• LAINYA

TAFSIR-QURAN.COM–Pernahkah kita menipu diri sendiri? Atau kita tidak sadar sedang menipu diri sendiri? Bagaimana kita sampai bisa menipu diri sendiri? Perbuatan apa saja yang kita lakukan pada hakikatnya penipuan terhadap diri sendiri? Berikutnya, apakah kita pernah membayangkan menipu Allah? Bagaimana caranya kita menipu Allah? Dalam ayat di bawah ini, menipu Allah berarti menipu diri sendiri, dan menipu diri sendiri adalah faktor utama manusia menipu Allah.

[arabic-font]وَيْلٌ يَوْمَئِذٍ لِلْمُكَذِّبِيْن[/arabic-font]


“Celakalah pada hai itu orang-orang yang mendustakan!”

Al-Mursalat [77]: ayat 15

[1]
Wayl (celakalah) dalam bahasa Arab adalah ungkapan rasa iba dan kasihan. Kata ini berarti ‘betapa malangnya’. Wayl juga berarti ungkapan puncak kekecewaan dan keputusasaan terhadap seseorang. Ia juga bisa berupa doa buruk sebagai bentuk kecaman dan ancaman akan bencana dan kebinasaan (al-Mustafawi, al-Tahqīq fī Kalimāt al-Qur’ān al-Karīm, jld. 13, hlm. 244).

[2]
Terkait ayat ini Imam Suyuthi membawakan hadis berikut: tatkala turun ayat, “Celakalah bagi orang-orang yang shalat, yaitu mereka yang lalai terhadap shalat mereka”, Rasulullah bersabda, “Allahu Akbar! Ayat ini lebih baik bagi kalian daripada setiap orang dari kalian yang diberi seluruh dunia, yaitu orang yang, jika shalat, tidak bisa diharapkan dampak baik dari shalatnya dan, jika meninggalkan shalat, dia tidak takut pada Tuhannya” (al-Durr Al-Mantsūr, jld. 15, hlm. 687).

[3]
Orang yang berbuat pelanggaran hukum Allah berpeluang kembali insaf dan bertaubat atau, jika tidak, ia bisa menerima resikonya dengan berbagai bencana dan balasan, entah di dunia ini atau setelah kematian. Akan halnya orang yang fanatik atau angkuh hingga mendustakan kebenaran dan menutup mata dari fakta, maka selama berkarakter fanatik dan angkuh, hatinya membatu hingga sulit dihadapkan kembali sadar. Hanya satu kata yang tepat untuk orang seperti ini, “celakalah!”


“Dan sama saja bagi mereka, apakah engkau memberi peringatan kepada mereka atau engkau tidak memberi peringatan kepada mereka, mereka tidak akan beriman.”

QS. Yasin [36]: 10, QS. Al-Baqarah [2]: 6

[4]
Mendustakan kebenaran bukan hanya mengingkari atau menutup-nutupi kebenaran. Mendustakan kebenaran juga bisa dengan cara membuat kebohongan, menyebarkan dan mengulang-ulang kebohongan sampai membentuk opini publik dan dianggap kebenaran. Pendustaan paling nista terhadap kebenaran ialah orang yang tahu kebenaran lalu memanfaatkannya untuk tujuan kotor dan kepentingan tercela. “Maka celakalah orang-orang yang menulis kitab dengan tangan mereka kemudian mengatakan, ‘Ini dari Allah’, untuk [tujuan] menjualnya dengan harga murah. Maka, celakalah mereka karena apa yang telah ditulis oleh tangan mereka dan celakalah mereka karena apa yang mereka perbuat” (QS. al-Baqarah [2]: 79).

Baca Juga :  Isyarat Literal Ayat Cahaya: Menggali Wahdatul Wujud dari Terjemah Alquran (6): antara Afirmasi dan Negasi

[5]
Termasuk membohongi dan menipu diri sendiri ialah tampil soleh, tebar pesona, mencitrakan diri baik, sukses dan mulia untuk menjadi dikenal dan meningkatkan popularitas diri sendiri. Dia mengira sudah baik kalau dinilai baik orang lain; alih-alih fokus menjadi baik di hadapan Allah, dia menempatkan opini publik sebagai ukuran kebaikan reputasi dirinya. Bahkan untuk itu ada orang-orang yang, untuk dipandang baik dan mulia, memesan dan membayar media. Padahal, dia tahu dirinya tidak demikian. Dia sudah menipu masyarakat dan dirinya sendiri.

[6]
Termasuk menipu Allah ialah berdakwah dan mengajarkan ayat serta hadis dengan maksud hanya untuk mendapatkan penghasilan materi yang, kalau tidak ada imbalan materi atau tidak sesuai ‘tarif’ ceramahnya, dia urung mengajar dan berdakwah. Sama dengan orang ini yaitu orang yang berdakwah dan berceramah dalam rangka menghibur dan melucu, bukan menyegarkan pikiran, mencerahkan hati, memperluas wawasan dan memberi hidayah kepada masyarakat. Dia sudah menipu Allah, masyakarat luas dan diri sendiri.

[7]
Termasuk menipu Allah adalah orang yang mempergunakan dan memanfaatkan agama; menjadikan ayat suci sebagai alat untuk kepentingan diri sendiri atau golongannya, membawakan ayat atau hadis untuk disesuaikan dan dicocok-cocokkan dengan pendirian dan pandangannya. Yakni, kebenaran agama diukur dengan kesimpulan dan persepsinya. Agar tidak menipu Allah dan tidak memperalat agama, jadikan ayat dan hadis sebagai yang utama dan sesuaikan keinginan dan pikiran dengan ayat suci, hadis sahih, hati nurani dan logika.

Baca juga: QS. Maryam [19]: Ayat 96; Syarat Menjadi Manusia Rahmatan Lil Alamin
Baca juga: QS. Al-Anbiya’ [21]: Ayat 105; Masa Depan Dunia Dan Pelaku Sejarah Masyarakat
Baca juga: QS. Al-Jatsiyah [45]: Ayat 3; Melihat Rahasia Allah Di Balik Segala Sesuatu
Baca juga: QS. Al Imran [3]: Ayat 169; Jihad Dan Syahid, Dua Ajaran Unik Dan Istimewa

Baca Juga :  Mengenal Tafsir Sufistik-Filosofis Surat Al-Fatihah, Karya Mulla Sadra (1): Pendahuluan

[8]
Orang yang mendustakan kebenaran boleh jadi hidup nyaman secara lahiriah, tetapi “pada hari itu” semua rahasia dan wajah batinnya akan terungkap hingga dia seolah-olah baru saja terjaga dari tidur, “betapa celakanya aku!”

[9]
Mendustakan bukan hanya dengan kata-kata dan tulisan, tetapi juga dengan perbuatan. Tatkala kita melihat ada peringatan bahaya lalu membiarkan dan tidak berbuat apa-apa untuk mengatisipasi atau melakukan pencegahan dan penyelamatan, sesungguhnya kita sudah mendustakan peringatan dan kenyataan bahaya itu. Manakala kita diberitahu bahwa tamu akan tiba, namun kita tidak menyiapkan diri untuk menyambutnya, kita sesungguhnya sudah mendustakan kedatangan tamu itu. Tatkala kita membutuhkan pekerjaan namun malas dan tidak mencoba peluang kerja, artinya kita sudah mendustakan dan membohongi diri sendiri. Dengan begitu, kita masuk dalam kategori “menipu diri sendiri”.


Menipu Allah berarti menipu diri sendiri, dan menipu diri sendiri adalah faktor utama manusia menipu Allah.

[10]
Pengalaman-pengalaman tadi boleh jadi sudah biasa kita lihat pada diri sendiri juga orang lain. Lalu, bagaimana perilaku kita dengan janji-janji Allah? Bila kita bisa menipu diri sendiri, apakah kita berani menipu Allah? Misalnya, apakah ada kecenderungan pada diri kita mendustakan hukum Allah tatkala kita mendengar azan untuk segera melakukan shalat namun masih menunda-nunda dan memprioritaskan pekerjaan lain?! Apakah kita tahu sedang mendustakan adanya neraka dan ancaman Allah Yang Mahaadil tatkala menggunakan media untuk menulis kebohongan dan menyebarkan aib orang lain?! “Atau apakah mereka merasa aman dari makar, penipuan, Allah?! Tidak ada yang aman dari makar Allah selain orang-orang yang rugi” (QS. Al-A’raf [7]: 99).

Baca juga: Masuk Islam Karena Alquran (4): Edoardo Agnelli, Putra Mahkota Bisnis Raksasa Italia
Baca juga: Masuk Islam Karena Alquran (6): Arthur Wagner, Tokoh Pimpinan Partai Anti-Muslim Di Jerman (1)
Baca juga: Masuk Islam Karena Alquran (6): Arthur Wagner Diluluhkan Alquran Setelah Jadi Ateis, Protestan Dan Musuhi Islam (2)

Baca Juga :  QS. Al-Dhuha [93]: ayat 11; Berbicara Optimis sekaligus Pesimis

[11]
Jika kita sadari, dalam berperilaku dan merespon juga kita bisa berdusta dan mengingkari kebenaran. Maka mengulang-ulang penekanan dan peringatan “celakalah!” dalam al-Quran sangat berarti dan diperlukan, karena dalam perbuatan dan perilaku itulah manusia lebih berpeluang mendustakan kebenaran dan kenyataan.

[12]
Ungkapan “celakalah” dalam al-Quran tidak hanya ditujukan kepada orang-orang kafir dan penindas, tetapi juga bahkan kepada orang-orang yang melakukan shalat dan ahli ibadah yang lalai, riya dan tidak peduli terhadap masyarakat: “Maka celakalah orang-orang yang shalat, [yaitu] orang-orang yang lalai terhadap shalat mereka, orang-orang yang berbuat riya, dan mereka enggan [memberi] bantuan” (QS. Al-Ma’un [107]: 4-7).[ph]

Share Page

Close