• LAINYA

TAFSIR-QURAN.COM–Dalam kesadaran terang umumnya manusia, kodrat dan takdir semua orang itu sama: tidak punya pengalaman didudukkan untuk diberi pilihan mau lahir di mana, kapan dan dari rahim siapa. Karena itu, catatan apa pun terkait identitas tempat lahir, kurun waktu, darah dan asal keluarga tidak berarti apa-apa. Semua di hadapan kodrat kemanusiaannya sama-sama seri. Inilah nilai pertama keadilan dalam kodrat penciptaan. Maka, memandang orang lain atau merasa diri beda: lebih unggul atau rendah, lebih mulia atau agak hina hanya semata-mata identitas-identitas kodrati ini adalah pelanggaran pertama atas keadilan manusia juga, tentu saja, kebijaksanaan Tuhan.

Baca juga: QS. Maryam [19]: Ayat 96; Syarat Menjadi Manusia Rahmatan Lil Alamin
Baca juga: QS. Al-Anbiya’ [21]: Ayat 105; Masa Depan Dunia Dan Pelaku Sejarah Masyarakat
Baca juga: QS. Al Imran [3]: Ayat 169; Jihad Dan Syahid, Dua Ajaran Unik Dan Istimewa
Baca juga: QS. Al-Mursalat [77]: Ayat 15; Dari Membohongi Diri Sendiri Sampai Membohongi Allah

Pada saat yang sama, semua orang datang ke dunia ini juga membawa kodrat ingin dan menghendaki. Takdir eksistensinya ialah hidup dengan keinginan, kemauan dan kehendak sendiri. Sepenuhnya benar bila didefinisikan manusia itu makhluk menginginkan dan berkehendak. Tanpa kehendak, keinginan dan kemauan, manusia tidak berarti apa-apa selain seharkat dengan debu terserah angin bergerak. Maka, meniadakan dan menonaktifkan kehendak, dengan kekerasan ataupun kesantunan, adalah pelanggaran lain atas keadilan manusia dan kebijaksanaan Tuhan.

“Siapa saja yang menangani urusan kecil atau besar umat ini dan tidak berlaku adil pada mereka, Allah akan menyungkurkannya ke dalam neraka.”
Baginda Nabi SAW., Al-Mustadrak ‘alā Al-Shahīhayn, jld. 4, hlm. 90.

Namun, kodrat berikut ini juga dibagikan kepada atau dimiliki setiap manusia secara sama rata: ingin beda dan ingin istimewa. Karena itu, ia cenderung tidak ingin rugi maka ingin untung, tidak ingin rendah apalagi pecundang maka ingin unggul dan pemenang. Memiliki kodrat keinginan ini juga bukan pilihan manusia, tapi bagian dari takdir eksistensi dan hidupnya. Maka, memandang semua manusia harus sama keinginan, sama penampilan, sama gaya hidup, harus egaliter dan emansipatif dalam segala hal juga merupakan pelanggaran atas keadilan manusia dan kebodohan diri sendiri.

Baca Juga :  Tafsir bi Al-Ra’yi: Definisi, Hukum dan Alternatif

Baca juga: QS. Al-Dhaha [93]: Ayat 7; Nabi Sesat (1): Antara Tidak Tahu, Bingung Dan Lengah
Baca juga: QS. Nur [24]: Ayat 35; Wahdatul Wujud (3): Sudah Ada Di Awal Al-Fatihah
Baca juga: QS. Al-Nur [24]: Ayat 35; Wahdatul Wujud (2): Makhluk Itu Ada Atau Tidak?
Baca juga: QS. Al-Nur [24]: Ayat 35: Wahdatul Wujud (1); Kafir Atau Tidak?

Ingin beda dan istimewa yaitu fitrah kecenderungan serbaingin, banyak maunya. Keinginan dan kemauannya memuncak pada yang terbaik. Setiap orang ingin jadi yang terbaik. Apa saja yang dipikirkan, yang diharapkan, direncanakan dan dilaksanakan pasti itu yang terbaik atau setelah melalui pertimbangan yang terbaik. Istimewa yaitu unik, khas dan beda dari yang lain. “Laysa ka mitslihi syay’”, tidak ada sesuatu apa pun yang serupa sama dengan-Nya, dalam tradisi tasawuf Islam, bukan hanya deskripsi mengenai Allah, tetapi juga rahasia dari karakter bawaan manusia. Maka, menempatkan orang atau membiarkan diri tetap berada di bawah, inferior dan pasrah jadi pengalah adalah juga pelanggaran atas keadilan manusia.

Penjajahan atas suatu negeri adalah kejahatan luar biasa besar karena menghancurkan kodrat dan takdir manusia. Dalam tradisi agama, kejahatan ini disebut sebagai dosa. Disebut dosa karena penghinaan dan perlawanan terhadap Tuhan sebagai Realitas Tertinggi Paling Tahu, Paling Berkuasa dan Paling Bijaksana. Bagi umat Islam yang diajari Tuhannya dengan kepercayaan pada dirinya sendiri sebagai makhluk terbaik, produk kreativitas paling ideal serta wakil tunggal Tuhan di alam semesta, penjajahan dan perusakan takdir manusia lebih dari sekedar dosa luar biasa.

“Kalau memang sudah tidak lagi percaya akhirat, jadilah orang merdeka di dunia.”
Sayyidina Husain bin Ali bin Abi Thalib

Dalam penjajahan, ada sekian pelanggaran substansial atas sekian keadilan dasar manusia. Penjajahan adalah pemaksaaan mengubah posisi manusia yang asalnya sama jadi beda, pemaksaan mengubah manusia jadi makhluk yang kehilangan kehendak dan cita-cita, memaksakan manusia jadi bukan lagi manusia atau, tepatnya, membuat manusia yang paling dibanggakan dan dimuliakan Allah justru diperlakukan lebih hina dari binatang. Dengan cara begitu, penjajah sesungguhnya sudah mengklaim dirinya jadi Tuhan, bahkan di atas Tuhan, “Aku Tuhanmu yang paling tinggi.”

Baca Juga :  Perdebatan Qurani (1): Dibanding Injil, kenapa Alquran Mudah Dihapal?

Sama jahatnya dengan penjajah adalah bangsa terjajah itu sendiri yang membiarkan dirinya dan bangsanya dijadikan jajahan. Diam tanpa reaksi, malas mengubah nasib, masabodoh dengan keadaan, apalagi bangga pernah dijajah dan bekerja sama dengan penjajah sama nilainya di hadapan keadilan: sama-sama penista kemanusiaan. Semua pelanggaran nilai-nilai fundamental keadilan juga diterjang oleh pihak terjajah. Dalam rumusan matematikanya, penjajahan merupakan hasil perkalian dari jiwa angkuh penjajah dan jiwa kerdil terjajah.

Baca juga: QS. Al-Baqarah [2]: Ayat 42; Cara Membuat Hoax
Baca juga: QS. Al Imran [3]: Ayat 169; Jihad Dan Syahid, Dua Ajaran Unik Dan Istimewa
Baca juga: QS. Al Imran [3]: Ayat 118; Seni Rahasia Dalam Politik Dan Hukum-Hukum Musuh
Baca juga: Telah Terbit: Tafsir Imam Ghazali

Mengajarkan teologi takdir dan pasrah menerima takdir adalah cara lain dari pendukung penjajahan. Atas nama agama dan ayat suci Tuhan, penjajah diuntungkan dengan teologi takdir seperti ini. “Apa yang terjadi itulah yang terbaik” dan “siapa pun yang berkuasa itulah yang terbaik” menyimpan semangat teologis yang sama-sama tidak menghormati kemanusiaan, kalau bukan justru melawan kodrat pertama manusia: ingin yang terbaik. Dalam Islam, yang terbaik itu bukan di awal, bukan sekarang, bukan juga kemarin, tetapi di depan dan di akhir, “Dan hari akhir itu yang terbaik dan paling kekal.”

Yang tampaknya bijak, sekarang ini, pembelaan atas penjajahan ditampilkan atas nama suci kemerdekaan dan kemanusiaan. Mengakui hak penjajah sekaligus membela hak terjajah bukanlah absurd. Ini lantas disebut-sebut semangat perdamaian universal kemanusiaan dan, tentu saja, pelantun lagi perdamaian ini jadi pahlawan dan pembawa pesan teologis rahmatan lil alamin, rahmat Allah untuk dunia.

Baca juga: Tafsir Kemerdekaan (1): QS. Al-Baqarah [2]: 279, Tidak Menjajah Juga Tidak Mau Dijajah
Baca juga: QS. Al-Dhuha [93]: Ayat 11; Berbicara Optimis Sekaligus Pesimis
Baca juga: QS. Al-Anbiya’ [21]: Ayat 105; Masa Depan Dunia Dan Pelaku Sejarah Masyarakat

Baca Juga :  Unduh "Al-Burhan fi 'Ulum Al-Qur'an", Karya Al-Zarkasyi

Konsititusi Negara Republik Indonesia dibuka dengan penolakan segala bentuk penjajahan sebagai sumpah dan tekad mulia menghapuskan segala bentuk penjajahan di muka bumi. Di dalamnya ada kesadaran paling dasar sekaligus jelas bahwa penjajahan tidak akan, sekali lagi, tidak akan bertemu dengan kemerdekaan dan keadilan. Kedamaian yang dipidatokan bukan fundamental karena kehilangan pijakan keadilan. Rahmatan lil alamin seperti ini di awal saja sudah jadi hadiah bagi penjajah. Jika teologi ini diulang-ulang, sebanyak ulangan itu pula hadiah dikhususkan untuk penjajah sekaligus memperpuruk semangat terjajah merebut kembali hak sepenuhnya.

Penjajahan dan kemerdekaan itu kontradiktif; dari sisi dan hubungannya dengan apa saja tidak akan bertemu. Pengakuan atas penjajahan sama artinya peniadaan hak kemerdekaan, demikian pengakuan atas kemerdekaan identik dengan peniadaan penjajahan. Sebagai hak, kemerdekaan bisa saja dibagi oleh pemiliknya sendiri, tetapi menjadi tidak sah proposal apa pun diajukan oleh selain pemiliknya yang mengkompromikan kemerdekaan orang lain. “Dan janganlah kamu condong kepada orang-orang zalim, maka kamu pasti disentuh neraka.”

“Janganlah menjadi budak bagi selainmu, karena Allah telah menjadikanmu merdeka.”
Ali bin Abi Thalib

Alih-alih membuat rancangan perdamaian dalam kerangka teologi, entah berupa takdir mental keterjajahan atau teologi rahmatan lil alamin, penjajahan dilawan oleh perjuangan kemerdekaan dengan nilai-nilai kemanusiaan ilahi seperti: keadilan, opitimisme, tanpa putus asa, sabar, tawakal, bersatu, solid, percaya diri dan percaya pada janji Yang Mahakuasa.

Dalam nilai-nilai ini sudah tentu ada teologi rahmatan lil alamin. Dalam teologi takdir pun manusia sudah ditakdirkan niscaya, tidak bisa tidak, hidup dengan kehendak bebas dan merdeka. Nilai takdir hidup masing-masing berbeda sesuai tujuan hidup yang menjadi arah gerak dan perubahan kehendak, kebebasan serta kemerdekaan. “Sesungguhnya Allah tidak akan mengubah apa pun pada suatu bangsa sampai mereka mengubah apa yang ada pada diri mereka sendiri.”[HCF]

Share Page

Close