• LAINYA

[arabic-font]وَ لَمْ يَكُنْ لَهُ كُفُواً أَحَدٌ[/arabic-font]

Dan tidak ada satu pun yang setara dengan-Nya

(QS. al-Ikhlas [112]: 4)

Tadabur

  • Menyambung Bagian Pertama, Surah al-Ikhlas, secara umum, berbicara tentang Allah swt. Dalam ayat ini, Allah diperkenalkan sebagai Realitas yang tidak ada yang setara dan sebanding dengan-Nya. Pemerkenalan dan deskripsi ini jatuh di akhir surah, yakni dalam ayat ini, menandakan bahwa deskripsi ayat ini merupakan langkah dan upaya terakhir dalam artian: pengetahuan manusia akan Allah sebagai Realitas yang tak bersetara bukanlah upaya awal mengenal Allah, tetapi merupakan capaian akhir dari pengetahuan yang mungkin dijangkau manusia tentang Allah.
  • Pengetahuan dan deskripsi itu bukan langkah dan upaya awal karena jika kita memulai deskripsi Allah dari negasi atas keserupaan dan kesetaraannya dengan selain-Nya, maka sejak awal kita sudah pesimis mengenal Allah dan dapat berhubungan dengan-Nya, karena pikiran kita lazimnya memulai bekerja dan mengetahui segala hal dengan keserupaan dan afirmasi.
  • Adapun Pengetahuan dan deskripsi negatif tentang Allah itu merupakan langkah akhir dan capaian puncak dari upaya kita menjangkau realitas-Nya, karena Allah adalah Realitas Absolut dimana Dia tidak memiliki sekutu, setara dan sebanding dengan diri-Nya sebagaimana dalam riwayat pertama. Pikiran akan menganggap tuntas pengetahuannya dengan penyerupaan dan afirmasi, padahal gerak dan upaya pengetahuan menuju Realitas Absolut tidak ada tepi dan akhirnya.
  • Jika Allah tidak memiliki yang setara dan seperti diri-Nya, lalu bagaimana kita dapat mengenal-Nya? Ini pertanyaan filosofis yang, dalam riwayat kedua, Imam Ja’far al-Shadiq sedikit banyaknya telah menguraikan jawabannya. Yaitu, selama kita berupaya mengenal Allah dalam kerangka pikiran, pembuktian aklani, dan pemahaman rasional, maka dapat dipastikan bahwa Allah di atas segala deskripsi dan keterangan, “Allahu akbar: Allah Mahabesar dari segala penyifatan tentang diri-Nya.” Tetapi Allah swt. senyatanya juga hadir. Relasi Allah dengan makhluk bukan relasi dua sesuatu yang sama-sama asing dan berbeda. Pertama-tama, kita menemukan Realitas Agung itu hadir dan nyata, lalu pikiran kita mengonseptualisasikannya. Sekalipun kkonseptualisasi itu tidak dapat meliput-Nya, tetapi itu bukan berarti kita dengan daya konseptualisasi, yakni akal pikiran, tidak mampu sama sekali mengenalnya. Tidak demikian. Kita dengan daya pikir kita dapat mengenal Allah sampai batas tertentu.
  • Tidak ada yang setara dengan Allah yakni Dia juga tidak serupa dengan manusia. Di banyak ajaran dan bahkan penganut agama, Tuhan diserupakan sama dengan manusia (antropomorfisme). Sebagian filosof agama pada batas tertentu mempercayai Tuhan agama-agama Ibrahimian sebagai Tuhan Personal. Dalam tubuh umat Islam pun dapat dijumpai kepercayaan penyerupaan Allah dengan manusia, yaitu musyabbihah dan Jahmiyyah dalam sejarah Kalam Islam. Namun ayat ini dengan tegas menolak segala bentuk deskripsi antropomorfistik dan penyerupaan Allah dengan makhluk. Dalam sejumlah riwayat kita diingatkan agar, sepanjang upaya mengenal Allah, kita tidak terjebak menempatkan Allah dan menurunkannya sekapasitas daya pikir kita. Dalam hadis masyhur kita dilarang oleh Nabi saw., “Janganlah berpikir tentang esensi Allah, tetapi pikirkanlah ciptaan Allah.” Menyerupakan Allah dengan makhluk sama halnya, sebagaimana dalam hadis, dengan semut, “Betapa semut yang kecil itu juga membayangkan Allah juga memiliki dua antena.”
  • Keimanan bahwa tidak ada sekutu dan setara dengan Allah merupakan pilar fundamental dalam keberagamaan. Manusia selalu berpijak pada kapasitas dan kemampuan dirinya. Dalam proses mengenali segala sesuatu, ia juga kerap menghadapi berbagai keterbatasan mereka yang membuat dirinya sulit untuk mengandalkan mereka sepenuhnya. Akan halnya mengenai Allah, ia tidak menghadapi keterbatasan selain keterbatasan diri sendiri. Dialah Realitas Absolut yang mengungguli segala sesuatu dan tidak ada sesuatu apa pun yang melampaui wujud-Nya.
  • Kerap kritik ini dikemukakan untuk mempertanyakan ketakterbatasan kuasa Allah swt.: jika Allah kuasa atas segala sesuatu, apakah dia mampu memasukkan bola bumi ke dalam telor tanpa bola bumi menjadi kecil juga telor menjadi besar?! Kritik ini sesungguhnya tidak menyoal kekuasaan absolut Allah. Kekuasaan Allah adalah mahabesar, maha absolut dan tak terbatas. Ketidakmungkinan memasukkan yang besar ke dalam yang kecil tidak merusak dan mencederai kekuasaan absolut Allah, tetapi hal itu tidak mungkin terjadi karena kelemahan yang kecil untuk menampung yang besar; bola bumi tidak punya kapasitas untuk berada di dalam telor yang kecil. Dan Allah memperlakukan bola bumi dan telor sesuai kapasitas dan realitas mereka masing-masing. Justru, memasukkan yang besar ke dalam yang kecil itu melanggar kebijaksanaan Allah dan menindas bola bumi juga telor. Bisa dibayangkan bagaimana jadinya telor dipaksa untuk menampung bola bumi yang di luar kapasitasnya; hanya akan merusak kedua-duanya. Dan ini mustahil Allah lakukan, karena Dia Maha bijaksana dan kekuasaan-Nya bersama kebijaksanaan-Nya.
  • Imam Ja’far al-Shadiq pernah menghadapi kritik tadi dan menjawabnya dengan afirmatif, “Ya, Allah mampu melakukan itu. Dia mempu memasukkan semua gunung-gunung dan bintang-bintang ke dalam matamu, tanpa mereka itu menjadi kecil dan matamu menjadi besar” (al-Tawhid, hlm. 122). Ini mungkin terjadi dan senyatanya juga terjadi demikian, karena salah satunya bukanlah materi. Mata di sini bukan bola mata yang hanya seukuran kelopak mata di kepala, tetapi daya persepsi yang ada di mata. Daya penglihatan pada mata dapat menampung bentuk perseptual gunung, dan apa yang ditangkap oleh mata sama dengan gunung yang ada riil di luar.
Baca Juga :  Mengenal Tafsir Sufistik-Filosofis Surat Al-Fatihah, Karya Mulla Sadra (2): Isti’adzah (1)

Catatan Umum tentang Surah al-Ikhlas

  • Surah al-Ikhlas berbicara eksklusif tentang Allah swt.; pertama-tama, mengemukakan dua ayat afirmatif lalu melengkapinya dengan dua ayat negatif. Dua tinjauan: afirmatif dan negatif, menegaskan doktrin al-Quran bahwa pengenalan kita akan Allah swt. bukanlah agnostis (mengingkari ketidakmungkinan mengenal Tuhan) juga bukan antropomorfistis (menyerupakan Tuhan dengan makhluk).
  • Allah adalah satu yang mustahil diasumsikan ada yang kedua bagi-Nya. Maka tidak ada sekutu, setara, seperti dan sebanding dengan-Nya.
  • Allah adalah tempat bergantung, di atas segalanya dimana segala sesuatu kembali kepada-Nya dan, karena itu, tidak ada titik yang kosong dari-Nya. Maka, hubungan Allah dengan makhluk bukanlah hubungan kelahiran, yakni hubungan dua sesuatu yang satu keluar dan lepas dari yang lain.[dn]

Share Page

Close