• LAINYA

[arabic-font]إِنَّ فِي السَّمَاوَاتِ وَ الْأَرْضِ لَآياَتٍ لِلْمُؤْمِنِيْنَ‏[/arabic-font]

“Sesungguhnya di langit-langit dan di bumi terdapat tanda-tanda bagi orang-orang beriman.”

(QS. Al-Jatsiyah [45]: 3)

Terjemah Kata

  • إِنَّ          (inna)          = sesungguhnya
  • فِي          (fī)               = di/dalam
  • السَّمَاوَاتِ  (al-samāwāt) = langit-langit
  • الْأَرْضِ    (al-ardh)      = bumi
  • آياَتٍ        (āyāt)          = tanda-tanda
  • لِلْمُؤْمِنِيْنَ‏   (lilmu’minīn) = bagi orang-orang beriman

Hadis

  • Diriwayatkan oleh Al-Daylami dari Abu Hurairah secara langsung, ia berkata, “Ada seseorang yang sedang terlentang melihat langit dan bintang-bintang lalu berkata, ‘Demi Allah, sungguh aku tahu bahwa engkau (langit dan bintang) memiliki pencipta dan tuhan. Ya Allah, berilah ampunan kepadaku.’ Lalu Allah melihatnya dan mengampuninya.” (Jalaluddin Al-Suyuthi, Al-Durr Al-Mantsūr, jld. 4, hlm, 184).
  • Imam Ali bin Abi Thalib ra. berkata, “Segala puji bagi Allah yang tampak bagi makhluk-Nya dengan makhluk-Nya, yang nyata bagi hati-hati mereka dengan bukti-Nya” (Nahj Al-Balaghah, pidato no. 108)
  • Imam Ali bin Abi Thalib ra. dalam pidato yang terkenal dengan nama khuthbat al-asybah (Pidato Bayangan), mengatakan, “Dialah yang menciptakan makhluk tanpa contoh yang ditirunya juga tanpa pola yang Dia ikuti dari pencipta yang disembah sebelum-Nya. Dia memperlihatkan kepada kita kekuasaan malakut-Nya dan keajiban-keajaiban yang diungkapkan oleh kesan-kesan kebijaksanaan-Nya dan pengakuan makhluk akan kebutuhannya kepada-Nya untuk Dia menegakkannya dengan kedahsyatan kekuatan-Nya. Ini, dengan keniscayaan adanya bukti bagi-Nya, menunjukkan kita untuk mengenal-Nya. Maka, dari ciptaan-ciptaan yang Dia wujudkan tampaklah kesan-kesan tindakannya dan lambing-lambang kebijaksanaan-Nya sehingga segala sesuatu yang Dia ciptakan menjadi bukti bagi-Nya dan petunjuk kepada-Nya, sekalipun ciptaan itu diam. Maka, kebuktiannya berbicara dengan pengelolaan dan argumennya tegak [membuktikan] Sang Pencipta” (Nahj Al-Balāghah, pidato no. 90).
Baca Juga :  QS. Al-Mursalat [77]: Ayat 7; Menguji Iman dalam Merespon Janji Tuhan

Tadabur

  • Ayat ‘tanda’ yaitu alamat dan petunjuk; mencakup apa saja yang, dengan melihatnya, kesadaran manusia tertuju kepada realitas di baliknya. Maka, segala sesuatu di langit dan di bumi, di luar dan di dalam diri sendiri, adalah tanda yang menyingkapkan keberadaan Allah dan kesempurnaan-Nya.
  • Manusia beriman ialah manusia yang percaya pada Allah. Konsekuensinya, ia juga percaya pada tanda dan penandaan Allah. Maka, segala sesuatu dan kejadian apa pun membawa pesan dan makna bagi orang beriman. Artinya, bagi manusia yang hendak bergerak dan menempuh jalan menuju Allah, benda-benda mati pun menjadi sumber inspirasi, koreksi dan petunjuk.
  • Tidak ada benda yang benar-benar mati, diam dan bisu. Sebagaimana semua alam dan ciptaan ini berbicara dan bertasbih kepada Allah (QS. Al-Nur [24]: 41), mereka juga dijadikan Allah berbicara kepada manusia. Mereka juga seperti matahari; memancarkan sinar petunjuk.
  • Tidak semua orang dan tidak setiap saat kita menangkap penunjuk dari ciptaan-ciptaan Allah. Itu bukan karena ciptaan itu kekosongan makna, sinar dan petunjuk, tetapi kekurangan ini berasal dari diri kita. Kegagalan kita mencerap sinar dan tanda Allah dari setiap fenomena di luar dan di dalam diri adalah karena kekurangan kita menyiapkan diri. Maka, hanya orang-orang tertentu yang bisa menangkap sinar ilahi dari segala sesuatu, yaitu orang-orang beriman pada Allah, Tuhan Pencipta, Pemelihara dan Penguasa Hari Pembalasan (QS. Al-Fatihah [1]: 1-4).
  • “Tanda bagi orang beriman” menjelaskan bahwa, sekalipun manusia bisa mengetahui sesuatu dengan perangkat pengetahuan: indra, akal, dan hati, tetapi pengetahuan dengan perangkat apa pun yang diperoleh dari objek di luar dan di dalam diri harus mengkristal menjadi bagian dari keimanan seseorang (subjek). Pengetahuan dari mengindra, berpikir, merenung, berkomtemplasi hanyalah merupakan syarat perlu yang harus disempurnakan dengan syarat lain hingga menjadi iman, yaitu ketulusan dan ketundukan pada kebenaran. “Dan kepada Allah sajalah bersujud segala apa yang berada di langit dan semua makhluk yang melata di bumi dan para malaikat, sedang mereka tidak sombong” (QS. Al-Nahl [16]: 49). Maka tanda Allah di balik segala sesuatu hanya dijangkau oleh orang yang berpengetahuan benar dan berhati tulus tanpa angkuh.
  • Kalau benar kita percaya pada segala sesuatu sebagai tanda, sumber pesan dan petunjuk Allah SWT, tentu kita tidak akan menyepekan segala sesuatu. Sebaliknya, kita akan menghargai setiap makhluk. “… dan mereka memikirkan tentang penciptaan langit dan bumi (seraya berkata), Ya Tuhan kami, tiadalah Engkau menciptakan ini dengan sia-sia, Maha Suci Engkau, maka peliharalah kami dari siksa neraka” (QS.Al Imran [3]: 191).
  • Penghargaan dan penghormatan besar kita akan tertuangkan kepada makhluk mulia Allah, yaitu manusia (QS. Al-Isra’ [17]: 70; QS. Al-Tin [95]: 4). Kita menghormati sesama manusia karena manusia adalah tanda terbesar Allah, bahkan manusia adalah cermin paling sempurna yang menampilkan Tuhan. Sebaliknya, orang yang tidak menghargai orang lain; mengancam, meneror, melancarkan kata-kata kasar dan kotor, mengina dan menuduh tanpa klarifikasi dan tabayun, telah kehilangan satu dari dua syarat utama iman: pengetahuan yang benar (objektivitas) dan atau ketulusan hati (subjektivitas).
  • Dalam hadis disebutkan, “Mukmin adalah cermin bagi mukmin yang lain.” Orang yang kehilangan iman akan gagal bercermin di hadapan orang mukmin, apalagi selain mukmin, untuk melihat keagungan dan keindahan Allah SWT.
  • Dalam sebuah hadis disebutkan, “Allah menciptakan Adam atas dasar bentuk-Nya.” Ada bentuk maka ada isi (hakikat); bentuk adalah celah menjangkau isi. Dalam hadis lain, Nabi SAW bersabda, “Barangsiapa melihatku, maka dia melihat Al-Haqq.” Al-Haqq di sini bermakna kebenaran, yakni dia dalam mimpi telah melihat Nabi dengan benar, bukan palsu. Al-Haqq di sini juga bisa berarti Allah dan, tentu saja, melihat tidak dengan mata kepala, tetapi dengan mata hati. Namun hanya hati yang beriman dan tunduk pada Allah itulah yang bisa menyaksikan keagungan dan keindahan-Nya.
  • Allah SWT menamai seluruh mukjizat para nabi dengan ayat ‘tanda’. Demikian pula Dia menyebut semua makhluk juga sebagai ayat. Mukjizat adalah ayat dan tanda, yakni tanda jelas atas hubungan nyata nabi dengan Allah SWT. Semua makhluk dan fenomena juga merupakan ayat dan mukjizat. Namun, terkait khusus dengan mukjizat, karena luar biasa,fokus kita semakin kuat dan tajam menyorotinya sebagai tanda. Tetapi, di mata orang beriman, semua makhluk dan kejadian adalah mukjizat Allah.
  • Mukjizat terbesar dan abadi Nabi SAW adalah Al-Quran. Maka, kitab suci terakhir ini juga tanda terbesar dan abadi. Al-Quran menampilkan Allah SWT atau, dengan kata lain, Allah menampilkan Diri-Nya dalam kitab-Nya. Imam Ali ra. berkata, “Sesungguhnya Allah benar-benar telah menampakkan Diri kepada makhluk-Nya dalam kalam-Nya, hanya mereka itu tidak melihat” (Nahj Al-Balaghah, pidato no. 147). Mata yang tidak melihat adalah mata buta, dan kebutaan yang paling pedih bukan buta mata kepala, tetapi mata hati.[ph]

Share Page

Close