Dari nilai-nilai filosofis dan psikologis di atas, betapa konsentrasi Islam dalam memfokuskan pernikahan pada diri manusia dari dimensi ruhani dan kejiwaan, yakni hati dan batin.
D.1. Aktualisasi Dimensi Ilahi–Batin
Tanpa menafikan dimensi jasmani dan biologis, dimensi ilahi-batin manusia merupakan dorongan utama yang menggerakkan lelaki dan perempuan menuju pelaminan dan pernikahan. Maka pernikahan berpengaruh pada jiwa, hati dan batin. Setidaknya, dengan pernikahan, muatan dimensi batin seseorang terbongkar, tersalurkan dan teraktualisasikan. Nikah bukan hanya menyehatkan jasmani, tetapi utamanya ialah menghidupkan ruhani.
Dengan tidak menikah, justru terjadi pengabaian dan pengkufuran (penyia-nyiaan) dimensi ruhani sebagai potensi ilahi dalam diri manusia. Tidak menikah sesungguhnya menjalani hidup di luar kewajaran dan kenormalan. Maka, manusia normal dan sempurna ialah manusia yang sanggup mengaktifkan segenap potensi dirinya dan memaksimalkan kandungannya, di antaranya dengan menikah dan membangun keluarga.
D.2. Perlindungan atas Kesucian Batin
Tidak berhenti sebatas aktualisasi potensi batin, Islam juga memandang penting pernikahan dan berkeluarga mengingat pengaruhnya dalam melindungi dan merawat kemurnian jiwa serta kesucian batin seseorang.
Perlindungan dan sistem imunitas ruhani ini, sebagaimana telah disinggung di akhir C.3. (Memiliki Keturunan dan Meneruskan Generasi), dinyatakan dengan konsep takwa. Ayat yang dikutip di sana, sekali lagi, mengawal di awal dan di akhir masalah pernikahan dengan perintah takwa.
Dalam bahasa metafor, Alquran juga menyebut takwa sebagai busana dan pakaian (libas):
یا بَنِی آدَمَ قَدْ أَنْزَلْنا عَلَیْکُمْ لِباساً یُوارِی سَوْآتِکُمْ وَ رِیشاً وَ لِباسُ التَّقْوى ذلِکَ خَیْر
“Hai anak-cucu Adam! Kami sungguh telah turunkan kepada kalian pakaian yang menutupi aurat kalian dan menjadi perhiasan, tetapi pakaian takwa itulah yang terbaik” (QS. Al-A’raf [7]: 26).
Pada hemat Alquran, menikah dan membentuk keluarga, pada dasarnya, adalah menyiapkan pakaian takwa, karena kitab suci ini, selain memperkenalkan pakaian sebagai pelindung dan perhiasan tubuh, juga menempatkan takwa sebagai pakaian suci yang melindungi kesucian ruh, perhiasan indah yang mempercantik hati dan pelindung kokoh yang membentengi jiwa.
Namun di sisi lain, Alquran juga memperkenalkan istri dan suami sebagai pakaian satu untuk yang lain:
هُنَّ لِبَاسٞ لَّكُمۡ وَأَنتُمۡ لِبَاسٞ لَّهُنَّۗ
“Mereka (perempuan) adalah busana bagi kalian, dan kalian adalah busana bagi mereka” (QS. Al-Baqarah [2]: 187).
Jika dua ayat di atas ini disandingkan secara utuh, maka akan tampak jelas bagaimana Alquran secara padu dan konsisten mendudukkan posisi pernikahan dan berkeluarga sebagai salah satu bentuk paling menonjol dari pakaian takwa. Karena itu, dalam hadis Nabi SAW disebutkan, “Orang yang menikah sesungguhnya telah menyempurnakan separuh agamanya. Maka, jagalah separuh lainnya!”[1]
Di hadis lain, Nabi SAW bersabda, “Tidak ada seorang pemuda yang menikah di usia mudanya kecuali setannya berteriak, ‘Celakalah aku! Celakalah aku! Dia telah melindungi dua per tiga agamanya dari aku.’ Maka, seorang hamba hendaklah bertakwa kepada Allah pada sepertiga sisanya.’”[2]
Bukhari dalam shahihnya meriwayatkan sabda Nabi SAW, “Barangsiapa yang sudah mampu hendaklah menikah, karena menikah itu lebih bisa menundukkan pandangan dan lebih bisa menjaga kemaluan.”[3]
Pesan ayat-ayat dan hadis-hadis tersebut di atas mengenai pernikahan dan berkeluarga sangat efektif dalam membangun pertahanan moral dan ketahanan spiritual dalam menghadapi serangan berat dan gencar kebudayaan dekaden di era sekarang ini, sekaligus dalam mengantisipasi berbagai kerusakan moral, sosial dan pendidikan juga dalam rangka menunjang generasi muda dalam membangun karakter dan membina moral.
Dapat dikatakan bahwa tidak ada upaya yang lebih efektif dari mempersiapkan pakaian takwa, yaitu menikah dan membentuk keluarga. Maka, semua program serta agenda kebudayaan untuk pengembangan moralitas dan pengokohaan spiritualitas generasi muda perlu bergerak secara efisien dalam keindahan, kewibawaan dan, tentu saja, “kehangatan dan kenyamanan” pakaian takwa. Sebaliknya, tanpa pakaian takwa, upaya dan agenda pembangunan spiritualitas serta karakter anak-anak muda tak ubahnya dengan melukis di atas air.
———————————–
[1] Al-Bayhaqi, Syu’ab al-Iman, hadis no. 1410. Lihat juga al-Majlisi, Bihar Al-Anwar, jld. 3, hlm. 52, hadis no. 54).
[2] Al-Majlisi, Bihar Al-Anwar, jld. 3, hlm. 52, hadis no. 52.
[3] Shahih al-Bukhari, hadis no. 1772 dan no. 4677.