan, seperti biasa, menghampiri Ka’bah sebelum kembali ke rumah. Namun, ia tidak menghampiri kumpulan tokoh-tokoh Quraisy itu. Dalam al-Mustadrak ‘ala al-Shahihayn (hadis no. 4866), Hamzah saat itu masih musyrik, sekepercayaan dengan tokoh-tokoh itu.

Dalam keadaan menggenggam busur panah, Hamzah dihampiri oleh budak perempuan itu, sementara Nabi SAW sudah meninggalkan bukit Shafa dan kembali ke rumah. Si budak melaporkan kejadian kepada Hamzah, “Hai Abu Umarah (Hamzah)! Andai saja engkau melihat apa yang telah diperbuat Abul Hakam (Abu Jahal) terhadap keponakanmu, Muhammad, tadi ini! Betapa dia sudah menghina dan menistakannya begitu kejam!”

Mendengar itu, Hamzah murka. Ia bergegas menuju kumpulan tokoh Quraisy di dekat Ka’bah. Ia duduk bersama mereka, namun mereka tidak lagi membicarakan Nabi SAW. Hamzah menahan amarahnya. Ia lantas pergi cepat-cepat. Tidak seperti biasanya ramah, kali ini ia tidak bertegur sapa dengan siapapun. Ia mengelilingi Ka’bah dengan maksud menemukan Abu Jahal di sekitarnya dan menghajarnya di tempat.

Hamzah justru melihatnya sedang duduk dengan kumpulan tadi. Ia mendekat ke arahnya. Dalam keadaan Abu Jahal duduk di bawah, Hamzah berdiri sambil berkata, “Jadi kamu tadi yang sudah menghina anak saudaraku, padahal aku percaya pada agamanya dan meyakini apa yang dia yakini!” Lantas Hamzah memukul keras Abu Jahal dengan busur panah hingga membuatnya terluka parah.

Spontan orang-orang Bani Makhzum bangkit hendak menyerang Hamzah, namun Abu Jahal menahan mereka, “Biarkan Hamzah! Karena aku sudah puas memaki-maki anak saudaranya.”

Sejak saat itu, tokoh Quraisy dan masyarakat Mekkah mulai menyadari kenyataan Nabi SAW tidak selemah sebelumnya. Kini, Nabi SAW dan umat Islam mulai disegani dan kuat dengan keberadaan Hamzah bersama mereka. Kata-katanya kepada Abu Jahal merupakan ekspresi keislamannya di hadapan publik Mekkah. Ironisnya, kata-katanya sendiri tidak kuat meyakinkan diri Hamzah sendiri.

Baca Juga :  Isyarat Literal Ayat Cahaya: Menggali Wahdatul Wujud dari Terjemah Alquran (3): antara Kafir dan Tidak

Lagi-lagi kebetulan. Kata-kata keislaman Hamzah itu seperti keluar dari mulutnya secara begitu saja, tanpa rencana dan kesadaran, hanya sebagai reaksi spontan dalam keadaan emosi memuncak.

Namun, masih dalam buku hadis tadi, al-Mustadrak ‘ala al-Shahihayn, Al-Hakim menyempurnakan riwayat di atas dengan laporan Sa’ad. Dalam kesaksiannya, Hamzah lalu meninggalkan Abu Jahal merintih. Sesampainya di rumah, ia berpikir dan memikirkan apa yang telah ia lakukan dan ia katakan. Ia mulia ragu dan berkata dalam batinnya, “Aku ini pemuka Quraisy, bagaimana aku jadi pengikut anak kecil itu dan meninggalkan agama nenek moyangku. Aku lebih baik mati daripada melakukan tindakan tadi!”

Hamzah kembali merenung dan gelisah dengan hati yang berkecamuk, “Apa yang telah aku lakukan?! Ya Tuhan! jika tindakanku tadi benar, tanamkanlah keyakinan pada kebenarannya dalam hatiku, tetapi jika tidak benar, tunjukkanlah jalan keluar bagiku dari apa yang telah aku lakukan!”

Hamzah menghabiskan malam itu dengan perang batin. Esok paginya, dia menemui Nabi SAW. Di hadapan beliau, ia berkata, “Keponakan! Aku telah jatuh dalam situasi yang aku tidak tahu jalan keluarnya; aku tidak tahu apakah yang telah aku katakan itu benar ataukah tidak? Maka bicaralah kepadaku! Aku ingin sekali, hai anak saudaraku, menyimak apa yang engkau katakan kepadaku.”

Nabi SAW menyambut permintaan Hamzah. Beliau menyampaikan ajaran, pesan, peringatan dan harapan. Saat itulah Allah membetikkan iman dalam diri Hamzah. Ia membuka hatinya dan menerima apa yang telah dikatakan Nabi SAW.

Setelah bersaksi dengan kalimat syahadat, Hamzah berkata, “Keponakanku! Tunjukkanlah agamamu kepada orang-orang, karena, demi Allah, aku tidak suka melihat matahari bersinar sementara aku masih mengikuti agama sebelumnya.”

Kelengkapan Islamnya Hamzah tidak menunjukkan dirinya jadi muslim tidak begitu saja, apalagi asal-asalan. Memang, pengakuan imannya pada Nabi SAW dalam perkataannya terhadap Abu Jahal diungkapkan secara kebetulan, yakni tanpa rencana dan kesadaran sepenuhnya sehingga ia baru menyadarinya, memikirkannya, merenung dan menimbang-nimbang setelah tiba di rumah.

Baca Juga :  Ulat di Hidung Jenazah Hakim

Kebetulan dan kelepasan kata itu bukan tanpa nilai dan bernilai kecil, kalau tidak justru membawa berkah bagi dirinya, Nabi SAW dan perjalanan Islam. Kebetulan, spontanitas dan sikap reaktif menjadi tidak bernilai bahkan merugikan bila tidak memicu kegelisahan dan keraguan atau malah dijustifikasi dengan berbagai pembenaran dan pembelaan.

Terhadap Abu Jahal yang bodoh, Hamzah menunjukkan kewarasan dan kesehatan akalnya dengan mau memikirkan kembali reaksinya. Alih-alih membuat-buat pembenaran atas tindakannya sendiri, ia justru menginsafi dan membuat dirinya jadi ragu.

Bertolak dari mau berpikir, berinsaf, dan meragu, Hamzah mencari kepastian dan jalan keluar dari kegelisahan dan keraguan dengan instrospeksi-diri, berdialog dan meminta keterangan dari Nabi SAW. Penjelasan serta ucapan Nabi SAW telah cukup kuat memberikan keyakinan dan kepastian akan kebenaran Islam. Atas dasar itu ia bersyahadat, berhidayah dan masuk Islam.

Andai saja Hamzah tidak peduli dengan kata-katanya sendiri, masa bodoh dengan kegelisahannya, atau tidak menanggapi keraguan dirinya, tidak mencari jawaban, tidak pula menemui Nabi SAW dan memahami penjelasannya, ia tidak akan memperoleh hidayah dan masuk Islam.

Hidayah memang dari Allah. Ia seperti air yang mengalir dari sumber. Hanya manusia yang berusaha mencari air dan meraih air akan memiliki dan menikmati air. Seperti juga pengalaman Isaac Newton, fisikawan dan matematikawan asal Inggris, menjadi tokoh puncak Revolusi Ilmiah abad ke-17 dengan temuannya yang paling terkenal, hukum Gravitasi, berkat suatu kebetulan dirinya sedang duduk di bawah pohon apel dan melihat buah itu jatuh ke tanah.

Tidak ada yang tidak bernilai, tidak ada yang sia-sia di dunia ini. Kata-kata dan peristiwa sekecil apa pun menjadi hikmah dan petunjuk Tuhan bila dipikirkan dan disambut dengan akal yang tanggap dan hati yang tulus. Dengan kepekaan akal dan ketulusan hati, Hamzah menangkap cahaya Islam dari kata-katanya yang awalnya sekedar kebetulan. Di akhir riwayat di atas, Sa’ad menutup kisahnya dengan kata-kata, “Demikianlah Allah telah mengkuatkan Islam dengan Hamzah.”

 

Share Page

Close