• LAINYA

TAFSIR–Hidup dan realitas ini bukan hanya materi, bukan hanya terlihat mata. Dunia yang non-materi dan tak terlihat mata jauh lebih luas, dan itu bisa dijangkau, di antaranya, dengan mendengar.

Setidaknya, suara, musik, dan bunyi-bunyian sudah pasti hanya bisa didengar dan tidak bisa dilihat mata. Organ indera pertama yang aktif sejak bayi dilahirkan adalah pendengaran, dan melalui pendengaran terjalin komunikasi pertama antara ibu dan bayinya, bahkan semasih bayi dalam kandungan ibu. Ibu dan bidan akan lega bahagia dengan suara bayi yang baru lahir. Ibu dan bidan akan menguatirkan kenormalan bayi bila ia lahir tanpa mengeluarkan suara (tangisan).

Apa jadinya bila rencana dan aksi unjuk rasa tanpa suara? Semua pengaturan, komando dan pengerahan dilakukan secara efektif dan cepat dengan suara dan alat-alat pengeras suara. Apa jadinya pula bila kita menonton tayangan, entah berita atau film, tanpa suara, tanpa latar musik; malah hambar dan menjemukan.

Apa artinya bila ikut menyimak presentasi di webinar bila tanpa suara? Presenter dan peserta hanya akan memulai presenstasinya setelah dipastikan ada suara. Tanpa suara, acara bubar, dengan suara forum webinar tetap berjalan.

Ketika seorang lelaki tampan menghampiri Sokrates, filosof pertama yang syahid, dengan menunjukkan gaya tampan di hadapannya, Sokrates yang konon berparas jelek memintanya, “Coba kamu berkata-kata agar aku tahu nilai ketampananmu!” Sokrates ingin melihat ketampanan batin (pikiran dan hati) bukan dengan mata, tetapi dengan mendengar kualitas kata-kata lelaki itu.

Salah satu bagian dari esensi manusia adaalah komunikasi dan dialog. Dan yang paling dominan dalam menyelenggarakan kebutuhan primer ini adalah mendengar sebelum melihat.Demikian wahyu dan Alquran pertama-tama diperdengarkan lantas dituangkan dalam bentuk aksara, barulah dapat dilihat mata. Kemukjizatan bahasa Alquran adalah, pertama-tama, diperdengarkan bacaannya sebelum dilihat tulisannya. Berdoa dan bermunajat dengan Allah adalah komunikasi kata-kata dan suara hati tersuci dan teragung antara makhluk dan Tuhan yang Mahaagung

Apa saja yang dilihat mata bisa dideskirpsikan, diceritakan dan diperdengarkan, tetapi tidak setiap yang didengar bisa diperlihatkan, karena ada hal-hal abstrak, tidak konkret dan non-materi yang bisa didengar dan, karena abstrak serta non-materi itu, tentu saja tidak bisa dilihat mata.

Selain mendengar dan melihat, ayat di bawah ini juga peringatan agar menyukuri hati dan menggunakannya pada tempatnya dengan sepenuh–penuhnya. Hati disinggung paling akhir sebagai catatan bahwa mendengar sejernih apa pun dan melihat tetajam apa pun tidaklah berarti bila tidak dengaran dan lihatannya tidak jatuh hingga meresap di hati yang tulus ikhlas.

وَ هُوَ الَّذي أَنْشَأَ لَكُمُ السَّمْعَ وَ الْأَبْصارَ وَ الْأَفْئِدَهَ قَليلاً ما تَشْعُرُونَ
“Dan Dialah yang telah menciptakan untuk kamu mendengar, mata-mata dan hati-hati, namun kamu sedikit menyadari.” (QS. Al-Mukminun [23]: 78)

Baca Juga :  Sejarah Penerjemahan Alquran di Indonesia

HADIS
Dari Abu Umamah ra. diriwayatkan bahwa ia berkata, “Rasulullah SAW bersabda, “Allah tidak memberikan suatu nikmat kepada seorang hamba lalu ia bermanjatkan pujian kepada Allah atas nikmat tersebut kecuali pujian itu lebih berharga daripada nikmat tersebut” (Shahīh Al-Jāmi‘, hadis ke-5562).

Imam Ali ra. berkata, “Heranlah pada seseorang yang melihat dengan lemak, berbicara dengan daging, mendengar dengan tulang dan bernapas dengan rongga” (Nahj Al-Balāghah, mutiara hikmah ke-8).

ANALISIS TERJEMAH
Dalam ayat di atas digunakan kata al-sam‘. Kata ini berbentuk masdar dari/untuk kata kerja sami‘a yasma‘u (mendengar) sehingga di sini diterjemahkan dengan ‘mendengar’. Dalam Alquran juga digunakan kata benda udzun ‘telinga’ dan bentuk pluralnya yang sepadan dengan kata bashar ‘mata’, seperti pada QS. Hud [11]: 20. Akan tetapi, dalam kebanyakan ayat, termasuk dalam ayat ini, di samping kata masdar al-sam‘, justru digunakan kata benda abshār (bentuk plural dari bashar).

Jadi, alih-alih kata al-sam‘ diterjemahkan dengan ‘telinga’, setepatnya dipadankan dengan ‘mendengar’ yang mengandung makna “kegiatan mendengar”, sementara kata-kata setelahnya, yakni al-abshār dan al-af’idah, secara berurutan, diterjemahkan dengan mata-mata dan hati-hati sebagai dua kata benda atau kata alat berbentuk plural. Tentu ada makna tertentu dIi balik penggunaan bentuk berbeda dari kata-kata tersebut.

TADABUR
Pada umumnya, kita lebih senang dan menghargai mata dan hal-hal yang dilihat daripada telinga dan hal-hal yang didengar. Akan halnya dalam Alquran, pendengaran dan telinga kerap didahulukan. Salah satu rahasianya, manakala seseorang mendengar nasihat, ia merasa lebih terkesan daripada saat ia membaca nasihat yang sama. Belajar bicara dan bahasa berawal dari mendengar, barulah ia membaca teks. Oleh karena itu, mendengarkan bacaan Alquran memiliki kesan dan pengaruh yang boleh jadi berbeda dengan membacanya.

Mendengar lebih luas jangkauan dari mata melihat. Banyak hal-hal yang bisa didengar tetapi tidak bisa dilihat, dan banyak juga hal-hal yang bisa dilihat juga bisa didengar. Awal komunikasi Nabi SAW dengan Allah adalah melalui pendengaran, mendengarkan ayat yang dibacakan oleh malaikat wahyu, Jibril a.s.

Nabi juga merindukan orang-orang yang disebutnya sebagai saudaranya-saudaranya. Ia bertanya, “Mana saudara-saudaraku?” Para sahabat berkata, “Bukankah kami ini saudara-saudaramu?” Nabi berkata, “Bukan, kalian adalah sahabatku. Saudaraku adalah orang-orang yang beriman kepadaku tetapi tidak pernah melihatku. Aku rindu serindu-rindunya kepada mereka.” Setelah gerenasi sahabat, umat Islam beriman pada Nabi SAW tidak dengan melihat kenabian Nabi, tetapi dengan mendengar argumen atas kebenaran kenabian beliau.

Baca Juga :  Filsafat Manusia dalam Alquran (2): Posisi Manusia di Alam

Sayangnya, dalam metode pembelajaran dan pendidikan, kepandaian mendengar kian hari semakin melemah. Ibu di rumah sudah tidak atau jarang memperdengarkan cerita kepada anaknya, anak remaja sudah sulit ditemukan duduk mendengarkan ceramah, antarsaudara sudah sulit berkomunikasi langsung saking sibuk dengan alat-alat komunikasi dan permainan. Perlu kiranya orang tua dan guru pengajar mengembangkan kepandaian anak dalam mendengar, mendengarkan dan menyimak.

Salah satu karunia besar Allah SWT untuk manusia ialah mata dan telinga. Dengan dua indra ini kita melakukan kontak pengetahuan dengan alam sekitar. Bagian dari kemurahan Allah ialah membiarkan kita menikmati karunia itu sekalipun kita tidak mensyukurinya.

Kita kurang menyadari betapa mata dan telinga berperan sebagai alat yang paling efektif dan paling siap digunakan untuk berhubungan dengan dunia luar, sementara hati berfungsi sebagai sarana paling batin dalam mengetahui hakikat dan rahasia alam. Dengan alat dan sarana inilah kita mengetahui banyak realitas alam, memahami maknanya dan mengisi nilai diri kita. Dalam bait puisi disebutkan: “Hai sodara, kaulah keseluruhan gagasan // yang lain hanyalah tulang dan lemak.”

Menakjubkan sekali bukan! Hanya dengan beberapa potong tulang dan lemak, kita bisa melihat, mendengar dan menjangkau makna. Pada hakikatnya, dengan perangkat materiil dan fisis ini kita diberi karunia oleh Allah SWT sehingga dapat memahami realitas dan mengetahui rahasia-rahasia alam. Namun, pernahkah kita menyadari dan mensyukuri karunia agung ini?!

Mensyukuri nikmat tidak semata-mata mengucapkan terimakasih atau alhamdulillah. Mensyukuri nikmat juga berarti tahu budi. Artinya, kita menghormati dan menerima dengan sepenuh hati setiap nikmat dan karunia yang diperoleh dengan cara menggunakannya sebagaimana mesti dan layaknya.

Mensyukuri nikmat telinga yaitu mendengarkan perkataan yang benar, suara indah alam, dan senandung bacaan ayat-ayat suci Al-Quran. Sebaliknya, mendengarkan fitnah, kebohongan, gunjingan, dan irama musik yang melalaikan pikiran dan jiwa merupakan perilaku-perilaku tak tahu budi dan menyia-nyiakan nikmat telinga. Demikian pula keadaan kita dalam memperlakukan nikmat mata.

Yang lebih penting dari itu, bagaimana kita mensyukuri nikmat hati dan menjiwai sesuatu dengan kalbu. Sulit menjiwai sesuatu tanpa ketulusan dan kebeningan hati. Tanpa kesucian hati, maka pandangan mata, pendengaran telinga, kemegahan imajinasi serta ketajaman akal menjadi tidak berguna, nilainya setingkat dengan indra dan imajinasi binatang.

Akankah kita menyia-nyiakannya dengan mengisinya dengan berbagai sifat tercela dan karakter kotor yang menghancurkan semangat mencapai ketinggian dan kesucian jiwa kita?!

Patut kita pertimbangkan dengan cermat kepada siapa kita akan serahkan hati kita? Kenapa menonton film bisa membuat hati dan pikiran kita hanyut?! Kenapa kita bisa mempersiapkan semangat jiwa dan gelora hati kita hanya untuk suatu pertandingan sepakbola, namun kita gagal dan tidak mampu mempersiapkan hati dan pikiran sepenuhnya menyongsong panggilan Allah SWT untuk shalat menghadap-Nya dan berhubungan langsung dengan-Nya?!

Baca Juga :  Filsafat, Pancasila dan Negeri Impian Buya Maarif

Masih banyak pertanyaan serupa yang kiranya sanggup menggugah kesadaran kita untuk segera tahu diri, tahu budi dan mensyukuri nikmat-nikmat Allah.

Patut pula kita sadari mengapa mata kita tidak terbuka dan menjangkau rahasia dan lapisan batin alam semesta? Mengapa telinga kita tidak mendengar suara-suara alam gaib-malakut? Mengapa hati kita tidak tenteram dengan mengingat nama Allah? Jika disebutkan dalam Al-Quran bahwa mensyukuri nikmat akan menambah nikmat, semestinya kita mensyukuri nikmat mata, telinga, dan hati dengan kemampuan kita memanfaatkannya dan meningkatkan kualitasnya sehingga, dengan alat-alat pengetahuan ini, kita dapat melampaui alam ini dan menjangkau alam-alam di atasnya.

Dalam sebuah riwayat disebutkan bahwa Rasulullah SAW pernah melintas di pemakaman Baqi’ lalu mengatakan kepada para sahabat yang menyertainya bahwa beliau baru saja mendengar jeritan dari salah satu kuburan. Namun, mereka tidak mendengar jeritan itu. Maka, beliau bersabda, “Seandainya tidak ada keraguan di hati kalian dan kalian terlalu banyak bicara, pasti kalian telah mendengar apa yang telah aku dengar” (Ibn Jarir Al-Thabari, Sharîh Al-Sunnah, jld. 1, hlm. 29, Mulla Sadra, Syarh Ushūl, jld. 1, hlm. 331).

Demikian pula yang dialami oleh seorang sahabat mulia Ali ibn Abi Thalib a.s. tatkala ia menuturkan, “Ketika wahyu turun kepada Rasulullah, aku mendengar suara jeritan setan, lalu aku bertanya kepada Rasulullah, ‘Jeritan apakah itu?’ Beliau menjelaskan, ‘Hai Ali, kamu mendengar setiap apa yang aku dengar dan kamu melihat setiap apa yang aku lihat, hanya saja kamu bukan nabi’” (Nahj Al-Balāghah, pidato ke-192).

Ada sekelompok orang yang melakukan ritual-ritual di luar hukum agama lantas mengaku punya pengalaman spiritual dan berhasil masuk alam transenden atau, dalam ungkapan Alquran, mereka bisa berhubungan dengan setan dan mendapatkan informasi tertentu. Mereka tidak berbeda dengan orang-orang yang menyalahgunakan karunia akal, indra dan hati, sehingga munculllah tasawuf palsu dan spiritualitas semu.

Maka, alih-alih berusaha melihat dan mendengar hal-hal gaib melalui ritual dan pelatihan di luar syariat, cobalah gunakan sarana pengetahuan ini dengan cara dan di jalur yang diridhai Allah. Dalam janji-Nya disebutkan, “Jika kamu bersyukur, pasti akan kami tambahkan untuk kamu” (QS. Ibrahim [14]: 7).

Dengan menggunakan mata, telinga dan hati, pandangan dan pendengaran serta jiwa kita akan menjangkau hakikat-hakikat gaib yang luar biasa indah, agung dan dahsyat, dan pengetahuan ini akan semakin membuat kita dekat dengan Allah dan hidup dalam koridor hukum-hukum agama.

Share Page

Close