• LAINYA

Andi Mahdi – Aturan-aturan ilahiah yang disebut dengan syariat merupakan metode pemenuhan kebutuhan-kebutuhan ragawi dan ruh. Metode tersebut bukan sekedar cara untuk memenuhi kebutuhan-kebutuhan ragawi belaka, juga memberikan pengaruh serius bagi kembang-kencupnya ruh. Dengan kata lain, aturan-aturan yang diturunkan kepada manusia dalam batasannya yang material, bukan sekedar aturan yang hanya berdampak bagi sisi kematerian manusia saja, namun juga memberikan efek pada ruh dan spiritual manusia. Sebagai contoh, makan merupakan salah satu kebutuhan primer ragawi manusia. Aturan yang memberikan batasan cara meraih makanan, contoh kasus riba, tidak saja sekedar batasan yang diperuntukan ragawi manusia, namun juga berpengaruh pada tumbuh-kembangnya ruh.

Dengan demikian, menjadi keharusan bagi kita untuk mengetahui cara memenuhi kebutuhan-kebutuhan tersebut dan tidak membatasinya pada dimensi ragawi belaka. Pengetahuan atas  metode menjaga kesempurnaan fitrah dan ruh merupakan hal yang sangat fundamental. Karena, sisi kemanusian manusia adalah ruh dan fitrahnya.

Terdapat enam kesempurnaan fundamental dalam menjaga eksistensi fitrah dan ruh manusia. Dengan mengetahui dan menjaga keenam kesempurnaan tersebut manusia dapat menjadi ‘wadah’ penampakan asma’-Nya di jagad wujud. Enam kesempurnaan yang sejalan dengan hakikat fitrah dan ruh. Enam kesempurnaan tersebut sebagai berikut:

  1. Kesempurnaan mengenal diri. Pengenalan ini merupakan pondasi primer dalam jagad manusia untuk mengenal Tuhan. Dalam Hadis Mengenal-diri disebutkan “Barangsiapa mengenal dirinya niscaya mengenal Tuhannya”. Plato mengatakan “Gnothi seauton: kenali dirimu!” (Syarh Rashahat al-Bihar, hlm. 221). Pengenalan diri merupakan hal terpenting bagi eksistensi manusia. Lebih jauh lagi, segala predikat dan predikasi yang terhubung dengan manusia harus terlebih dahulu diawali dari kesadaran manusia terhadap dirinya.  Ungkapan Rene Descartes, filosof Perancis, yang sangat populer dengan “cogito argo sum” sebagai kritik mendasar atas skeptisme, mengawalinya dengan kesadaran atas eksistensi “aku”. Ia tidak sedang ingin menyatakan proposisi “aku ada” sebagai keapakahan ganda (haliyyah murakkabah, baca: proposisi tersusun), melainkan meletakkan proposisi “aku ada” sebagai keapakahan sederhana (haliyyah basithah) yang menjelaskan eksistensi diri. Sedangkan proposisi “aku berfikir”  merupakan keapakahan ganda. Proposisi “aku berfikir” merupakan sekumpulan subjek, predikat dan predikatif, dimana ada upaya pelekatan predikat, berfikir, kepada “aku” sebagai subjek. Pada proposisi tersebut, Descartes menyadari dengan baik bahwa berfikir merupakan suatu predikat yang memerlukan sandaran subjek. Dalam hukum Logika Formal, terdapat kaedah  logika yang menyatakan “ketetapan suatu predikat pada subjeknya, harus terlebih dahulu diasumsikan atau pun diyakini keberadaan subjeknya”. Maka, Descartes cukup sadar bahwa “aku” merupakan subjek yang terlebih dahulu harus ada. Kesadaran tersebut dikuatkan pada ungkapan proposisi sebelumnya “aku ada”. “Aku” merupakan ungkapan verbal atas kesadaran ruh atas keberadaan dirinya. Kesadaran ultra-fundamental bagi manusia.
  2. Kesempurnaan perolehannya.
  3. Kesempurnaan pengetahuan atau epistemologi
  4. Kesempurnaan pengetahuan atas bentuk upaya dalam meraih tujuan
  5. Kesempurnaan pengetahuan tentang alasan keharusan berupaya meraih tujuan yang berkaitan dengan agama.
  6. Kesempurnaan penggetahuan tentang kesucian agama.

Dengan demikian, sampailah pada kesimpulan sementara tentang fitrah, ruh dan hubungan keduanya. Dalam filsafat Sadra disebutlkan, bahwa esesnsi (baca:mahiyah) adalah batasan wujud sesuatu. Dan jika, sesuatu tersebut tidak memiliki esensi, maka tidak terbatas ekistensinya. Landasan ini, juga digunakan dalam argumentasi keberadaan Kausa Prima.

untuk menyederhanakan gagasan tentang fitrah dan ruh, kita akan menggunakan pendekatan filosofis dari pengantar di atas. Fitrah adalah batasan eksistensi ruh manusia. Ruh manusia adalah inti manusia. Artinya, Allah meng-ada-kan ruh manusia berdasarkan satu cetakan, atau batasan, dan cetakan tersebut adalah fitrah. Dengan kata lain, ruh adalah kemanusiaan manusia (al-Mizan, jld. 10, hlm. 112).

Baca Juga :  Alquran di Balik Keunikan Sikap Ghazali: Logika Wajib, Filosof Kafir

Jika, seseorang melampaui batasannya, fitrah, maka seseorang tidak layak lagi untuk disebut sebagai manusia, tapi menyerupai manusia dari sisi definisi esensialnya yang mengandung dua gagasan universal; genus; deferentia. Dalam Alquran disebut dengan kata “seperti binatang ternak bahkan lebih sesat” (QS. al-Anfal [8]: 179). Pada ayat lainnya dinyatakan, “dan ketika binatang-binatang liar buas itu dikumpulkan di mahsyar” (QS. al-Takwir [81]: 5).

Hasan Zadeh Amuli menyatakan bahwa manusia secara definitif esensialnya adalah spesies. Dan spesies tercakup dalam hegemoni genus. Namun, itu berlaku di dunia. Kondisi akan berbeda di akhirat kelak, dimana manusia merupakan genus besar yang mencakup spesies-spesies lainnya. (Insan dar Urf Irfan, hlm. 6). Sebagai contoh, manusia yang taat akan memiliki unsur manusia dengan deferensi ketaatan. Manusia yang membangkang adalah manusia sebagai genus dan memeiliki deferentia pembangkangan. Manusia yang buas suka menumpahkan darah manusia, memakan apa saja tanpa melihat sisi zalim-adil, halal-haram disebut dengan satu spesies manusia dengan deferensi kebuasan. Manusia yang sejalan dengan fitrahnya adalah manusia dengan deferensi kefitrian. Dalam riwayat disebutkan “bentuknya adalah bentuk manusia, akan tetapi hatinya adalah hati binatang”. (Nahj al-Balaghah, pidato no. 85).

Salah satu elemen fundamental fitrah ialah mengenal diri. Dengan fitrah, manusia cenderung serbaingin tahu apa yang belum dia ketahui. Karena itu, fitrah merupakan bagian dari kesempurnaan dirinya. Namun, hasrat fitri ini tidak akan mendapatkan nilainya jika sebelumnya fitrah belum menyadari hakikat dirinya sebagai subjek. Dari sisi lain, fitrah dapat menjadikan dirinya sebagai objek penyingkapan dan pengetahuan, sehingga dirinya sangat berkepentingan secara eksistensial untuk mengetahui hakikat dirinya.

Selanjutnya, bercabang dari pengenalan diri adalah kecintaan diri. Kerja-kerja fitrah berorientasikan pada pondasi kesempurnaan dan peraihannya. Kecintaan diri merupakan salah satu manifestasi dari kesempurnaan. Upaya untuk menyingkap hakikat segala sesuatu merupakan tajalli dari kecintaan diri.

Mengenal Tuhan dan berupaya menyingkap realitas-Nya melalui fitrah merupakan konsekuensi nicaya dari mengenal diri. Hubungan konsekuensi ini menegaskan seluruh aturan-aturan-Nya memiliki nilai untuk ditaati. Ini tertuang dalam ayat, “Maka hadapkanlah wajahmu dengan lurus kepada agama (Allah) yang suci” (QS. Al-Rum [30]: 30).

Menariknya, lanjutan ayat ini berkaitan dengan penciptaan fitrah manusia. Bisa ditarik kesimpulan bahwa konsekuensi eksistensial fitrah adalah beragama; terdapat korelasi eksistensial antara fitrah dengan agama. Riwayat Mengenal-diri dan hadis “Awal agama ialah mengenal-Nya” menyinggung korelasi eksistensial antara fitrah, Tuhan dan agama. Hubungan trilogis ini terkait-erat dengan pengenalan diri dan keecintaan fitrah untuk menyempurna.

Telah dikemukakan di akhir bagian kedua, salah satu kesempurnaan fitrah adalah mengenal diri. Pengenalan ini merupakan poros bagi kelima poin di bawahnya. Tanpanya, maka akan tidak bernilai poin-poin selanjutnya, bahkan kehilangan subjeknya atau, dalam logika, disebut sebagai salibah bi intifa al-mawdhu’. Artinya, predikat pada proposisi predikatif kehilangan eksistensinya, dikarenakan hilangnya subjeknya. Dengan demikian, sangat fundamental, sebelum memasuki poin-poin lainnya adalah menguraikan tentang pengenalan diri.

Pengetahuan konseptual dan kehadiran merupakan pembagian pengetahuan secara primer. Pengembalian seluruh pengetahuan yang dimiliki manusia berakhir pada dua jenis pengetahuan tersebut. Beberapa filosof memaparkan definisi dari kedua jenis pengetahuan tersebut. Pengetahuan konseptual adalah perolehan pengetahuan melalui perantara konsep ataupun gagasan antara realitas dengan mental. Sedangkan pengetahuan kehadiran adalah realitas objek pengetahuan mewujud dan hadir pada subjeknya tanpa media gagasan. Kedua definisi tersebut merupakan definisi terpopuler. Sekaitan dengan persoalan di atas, Allah swt. menjelaskan dalam kitab suci media-media pengetahuan, dan darinya manusia dapat memperoleh pengatahuan.

Baca Juga :  Filsafat Maulid Nabi: Merayakan Kemanusiaan atau Kebinatangan Diri Sendiri

Dan Allah mengeluarkan kamu dari perut ibumu dalam keadaan tidak mengetahui sesuatupun, dan Dia memberi kamu pendengaran, penglihatan dan hati, agar kamu bersyukur” (QS. Al-Nahl [16]: 78).

Ayat di atas menjelaskan satu jenis pengetahuan yang dimiliki manusia, yaitu pengetahuan konseptual. Petikan ayat, “dalam keadaan tidak mengetahui sesuatupun” menegasikan seluruh jenis pengetahuan. Namun petikan ayat, “Dia memberi kamu pendengaran, penglihatan dan hati”, merupakan catatan pengecualian bahwa penegasian tersebut terkait dengan pengetahuan konseptual. Dimana, kata “penglihatan”, “pendengaran” dan fuad (hati) merupakan media-media pengetahuan. Penglihatan dan pendengaran adalah media pengetahuan indrawi, sedangkan fuad adalah pijakan dan media berfikir.

Serupa dengan ayat di atas, pada surah al-Mukminun, Allah swt. menyatakan dengan gambalang tentang pengaruniaan media-media penegtahuan bagi hewan dan maanusia. Selanjutnya, mengkhususkan penganugerahan fuad hanya kepada manusia.

Dan Dialah yang telah menciptakan bagi kamu sekalian, pendengaran, penglihatan dan hati. Amat sedikitlah kamu bersyukur” (QS. al-Mukminun [23]: 78).

Berdasarkan dua ayat di atas, dapat disimpulkan bahwa pengetahuan indrawi merupakan titik-temu antara hewan dengan manusia, dimana mereka memiliki media-media pengetahuan indrawi untiuk memenuhi hajat dan keperluan hidup mereka. Kata fuad dalam bahasa Arab memiliki dua makna: hati dan akal. Penggunaan kata fuad pada dua ayat di atas lebih tepat dengan makna akal. Karena, hati lebih tepat masuk dalam pengetahuan kehadiran. Dengan fuad-nya, manusia bisa meraih pengetahuan-pengetahuan universal dan membangun hukum serta kaedah universal untuk menyelami luasnya jagad wujud. (al-Mizan, jld. 12, hlm. 312; jld. 15, hlm. 53-54).

Setelah menjadi jelas persoalan pengetahuan konseptual, selanjutnya giliran pengetahuan kehadiran menjadi sorotan penting dalam pembahasan. Salah-satu kajian populer dalam khazanah pengetahuan keislaman adalah bahasan tentang pengenalan jiwa dan korelasinya dengan pengetahuan tentang Tuhan. Hal ini menjadi penting, karena terkait dengan pondasi primer dalam keberagamaan. Lebih jauh lagi, pengenalan jiwa terkait-erat dengan persoalan fitrah.

Perhatikan dua hadis terdahulu, “Awal beragama adalah mengenal Tuhan”, dan “Barangsiapa mengenal dirinya niscaya mengenal Tuhan-nya”. Hadis pertama menjelaskan agama dan Tuhan, sedangkan hadis kedua memaparkan hubungan jiwa dengan Tuhan. Kedua hadis ini menjadikan Tuhan sebagai poros bahasan yang sangat mendasar.

Beberapa premis penting akan sangat membantu kita membangun gagasan yang tepat untuk mendekati dua hadis di atas. premis-premis yang terkait dengan aktifitas fitrah dalam meraih kesempurnaan dirinya yaitu, menyingkap hakikat sesuatu dan menjadikannya sebagi pengetahuan pasti. Kepastian atas ketetapan predikat pada subjeknya.

Premis pertama adalah jiwa manusia memiliki kesadaran atau pun pengetahuan, dan setiap pengetahuan baru dapat menjadi pengantar menuju pengenalan terhadap Tuhan. Premis kedua, kesadaran jiwa bahwa dirinya adalah akibat. Kesadaran kausalitas memacu jiwa untuk bergerak mendekati sumber kesempuranaan mutlak.

Premis kedua ini menarik kita ke dalam bahasan kausalitas filosofis yang digagas oleh beberapa filsof Muslim. Ibnu Sina menarik bahasan keterbutuhan akibat terhadap akibatnya pada teori kemungkinan esensial (baca: al-imkân al-mâhawi). Lain Ibnu Sina, Mulla Sadra menjadikan kemungkinan eksistensi kefakiran (baca: al-imkân al-faqri) sebagai alasan keterbutuhan akibat pada sebabnya.

Mulla Sadra menjadikan teks-teks suci ilahi sebagai sumber primer landasan filsafat hikmah muta’âliyah-nya. Beliau memperoleh beberapa teori filsafatnya dengan melakukan permenungan mendalam terhadap wahyu. Hal serupa, beliau buktikan dengan memaparkan bangunan teori al-imkân al-faqri-nya bersandarkan pada beberapa ayat suci Alquran.

Baca Juga :  Pandemi dan Argumen Ateis atas Ketiadaan Tuhan (1): Rumusan Argumen

Dalam pandangan Sadra, setelah memaparkan teorinya, al-imkan al-faqri, sebagai tawaran final dalam berargumentasi atas kebaradaan Tuhan, beliau melanjutkan paparannya tentang hirarki eksistensi (baca: tasykik al-wujud). Menurutnya, hirarki eksistensi adalah setiap tingkatan dari wujud terkait dengan tingkatan yang lebih kuat dan sempurna. Seluruh tingkatan akan berakhir pada satu puncak eksisntensi yang sangat sempurna. Setiap fase dari tingkatan-tingkatan tersebut memiliki keterbutuhan dan keterkaitan eksisntesial di antara tingkatan-tingkatan tersebut. Hingga, berhenti pada satu puncak eskisistensi yang tidak memiliki keterbutuhan dan ketergantungan secara mutlak. Jiwa manusia merupakan, “sedang dia ketika itu belum merupakan sesuatu yang dapat disebut?”, satu bagian dari hirarki eksistensi tersebut. Maka, dia merupakan eksistensi keterbutuhan, secara inheren yang memerlukan kepada sebab, bukan saja dalam kejadiannya bahkan dalam menjaga keberadaanya agar tetap ada, “Hai manusia, kamulah yang memerlukan (para fakir) kepada Allah; dan Allah Dialah Yang Maha Kaya (tidak memerlukan sesuatu) lagi Maha Terpuji.” (QS. Fathir [35]: 15). Keterbutuhan eksistensial tersebut merupakan pondasi bagi keberadaan dan keberkesinambungan eksistensinya.

Paparan di atas merupakan penjelasan premis kedua yaitu, ke-akibat-an jiwa, dimana selurruh akibat memiliki kesadaran inheren atas ketergantungan dan keterikatannya kepada sebabnya. Kesadaran yang muncul dari inti ketergantungannya, karena dirinya bukan dua hal yang dikaitkan dengan lainnya, melainkan dirinya adalah inti ketergantungan dan keterbutuhan kepada sesuatu.

Kesadaran eksistensial kausalitas menjadikan jiwa memperoleh pengetahuan atas keberadaan Tuhannya –sebab yang meng-ada-kannya. Dengan kesadaran itu, jiwa berusaha meraih kedekatan dengan sebabnya, Maha Tak Memerlukan apa pun. Proses meraih kedekatan itulah disebut agama. Agama memberikan aturan dan cara bagaimana jiwa bisa memperoleh kedekatan dengan sebabnya. Agama yang memiliki jaminan kesuscian, karena ia akan menjadi kitab acuan bagi sesuatu yang suci pula. Hal ini diungkapkan oleh Alquran dengan bahasa yang sangat sinple dan padat pada surah Al-Rum, “Maka hadapkanlah wajahmu dengan lurus kepada agama (Allah) yang suci” (QS. al-Rum [30]: 30).

Selanjutnya, jiwa tidak merasakan kepuasan selama belum memperoleh penyingkapan atas hakikat sebab yang meng-ada-kannya. Dia selalu melakukan perjalanan untuk meraih kesempurnaan dirinya. Sekedar membuktikan keberadaan sebab yang menjadikannya, tidak serta-merta membuatnya merasa cukup dengan pengetahuan tersebut. Dia berupaya menyingkap lebih lanjut hakikat sebab agar mendapatkan alasan ontologis untuk selalu mendekatkan diri kepadanya.

Salah satu persoalan yang mengemuka dalam kajian para ulama, khsususnya filosof, ahli kalam dan urafa, adalah ketuhanan dengan segala aspeknya. Bahasan asma Allah menyita banyak perhatian mereka. Beberapa sudut-pandang dan penafsiran dihidangkan ke halayak muslimin sebagai khazanah keilmuan.

Nama-nama Allah merupakan tajjali esensi-Nya yang sangat tersembunyi dari seluruh pengetahuan makhluk-Nya. Dengan nama-nama-Nya, Dia memperkenalkan diri-Nya. Hadis Qudsi, “Aku harta karun yang tersembunyi” merupakan penjelas atas hakikat esensi-Nya yang tak tersentuh oleh pengetahuan seluruh ciptaan-Nya. Nama-namanya ber-tajalli dalam nama-nama keindahan (jamaliyyah) dan keagungan (jalaliyyah). Dalam The Tao of Islam, Muratta disebut keduanya sebagai feminim dan maskulin. Nama-nama jamaliyyah adalah Dia menampilkan nama-nama kelemah-lembutan dan keindahan; dengannya seluruh ciptaan-Nya memiliki alasan untuk mencintai-Nya dan mendekatkan diri kepada-Nya. Sedangkan nama-nama jalaliyyah adalah pencitraan diri-Nya dengan kegagahan, kemuliaan, ketegasan dan kesombongan. Dengannya, seluruh ciptaan-Nya memperoleh rasa takut, patuh dan tunduk pada-Nya.

Bersandarkan pada penjelasan di atas, jiwa manusia dapat menyingkap satu hakikat baru yaitu, nama-nama terbaik Allah. Nama-nama inilah yang menjadikan jiwa mendapatkan alasan ontologis untuk selalu berusaha mendekatkan diri dan patuh kepada-Nya.

Share Page

Close