• LAINYA

[arabic-font]وَلَا تَلْبِسُوْا الْحَقَّ بِالْبَاطِلِ وَتَكْتُمُوا الْحَقَّ وَأَنتُمْ تَعْلَمُوْنَ[/arabic-font]

Dan janganlah kalian mencampuradukkan kebenaran dengan kebatilan dan kalian menyembunyikan kebenaran padahal kalian tahu.”
(QS. Al-Baqarah [2]: 42)

Jurnalisme atau kewartawanan secara etimologis dapat diartikan sebagai coretan pertama dalam sejarah. Namanya saja kewartawanan, tentu ada warta dan berita, yakni informasi yang terpercaya dari seseorang yang juga terpercaya untuk melaporkan dan meyakinkan fakta dan peristiwa nyata. Para wartawan seringkali berinteraksi dengan sumber yang kadangkala melibatkan konfidensialitas dan keterpercayaan.

Maka, ada kemiripan wartawan dan nabi, di antaranya sama-sama membawa berita dan pengetahuan dari sumber yang dijangkaunya untuk disampaikan ke publik yang tidak secara langsung mengakses sumber tersebut. Nabi, dari sisi dapat dikatakan, ialah wartawan yang menyampaikan pesan dan pengetahuan (wahyu) Tuhan kepada manusia sekaligus menjadi perantara antara Al-Khaliq dan makhluk.

Baca juga: Sains Modern Buktikan Teknik Pembuatan Piramida versi Alquran
Baca juga: Mencari Cinta Sejati dan Kehidupan pasca Kematian dalam Pancasila
Baca juga: Sejarah Penerjemahan Alquran Di Indonesia

Jurnalisme seperti juga advokasi merupakan salah satu tugas dan profesi mulia. Wartawan dan pengacara terlibat aktif dalam melayani masyarakat dengan data-data awal, bukti-bukti valid, dan keterangan serta laporan yang dapat dipertanggungjawaban. Dia bisa mengolah data dan mengemasnya untuk meyakinkan pikiran publik dan menenteramkan emosi mereka. Di tangan dia pula opini publik dapat diarahkan; ke arah kemuliaan atau kehinaan; ke arah kegagalan berbangsa atau kemajuan negara.

Maka, komitmen berada di atas kebenaran dan tujuan mulia merupakan syarat multak bagi wartawan dan pengacara. Berdasarkan komitmen dan objektivitas itu pula kepada siapa dia memberikan keberpihakannya dan bagaimana suatu berita dikemas dan data dibingkai dengan framing positif demi nama kebenaran fakta dan keadilan perkara.

Lantas Bagaimana Alquran memandangnya? Apa norma-norma dan nilai-nilai etika yang menjaga kemiripan wartawan dan pengacara dengan peran mulia nabi? Berikut ini ayat yang, kendati singkat, kaya kandungan normatif dan peringatan.

Nilai manusia ialah pengetahuan. Tetapi pengetahuan bukan satu-satunya nilai. Pengetahuan yang benar atau, pendeknya, kebenaran merupakan syarat perlu. Dengan ketulusan hati dan kesatriaan jiwa, manusia menemukan nilai sepenuhnya; ketulusan subjektif itulah syarat lain yang melengkapi peran pengetahuan untuk membangun kehidupan dan mencapai tujuan utama manusia.

Di samping pengetahuan, salah satu kebutuhan primer manusia dalam menimbang, mengambil keputusan, bersikap dan bertindak ialah informasi. Dengan informasi, suatu masyarakat bergerak ke satu titik. Arah dan gerak suatu masyarakat ditentukan secara dominan oleh informasi dan pengetahuan. Maka dalam manajemen sosial diperlukan data dan informasi yang valid dan dapat dipertanggungjawabkan. Keperluan ini, di dunia sekarang, tak ubahnya dengan kebutuhan kita pada udara.

Baca Juga :  Tadabur: QS. Al-Baqarah [02]: ayat 121

Baca juga: QS. Al ‘Imran [3]: 139, Tidak Unggul, Maka Tidak Beriman
Baca juga: QS. Al-Baqarah [2]: Ayat 42, Seni Berbohong Dan Merancang Fakta
Baca juga: QS. Al-Mursalat [77]: 7; Menguji Iman dalam Merespon Janji Tuhan

Oksigen informasi adalah kebenaran, dan polusi informasi adalah kebatilan. Membuat-buat fakta, merias kebohongan, merekayasa keraguan, menyebarkan berita palsu, dan menyesatkan opini publik dan framing berita demi kepentingan kotor sama artinya menghilangkan nilai kemanusiaan dan merusak kebutuhan primer manusia. Ini kejahatan luar biasa.

Dimana ada kebenaran, di situ kebatilan menghadang dan menantang. Salah satu kendala dan tantangan utama sepanjang membangun dan mencapai tujuan hidup ialah kebatilan. Keluar dari jalan lurus disebabkan karena terkecoh oleh kebatilan yang tampak seolah-olah kebenaran, atau terhenti bergerak menempuh jalan karena ketidakjelasan jalan akibat kurang data, informasi dan keterangan yang disembunyikan separuhnya atau dipotong-potong sebagiannya.

Dalam ayat disebutkan dua pola menyiasati fakta dan memodifikasi kebenaran agar tidak tampak utuh dan murni:

(a) Menyembunyikan fakta, termasuk dalam bentuk memendam dan mengubur fakta dengan cara menumpuk isu di atas isu atau mengalihkan isu dengan isu lain agar publik kehilangan perhatian terhadap fakta dan informasi yang dibutuhkan, atau dalam bentuk sama sekali tidak meliput dan tidak melaporkan fakta seolah-olah tidak terjadi apa-apa. Cara seperti ini tak ubahnya dengan menyumbat saluran pernapasan hingga membuat orang hidup tapi mati kehilangan napas kebenaran dan fakta;

(b) Melaporkan dan mengungkapkan fakta dengan distrosi: menambah atau menggunting data dan informasi. “dan jauhilah perkataan dusta” (QS. Al-Hajj [22]: 30). Cara ini sama artinya meracuni udara dengan radiasi framing berita dan analisis untuk disebarkan dan dihirup masyarakat.

Ayat ini tidak menyinggung kebatilan dan kebohongan yang dibuat sepenuhnya batil, mutlak bohong atau, dalam bahasa kita sekarang, murni hoax. Ini barangkali karena membuat berita dan informasi 100% bohong, selain tidak butuh keterampilan, akan mudah diidentifikasi dan dibedakan dari kebenaran dan fakta. Kebatilan dan kebohongan menyecoh dan berpotensi kuat mencipta opini yaitu berita abu-abu yang dikemas dengan busana kebenaran. Imam Ali ra. berkata, “Muslihat paling sulit yaitu menampilkan kebatilan dengan bentuk kebenaran di hadapan orang berakal jernih.”

Berita abu-abu hasil penyampuran hak-batil dan bohong-fakta ini dalam bahasa agama disebut dengan syubhat, yaitu penyamaran dan penyaruan; kebohongan yang menyamar dan menyaru kebenaran.

Data dan informasi itu bernilai tidak hanya karena nilai kebenaran dan faktualitasnya. Informasi yang benar pun justru bisa tidak berguna bahkan merusak dan membahayakan jika berada di tangan pemegang media-media yang berhati kotor untuk tujuan tak terpuji. Diriwayatkan dari Ubaidillah bin Abu Rafi’, budak Rasulullah saw., bahwa kaum Khawarij menyempal dari pasukan Ali bin Abi Thalib, mereka mengatakan, “Tidak ada hukum kecuali milik Allah.” Ali berkata, “Itu perkataan yang benar dimaksudkan untuk kebatilan.” (Muttaqi, Kanz al-Ummāl, hadis no. 31556).

Baca Juga :  Hoaksologi Big Data: antara Monopoli dan Rekayasa Fakta

Baca juga: Tafsir Tematik (2): Aktif, Dialogis, Dan Responsif
Baca juga: Penguasa Dan Seni Menaklukkan Rakyat
Baca juga: Ontologi Manusia (2): Tafsir Fitrah dan Misteri Ruh

… padahal kalian tahu”. Berita bohong adalah bohong dan hoax selama tidak diketahui, dan selama itu pula hanya diketahui kebobongannya oleh pembuatnya sendiri. Namun, setiap orang punya mata hati yang tak bisa dibohongi, dan pembuat hoax pasti tahu kalau dia sedang merekayasa fakta, membuat bohong dan menyebarkannya. Sekecil apa pun suara batin akan terdengar dengan frekuensi kendati sudah rendah untuk menegur kesalahan yang dilakukan sendiri dengan sepengetahuannya. Mata hati dan fitrah insani ini merupakan sebaik-baiknya bukti yang mengawasi, “Akan tetapi pada manusia terdapat mata hati yang mengawasi dirinya. Sekalipun dia membawakan alasan-alasannya.”

Kesadaran seseorang untuk komit pada kebenaran dan fakta tidak semata-mata bergantung pada nilai kebenaran yang diakses (secara tak langsung) dan dilihat (secara langsung), tetapi yang paling penting ditunjang oleh, utamanya, ketulusan dan kelapangan dada serta kesatriaan tunduk dan mengakui kebenaran tersebut. Maka, musuh kebenaran dan faktor pemicu pembelaan terhadap kebatilan ialan absennya ketulusan atau, secara definitif, hadirnya rasa angkuh dan sombong: “Dan mereka mengingkarinya karena melampaui batas dan sombong, padahal hati mereka meyakininya” (QS. Al-Naml [27]: 14). Lihat juga QS. Ghafir [40]: 56. Dalam ayat lain diingatkan, “Celakalah setiap pembohong pendosa. Yang mendengar ayat-ayat Allah dibacakan kepadanya, namun dia tetap sombong seakan-akan tidak mendengarnya, maka sampaikanlah berita bahagia kepadanya tentang azab yang pedih” (QS. al-Jatsiyah [45]: 7-8).

Tidak benar menyiasati fakta dan kebenaran. “Sempaikan kebenaran, sekalipun itu pahit.” Ini bukan berarti mempublikasikan fakta tanpa mempertimbangkan maslahat dan asas hikmah kebijaksanaan. Fakta tidak bisa disiasati apalagi dipesan-pesan agar sesuai keinginan pihak tertentu. Tetapi penyampaian fakta dan kebenaran perlu siasat dan momentum. Ali bin Abi Thalib berkata, “Kebenaran yang diberikan kepada bukan orangnya adalah teraniaya, dan kebenaran yang tidak diberikan kepada orangnya juga teraniaya.”

Baca Juga :  Isyarat Literal Ayat Cahaya: Menggali Wahdatul Wujud dari Terjemah Alquran (4): Makhluk antara Ada dan tidak Ada

Salah satu cara terbaik menguji berita dan informasi ialah tabayyun, melakukan penyelidikan dan konfirmasi, tidak tergesa-gesa menelan semua yang terdengar dan diperdengarkan: “Hai orang-orang beriman, jika seorang fasik datang kepadamu membawa suatu berita, selidikilah kebenarannya agar kamu tidak mencelakakan suatu kelompok karena kebodohan sehingga kamu menyesali perbuatanmu” (QS. al-Hujurat [49]: 6).

Media informasi, awak media, pengamat budiman dan pengacara mulia sepenuhnya bertanggung jawab mengemban komitmen untuk menghadirkan kebenaran, memuat dan membongkar fakta seutuhnya, memeriksa dan memvalidasi berita sejujurnya sebagai amanat naluri keadilan kemanusiaan atau kepatuhan agama dalam pencerahan, pencerdasan bangsa dan pembangunan peradaban. Media informasi terpercaya, wartawan sejati, pengamat mulia dan pengacara bermoral akan senantiasa konsisten menghilangkan jarak antara berita dan peristiwa, antara opini dan fakta.[afh]

Baca juga: QS. Al-Kahfi [18]: 16, Muslim Dalam Masyarakat Korup
Baca juga: QS. Shad [38]: 29; Akal, Kesadaran Dan Mawas-Diri
Baca juga: QS. Al-Syu’ara’ [26]: 193; Keutuhan Wahyu Atau Intervensi Subjektif Nabi

Berikut hadis dan riwayat terkait topik di atas:

Rasulullah saw. bersabda, “Tiga kondisi yang membuat karakter iman seseorang sempurna: orang yang, bila senang, kesenangannya tidak membuatnya hanyut dalam kebatilan, orang yang, jika marah, kemarahannya tidak membuatnya keluar dari kebenaran, dan orang yang, jika berkuasa, kekuasaannya tidak membuatnya ingin menguasai apa yang bukan miliknya” (al-Ushūl al-Sittah ‘Asyar, hlm. 35).

Nabi Isa a.s. berkata, “Ambillah kebenaran dari pelaku kebatilan, janganlah engkau mengambil kebatilan dari pelaku kebenaran. jadilah engkau pengkritik ucapan!” (Al-Mahāsin, jld. 1, hadis no. 159).

Ali bin Abi Thalib ra. berkata, “Jika kebatilan dikemukakan sejernihnya, tidak akan ada kekhawatiran, dan jika kebenaran dikemukakan juga dengan jernih, mulut penentangan akan terbungkam. Hanya bahaya akan muncul tatkala kebenaran dan kebatilan dicampuraduk; masing-masing ditampilkan sebagiannya hingga membuka jalan setan menguasai pengikut-pengikutnya” (Nahj al-Balaghāh, kalam no. 50).

Diriwayatkan oleh Ibnu Jarir dari Ibnu Abbas tentang firman-Nya, “Dan janganlah mencampuradukkan kebenaran dengan kebatilan”, ia berkata, “Janganlah kalian mencampuradukkan kebenaran dengan kebohongan” (Jalaluddin al-Suyuthi, al-Durr al-Mantsūr, jld. 1, hlm. 341).

Ali bin Abi Thalib ra. berkata, “Menutupi keburukan yang kamu lihat langsung itu lebih baik daripada menyebarkan keburukan yang kamu duga.” (Ibn Abu al-Hadid, Syarh Nahj al-Balaghāh, jld. 5, hikmah no. 409).

Share Page

Close