• LAINYA

HADIS-SEJARAH–Waraqah bin Naufal adalah paman Siti Khadijah al-Kubra a.s. Dia tidak memiliki pengetahuan yang luas, hanya sedikit mengetahui sejarah nabi-nabi terdahulu. Diriwayatkan bahwa dialah orang yang menyembah berhala.

Waraqah bin Naufal penganut agama Nasrani. Dia membaca kitab-kitab dan mendengar dari ahli Taurat dan Injil (Sirah Ibn Hisyam, jld. 1, hlm. 254). Di masa Jahiliyah, dia sudah beragama Nasrani, membaca Alkitab berbahasa Ibrani dan menulis apa yang ada dalam Injil dalam bahasa Ibrani (Shahih Bukhari, jld. 1, hlm. 3).

Waraqah, disebutkan dalam riwayat, orang yang menyelamatkan Rasulullah SAW dari keraguan pada awal-awal diutus sebagai nabi. Bukhari, Muslim, Ibnu Hisyam dan Thabari menjelaskan kejadian itu dengan keterangan sebagai berikut:

Ketika Muhammad SAW berkhalwat (menyendiri) di gua Hira bersama Tuhan, tiba-tiba ia mendengar suara memanggilnya. Ia mengangkat kepala, mencari tahu siapakah gerangan suara itu. Ia mendapati sosok mengerikan hingga dicekam ketakutan. Rasulullah tak bisa berpaling dari sosok mengerikan yang memenuhi langit itu. Ketakutan sangat mencekam dirinya. Bahkan Rasulullah SAW tak sadarkan diri karenanya hingga beberapa saat.

Khadijah khawatir karena Rasulullah terlambat pulang. Kemudian, dia mengutus seseorang untuk mencari Rasulullah. Namun, orang itu tidak berhasil menemukannya. Rasulullah SAW pun siuman dan kembali ke rumahnya. Di rumah, beliau masih dicekam ketakutan. Khadijah bertanya, “Apa yang terjadi?”

Ia menjawab, “Apa yang selama ini aku takutkan telah menghampiriku. Aku takut jika nanti aku menjadi gila. Kini aku mengalami hal itu!”

Khadijah berkata, “Janganlah sekali-kali berprasangka buruk pada dirimu. Engkau utusan Tuhan. Dia tidak akan membiarkanmu. Itu pasti sebuah berita gembira bagi masa depan yang cerah.”

Untuk menghilangkan kebimbangan Rasulullah SAW secara total, Khadijah membawanya ke rumah Waraqah bin Naufal. Sesampainya di rumah Waraqah, dia menjelaskan apa yang menimpa suaminya.

Kemudian Waraqah berkata kepada Nabi SAW, “Tenanglah! Itu adalah pembawa berita kebenaran yang pernah turun kepada Musa Al-Kalim. Kini datang kepadamu dan memberimu berita gembira berupa kenabian.”

Setelah mendengar Waraqah berbicara, Rasulullah SAW merasa tenang dan berkata, “Sekarang aku baru mengerti kalau aku adalah seorang nabi.” (Muhammad Husain Haikal, Hayatu Muhammad, hlm. 95-96; Shahih Muslim, jld. 1, hlm. 97-99; Shahih Bukhari, jld. 1, hlm. 3-4; Sirah Ibn Hisyam, jld. 1, hlm. 252-255; Abu Ja’far Muhammad bin Jarir, Tarikh Al-Thabari, jld. 2, hlm. 298-300; Jami’ Al-Bayan (Tafsir Al-Thabari), jld. 30, hlm. 161).

Baca Juga :  Filsafat Iman: Berawal dari Islam juga Berakhir di Islam

TINJAUAN ALQURAN

Kisah ini satu di antara puluhan kisah yang dibawakan orang-orang di abad pertama Islam. Banyak kejanggalan yang membangkitkan pertanyaan dan perselisihan di kalangan ulama. Misalnya, bagaimana bisa, seorang nabi yang telah menempuh tuntas tingkat kesempurnaan hingga mencapai puncaknya lantas dan merasakan berita gembira kenabian jauh-jauh hari sebelum diutus, namun tidak mampu menyaksikan hakikat dengan jelas. Padahal ia memiliki akal yang paling murni dan sempurna, Allah SWT mendapati hati Nabi SAW sebaik-baik hati yang paling siap, maka Dia memilihnya sebagai nabi-Nya.

Bagaimana bisa orang yang telah mencapai kesempurnaan menjadi bimbang dan ragu terhadap dirinya sendiri. Kemudian kebimbangannya sirna karena seorang wanita dan jawaban lelaki yang berpengetahuan sedikit. Bahkan disebutkan bahwa Nabi SAW baru merasa yakin sebagai nabi setelah diberitahu dan dinasihati Waraqah.

Kisah ini, selain secara rasional bertentangan dengan martabat agung kenabian, juga bertentangan dengan Alquran dan hadis.

Qadhi Iyadh (w. 544 H) adalah salah seorang pemuka agama dan ulama Andalusia. Ibnu Khalkan berkata, “Ia adalah imam pada masanya dalam ilmu Hadis dan ilmu-ilmu yang berkaitan dengan hadis, Nahwu, Bahasa, sastra Arab, serajah dan nasab Arab. Ia banyak sekali menyusun buku-buku yang bermanfaat (Wafayat al-A’yan, jld. 3, hlm. 483, no. 511).

Ulama besar ini berkata, “Tidak pernah terjadi Iblis menjelma malaikat dan membuat Nabi meragukan wahyu. Itu tidak akan pernah terjadi, sejak awal diutus sebagai nabi maupun setelahnya. Ia selalu menampakkan ketenangan, ketegaran dan percaya diri ketika berada dalam situasi seperti itu. Ini merupakan salah satu bukti mukjizat kenabian.

“Ia tidak pernah sedikit pun ragu bahwa sosok yang mendatanginya adalah malaikat yang membawa pesan Allah SWT. Ia mengetahuinya dengan sangat jelas. Karena, hikmah Allah menghendaki agar wahyu benar-benar jelas bagi dirinya. Allah membekalinya dalil-dalil yang cukup demi tegaknya kalimat-kalimat-Nya.” (Qadhi Iyadh, Risalah Al-Syifa’ bi Ta’rifi Huquq al-Mushthafa, jld. 2, hlm. 112; Syarh Mulla Ali Al-Qari, jld. 2, hlm. 563).

Demikian Thabarsi ketika menafsirkan surah Al-Muddatstsir berpendapat bahwa sesungguhnya Allah tidak menurunkan wahyu kepada Rasul-Nya melainkan membekalinya argumen-argumen nyata dan ayat-ayat yang jelas. Semua yang diwahyukan kepadanya adalah benar-benar dari Allah SWT. Karena itu, ia tidak perlu selainnya. Ia tidak akan pernah bisa ditakuti oleh siapa pun dan tidak akan merasa takut (Thabarsi, Majma’ al-Bayan, jld. 10, hlm. 84).

Baca Juga :  Profil Pemimpin Ideal dalam Tasawuf Politik Platon dan Khomeini (3): Ulama sama dengan Nabi

Cerita Waraqah di atas juga perlu ditinjau oleh Alquran. Coba bandingkan dengan kisah Nabi Musa di dalamnya. Di masa awal diutus sebagai nabi, ia mendapatkan perhatian khusus dari Allah, “Hai Musa! Sesungguhnya Akulah Tuhanmu, maka tanggalkanlah kedua terompahmu, sesungguhnya kamu berada di lembah yang suci, Thuwa. Dan aku telah memilihmu, maka dengarkanlah apa yang akan diwahyukan (kepadamu). Sesungguhnya Akulah Allah, tiada tuhan selain Aku, maka sembahlah Aku dan dirikanlah shalat untuk mengingat Aku” (QS. Thaha [20]: 11-14).

Kemudian Musa a.s. diperintah, “Dan lemparlah tongkatmu. Maka tatkala (tongkat itu menjadi ular dan) Musa melihatnya bergerak-gerak seperti seekor ular yang gesit, larilah dia berbalik ke belakang tanpa menoleh… karena perbuatannya ini Nabi Musa mendapat teguran dari Allah, Hai Musa! Janganlah kamu takut. Sesungguhnya orang yang dijadikan rasul, tidak takut dihadapan-Ku” (QS. Al-Naml [27]: 10). Nabi Musa a.s. mendapat penjagaan Allah, keamanan dan ketenteraman.

Bandingkan pula cerita Waraqah dengan Nabi Ibrahim a.s. dalam Alquran. Ia mendapat ketenteraman, kekuatan jiwa dan ainul yaqin hingga tersingkap tirai yang menghalanginya dan hakikat alam malakut menjadi nyata di hadapannya, “Dan demikianlah Kami perlihatkan kepada Ibrahim tanda-tanda keagungan (Kami yang ada) di langit dan bumi, dan (Kami memperlihatkannya) agar Ibrahim itu termasuk orang-orang yang yakin” (QS. Al-An’am [8]: 75).

Atas dasar ini, apakah keadaan Musa dan Ibrahim a.s. tidak berlaku pada Nabi SAW hingga ia tidak mampu menguasai dirinya ketika berada dalam situasi penting yang kelak menentukan nasibnya? Apakah ia berpikiran buruk terhadap dirinya sendiri dan ketakutan ketika menerima wahyu? Apakah derajat Nabi SAW berada di bawah Musa dan Ibrahim a.s., sehingga Allah menempatkan mereka berdua layak, tetapi Nabi tidak layak?!

Amirul Mukminin Ali bin Abi Thalib berkata, “Siang dan malam, Allah menyertakan malaikat yang paling agung bersama Rasulullah sejak ia masih bayi dan menyusu untuk membimbingnya menuju kesempurnaan insani” (Shubhi Shalih, Nahj al-Balaghah, pidato 192, hlm. 300).

Baca Juga :  Mengapa Tuhan mencipta dan menciptakan semua makhluk ini, termasuk manusia?

TINJAUAN HADIS

Demikian pula secara riwayat, cerita Waraqah itu perlu disoroti secara serius dalam beberapa poin:

Pertama, silsilah dari sanad riwayat cerita tersebut sampai ke orang pertama sebagai saksi atas cerita tersebut. Artinya, riwayat itu mursalah.

Kedua, terdapat perbedaan redaksi riwayat. Ini menurunkan tingkat kepercayaan. Dalam sebuah riwayat disebutkan bahwa Khadijah pergi ke tempat Waraqah seorang diri. Dalam riwayat lain disebutkan bahwa ia pergi bersama Rasulullah. Dalam riwayat yang lain lagi, Waraqah melihat Rasulullah SAW dalam keadaan tawaf. Riwayat keempat menyebutkan bahwa Abu Bakar masuk ke rumah Khadijah dan berkata, “Bawalah Muhammad ke tempat Waraqah!” Perbedaan redaksi ini membingungkan orang; riwayat manakah yang harus diyakini kebenarannya? Ini mengingat kandungan riwayat-riwayat tersebut saling bertentangan.

Ketiga, kebanyakan redaksi riwayat itu, selain menyebutkan berita gembira tentang kenabian, juga menyebut kalimat, “Seandainya aku masih hidup pada masa itu, niscaya aku pasti menolongmu atas izin Allah…” atau versi lain menyebutkan “Andaikan dia (Muhammad) diutus dan aku (Waraqah) masih hidup, aku akan mendukung, membelanya dan beriman kepadanya.…”

Muhammad bin Ishaq, seorang sejarawan terkemuka meriwayatkan puisi-puisi Waraqah yang mengindikasikan kuatnya keimanan paman Khadijah itu kepada ajaran Rasulullah SAW (Sirah Ibn Ishaq, hlm. 123; Thabaqat Ibn Sa’d, jld. 1, bag. 1, hlm. 130).

Satu fakta yang tidak dapat dipungkiri bahwa ketika Islam sudah menyebar pada masa itu, Waraqah masih hidup. Namun, dia tetap tidak memeluk Islam, dan ia mati dalam keadaan kafir. Ibnu Abbas menyebutkan bahwa Waraqah mati dalam kenasraniannya. Ibnu Asakir, penulis kitab Tarikh Dimasyq berpendapat bahwa dia tidak mendapati ada seseorang yang mengatakan bahwa Waraqah memeluk agama Islam (Ibnu Hajar Asqalani, Al-Ishabah fi Makrifat Al-Shahabah, jld. 3, hlm. 633).

Ibnu Hajar dalam Tarikh Ibnu Bakkar menyebutkan bahwa suatu ketika Waraqah melintas di samping Bilal Habasyi yang sedang mengalami penyiksaan dari orang-orang musyrik. Waraqah mendengar Bilal saat itu selalu mengucapkan, “Ahad… Ahad…” Setelah peristiwa itu Waraqah masih hidup sampai Islam disebarkan, namun dia tetap tidak memeluk agama Islam (Ibid., jld 3, hlm. 634).

Share Page

Close