• LAINYA

TAFSIR-FILSAFAT–Kesembilan: Bagi Muslim, Alquran adalah kebenaran absolut dan hakiki, karena itu tidak ada kekeliruan dan kesesatan dalam Alquran: “dan yang diturunkan kepadamu dari Tuhanmu itu adalah benar.”

Dalam ayat lain ditegaskan, “… dan sesungguhnya ia adalah kitab yang mulia, yang tidak akan didatangi oleh kebatilan dari depan maupun dari belakang; itulah yang diturunkan dari Yang Maha Bijaksana Maha Terpuji”(QS. Fushshilat [41]: 42).

Baca juga: QS. Al-Ra’d [13]: 1; Apakah Semua Pemahaman itu Relatif?, Allah saja Men-Share Kebenaran-Nya (1)

Kesepuluh: Sebagai kebenaran hakiki, Alquran adalah kitab yang mahaagung. Ayat ini mengenalkan Alquran dengan kata isyarat ‘itu’ yang, dalam budaya bahasa Arab, digunakan untuk menyatakan keagungan dan kemuliaan sesuatu: Itu adalah ayat-ayat Al-Kitab (Alquran).”

Kesebelas: dalam surah Fushshilat tadi, Alquran didefinisikan sebagai yang diturunkan (tanzil: penurunan) dari Tuhan Yang Maha Bijaksana. Di awal surah Yasin terdapat sumpah Allah, “Demi Alquran yang bijaksana“, yakni kitab kebijaksanaan yang berasal “dari Tuhanmu” Yang Maha Bijaksana. (Lihat QS. al-Syu’ara’ [26]: 192: Bisakah Tuhan Diturunkan?).

Kedua belas: Alquran mengandung kebenaran absolut yang di-share Allah kepada semua orang dan disampaikan melalui para nabi secara utuh dan penuh amanah, tanpa penambahan dan pengurangan. Jika Alquran ini di-share oleh Allah dan nabinya ke tengah umat manusia secara tidak utuh atau mengalami tahrif/distorsi, itu sama artinya tidak ada penurunan atau bukan penurunan yang bijaksana.

Ketiga belas: Begitu pula, kebenaran absolut milik Allah yang terkandung dalam Alquran juga bisa diakses dan dimiliki oleh manusia, dan setiap orang punya potensi untuk menjangkau dan memahaminya.

Jika Alquran hanya milik Allah dan nabi-Nya sehingga manusia tidak bisa memahami maksud dan kebenaran Allah yang terdapat di dalamnya, ini artinya tidak ada sharing, tidak ada penurunan, atau ada penurunan namun sia-sia dari tuhan yang tidak bijaksana.

Baca Juga :  Gugus Sejarah Penerjemahan Al-Quran di Dunia Barat

Keempat belas: Bisa dipahaminya kebenaran absolut Allah dalam Alquran oleh setiap orang bukan berarti setiap orang senyatanya sudah memiliki dan memahaminya. Alquran adalah cahaya; kebenarannya terang dan menerangi.

Seperti juga matahari, terang-meneranginya cahaya Alquran tidak bergantung pada manusia. Sebaliknya manusia hanya benar-benar diterangi dan memiliki cahaya Alquran jika dirinya sendiri mau dan memilih untuk berada dalam siraman cahaya Alquran. Ada keyakinan pada cahaya Alquran; ada kemauan; ada pilihan dan ada komitmen.

Kelima Belas: Maka, tidak semua kebenaran ayat-ayat Alquran itu diserap, dipahami dan diimani sebagai kebenaran; justru kebanyakan orang itu tidak mengimani, entah karena ragu, menganggap ajaran Alquran tidak realistis, mitos, fiktif, dongeng, permainan bahasa puisi, atau karena angkuh atau karena licik mencari-cari ayat untuk dipaksakan bisa membenarkan pemahaman dan sikapnya: “akan tetapi kebanyakan manusia tidak beriman.”

Keenam belas: Kriteria, poros dan fokus adalah kebenaran, bukan kebanyakan dan mayoritas: “… adalah benar, akan tetapi kebanyakan manusia tidak beriman.”

Mayoritas dan minoritas bukanlah ukuran kebenaran; kebenaran itulah yang mengisi nilai mayoritas dan minoritas. Kebenaran yang tidak didukung mayoritas tidak akan berubah menjadi kesalahan; juga kesalahan yang diyakini kebanyakan orang tidak akan berubah menjadi kebenaran.

“Jangan pernah merasa tercekam di jalan kebenaran karena sedikit penempuhnya” (Nahj Al-Balaghah, pidato 21 dan 201).

Ketujuh belas: Banyak faktor yang mengecoh masyarakat hingga salah menentukan kebenaran, di antaranya status orang, yakni mengukur kebenaran hanya dengan keberadaan tokoh tertentu di pihak, kelompok atau ajaran tertentu. Ayat di atas menerangkan faktor yang amat dan kerap mengecoh, yaitu kebanyakan dan mayoritas.

Kedelapan belas: Namun, dalam banyak kasus, minoritas juga kerap dijadikan ukuran kebenaran dan dasar pembelaan. Tidak sedikit mayoritas di suatu negara yang justru menjadi korban penindasan, pembodohan, pemerasan potensi negeri mereka oleh kelompok-kelompok minoritas.

Baca Juga :  Pandemi dan Argumen Ateis atas Ketiadaan Tuhan (2): Respon “Tidak Tahu” dari Pemimpin Para Filosof

Apa pun pembelaan atas hak-hak minoritas harus tetap didasarkan pada kebenaran sebagai kebenaran dan keadilan sebagai keadilan itu sendiri.

Kesembilan belas: Bertolak dari ingin/cinta kebenaran mutlak dan percaya adanya sebagian kebenaran mutlak yang bisa diperoleh manusia, maka terbuka dialog dan diskusi sehat sebagai cara logis dalam bersama-sama berusaha memperoleh kebenaran.

Nabi Muhammad SAW saja yang menerima wahyu kebenaran absolut secara langsung dari Allah menempatkan diri pada posisi netral dan siap menerima kebenaran dari lawannya dalam berdialog dan mendiskusikan kebenaran dirinya sendiri. Perhatikan sikap Nabi SAW di ayat berikut:

“Dan sesungguhnya kami atau kamu (orang-orang musyrik) pasti berada dalam kebenaran atau dalam kesesatan yang nyata” (QS. Saba [34]: 24).

Kedua puluh: Ayat di atas juga secara tidak langsung mengingatkan Nabi SAW dan setiap pengemban kebenaran agar, sejak awal, siap menghadapi realitas sosial bahwa tidak sedikit pihak-pihak yang akan menolak kebenaran kritik dan solusinya.

Kesiapan mental ini merupakan syarat agar tidak putus asa dan tetap konsisten menyampaikan dan memperjuangkan kebenaran, karena keberhasilan dan kemenangan dapat diperoleh dari dan dengan Allah sekalipun dengan jumlah sedikit:

Betapa banyak kelompok yang sedikit mengalahkan kelompok yang banyak dengan izin Allah (QS. Al-Baqarah [2]: 249).

Kedua puluh satu: dalam banyak ayat, Alquran juga disebut sebagai nur ‘cahaya’.

“Wahai manusia! Sungguh telah datang kepadamu bukti-kebenaran dari Tuhanmu, dan telah Kami turunkan kepadamu cahaya yang nyata (Alquran)” (QS. Al-Nisa’ [4]: 174. Lihat juga QS. Al-Taghabun [64]: 8, QS. Al-A’raf [7]: 157).

Alquran adalah cahaya karena berasal dari Allah Yang Mahacahaya, “Allah adalah cahaya lelangit dan bumi” (QS. Al-Nur [24]: 35).

Baca Juga :  Kalau segala sesuatu ada sebabnya, lantas siapa sebab-nya Tuhan?

Kebenaran Alquran ada dan nyata di hadapan manusia dan dijelaskan dengan bahasa yang juga nyata (arabiyyin mubin) oleh Nabi SAW. Dan kebenaran itu, seperti kebenaran Alquran sebagai kitab yang berasal dari Allah dan kebenaran Nabi SAW sebagai utusan Allah, adalah juga nyata secara identik ada pada Allah. Kebenaran-kebenaran Allah ini adalah cahaya yang bisa diakses dan diperoleh semua orang.

Boleh jadi tingkatan cahayanya berbeda, tetapi dalam esensinya, cahaya kebenaran pada Tuhan dan pada manusia itu satu, yaitu terang dan menerangi.

Kedua puluh dua: Keadaan orang yang memperoleh kebenaran Tuhan digambarkan dalam QS. Al-Maidah:

Dan apabila mereka mendengarkan apa (Alquran) yang diturunkan kepada Rasul (Muhammad), kamu melihat mata mereka mencucurkan air mata disebabkan kebenaran yang telah mereka ketahui seraya berkata, “Ya Tuhan! kami telah beriman, maka catatlah kami bersama orang-orang yang menjadi saksi” (QS. Al-Maidah [5]: 83).

Ada manusia-manusia yang, sekedar mendengar kebenaran saja, bercucuran air mata karena bahagia dan haru memperoleh kebenaran Tuhan. Mereka berikrar sebagai orang yang beriman dan jadi saksi atas kebenaran Alquran sebagai ajaran Tuhan dan Nabi sebagai utusan Tuhan.

Di antara manusia biasa seperti Ali bin Abi Thalib bisa mencapai kebenaran tertinggi yang mungkin dicapai oleh manusia: “Seandainya selubung-penutup hakikat ini disingkapkan dari hadapanku, keyakinanku tak akan bertambah.”

Sebaliknya, tampaknya sulit membayangkan orang yang dalam hatinya masih memberi celah kemungkinan apalagi pemastian bahwa kebenarannya tidak sama dengan kebenaran Tuhan akan bercucuran air mata, berikrar beriman dan jadi saksi.

Share Page

Close