• LAINYA

TAFSIR-QURAN.COM – Keberadaan mufasir di setiap era dan tempat menunjukkan satu dimensi kesegaran dan kebaruan Al-Quran. Para ulama dan pakar mash saja menggali ayat-ayat yang sudah belasan abad ditelaah dan digali maknanya oleh para sarjana Muslim ataupun non-Muslim yang tak terhitung jumlahnya. Jawadi Amuli satu dari jajaran ulama mufasir Islam yang turut meneguhkan kemukjizatan Al-Quran sebagai kitab petunjuk yang senantiasa baru dan inspiratif. Namun juga tidak berlebihan bila dikatakan ia dari segelintir mufasir yang tafsirnya mengalir dari berbagai pengalaman disiplin ilmu.

Sebelum dikenal sebagai mufasir, ia sudah disegani sebagai filosof, teolog, matimatikawan, faqih mujtahid, dan sufi arif. Interdisiplinari studi-studi sang ayatollah inilah yang memperkaya lapisan-lapisan bobot tafsirnya, Al-Nasnim.

Tafsir Nasnim- Jawadi Amuli

Hingga tulisan ini diturunkan, kuliah tafsir masih terus berlanjut di kota ilmu, Qom, Iran. Awal bulan ini, jilid ke-41 berhasil diterbitkan; mengandung tafsir atas ayat 50-111 dari surah Yusuf. 41 jilid yang sudah terbit setebal 500-an halaman. Bila tafsir ini diterbitkan lengkap, diperkirakan akan mencapai lebih dari 100 jilid. Ini artinya, tafsir karya Jawadi Amuli akan menempati posisi teratas dari segi kuantitas, minimalnya, di antara karya-karya tafsir dua abad terakhir. Kini, terjemahan Arab tafsir ini telah mencapai 20 jilid.

Di tanah air namanya sudah tidak asing lagi. Sejumlah karyanya telah diterjemahkan ke dalam Bahasa Indonesia. Bernama lengkap Abdullah Jawadi Thabari Amuli lahir pada tahun 1933, di kota Amul, utara Iran. Ayahnya bernama Mirza Abul Hasan Jawadi, seorang ulama kota Amul yang telah mengabdikan dirinya untuk membimbing masyarakat. Ia banyak mendapat motivasi dari ayahnya untuk mendalami ilmu-ilmu agama meski kondisi dan gerak dakwah para ulama saat itu sangat sulit di bawah tekanan penguasa Reza Pahlevi.

Baca Juga :  Mufasir Perempuan (2): Banu Mujtahidah Isfahani dari Persia

Jawadi Amuli memasuki pendidikan agama yang, dalam tradisi Syiah, dikenal dengan nama Hauzah Ilmiah, segera setelah menyelesaikan sekolah dasar pada tahun 1946, dan pada akhir masa pahit kekuasaan Reza Pahlevi. Seperti para ulama lainnya, ayahnya yakin pendidikan tanpa pembinaan jiwa akan pincang dan cacat. Untuk itu, ayahnya membawanya kepada Ayatullah Gharawi dan Farsiv dua sosok ulama paling terkenal dan zuhud saat itu agar menimba ilmu-ilmu agama dari keduanya.

Jawadi Amuli mulai mempelajari ilmu-ilmu dasar seperti nahwu, sharaf, ma`ani dan ushul fiqih selain di bawah bimbingan ayahnya sendiri juga di bawah bimbingan Hujjatul Islam Isyraqi, I`timadi dan Raja`i. Kitab fiqih terkenal Syarh Al-Lum’ah ia pelajari dengan bimbingan Hujatul Islam Mirza Reza Rouhi dan Thabarsi. Kemudian ia melanjutkan belajar ke kota Masyhad. Namun tidak lama di sana, pada tahun 1951, ia pindah ke kota Teheran. Di kota ini tepatnya di Madrasah Maravi sesuai rekomandasi Syeikh Muhammad Taqi Amuli, Jawadi Amuli  mempelajari tafsir dan hadis. Madrasah Marvi merupakan hauzah terbaik saat itu. Di hauzah ini diajarkan pelajaran-pelajaran tingkat tinggi bahtsul kharij, teologi, ushul fiqih dan logika. Dalam bidang filsafat dan tasawuf (irfan), ia berguru pada Allamah Sya’rani, Ilahi Qumshe’i, Fadhil Tuni dan Muhammad Taqi Amuli.

Pada tahun 1956, atas restu dan dukungan guru-guru mulia itu, Jawadi Amuli pergi ke kota Qom. Di kota tempat makam Sayyidah Fathimah Maksumah yang penuh keberkahan ini, ia mendalami ilmu ushul, fiqih, filsafat, tafsir dan hadis di bawah bimbingan Ayatullah Borujerdi, Muhaqqiq Damad, Allamah Thabathaba’i dan Imam Khomeini. Ia juga pernah berguru kepada Muhaqqiq Damad di bidang fiqih selama kurang lebih tiga belas tahun. Di antara guru-gurunya, ia lebih sering berdiskusi dengan Allamah Thabathaba’i.

Baca Juga :  Mufasir Perempuan (1): Bintu Syathi dari Mesir

Kepiawaian yang menakjubkan dalam menyerap ilmu-ilmu logika, filsafat dan irfan menjadikan Jawadi Amuli muda nampak menonjol di antara murid-murid Allamah Thabathaba’i, sang filosof besar Muslim kontemporer. Selama 25 tahun, Jawadi Amuli muda setia mendampingi dan menimba ilmu darinya hingga sang guru meninggal dunia. Menurutnya, Imam Khomeini memiliki keistimewaan tersendiri dari sekian banyak guru yang berjasa baginya.

Mengenai pelajaran yang disampaikan Imam Khomeini, Ayatullah Jawadi Amuli mengatakan, “Setelah meninggalkan Teheran dan tiba di kota Qom, mata kuliah ushul yang disampaikan Imam Khomeini banyak diminati oleh para pelajar agama. Beliau menyampaikan materi ushul fiqih secara argumentatif layaknya ilmu filsafat. Kata-kata seseorang tentu mewakili pemikirannya. Kata-kata yang argumentatif menunjukkan bahwa pembicaranya adalah orang yang bijak. Dalam mengajar Imam Khomeini memberikan kebebasan kepada murid untuk mandiri, dan beliau sendiri adalah contoh dari seorang manusia yang bebas dan mandiri. Murid tidak hanya kagum kepada ilmu Imam Khomeini saja tetapi juga terkesan dengan kekuatan berpikir, kebebasan, jiwa yang tinggi dan kebijaksanaan beliau.”

Setelah menyelesaikan pendidikannya, Jawadi Amuli memulai aktivitas dengan fokus mengajar dan berdakwah menyebarkan ilmu-ilmu Islam. Ia juga mendirikan lembaga penelitian dan penerbitan Isra` dengan tujuan pengembangan penelitian di berbagai bidang ilmu-ilmu Islam dan menanggapi pertanyaan-pertanyaan serta persoalan-persoalan keIslaman. Setelah kemenangan revolusi Islam Iran pada tahun 1979, Imam Khomaini mengangkatnya sebagai hakim di kota Amul. Selain itu, ia juga diangkat menjadi salah satu anggota Dewan Tinggi Peradilan.

Jawadi Amuli mendapat amanat dari masyarakat Mazandaran mewakili warga di sana di Dewan Ahli Kepemimpinan periode pertama dan kedua. Untuk dakwah Islam, ia melakukan kunjungan ke berbagai negara: Amerika, Italia, Prancis, Inggris, Jerman, Swiss, Austria, Uni Soviet, Suriah dan Lebanon. Perjalanan paling penting di antara semuanya ialah perjalanan ke Moskow pada tahun 1988 dalam rangka menyampaikan pesan Imam Khomaini kepada Mikhail Gorbachev. Pesan tersebut berisi peringatan Imam Khomaini kepada pemimpin blok timur itu bahwa komunisme akan tumbang tak lama lagi. Pada tahun 2000, ia terbang ke New York untuk menyampaikan pesan Pemimpin Besar Revolusi Islam Ayatullah Khamenei dalam forum pertemuan internasional antar-agama.

Baca Juga :  Ibnu Katsir; Mufasir, Muhadis, Begawan Sejarah Islam

Jawadi Amuli banyak mengkritisi karya-karya dan pandangan keilmuan para ulama dan cendekiawan masa lalu maupun masa sekarang. Tulisan-tulisannya sangat halus dan santun, meski dalam posisi mengkritisi pandangan orang lain. Kesopanan dan perangainya yang santun itu dikenal oleh semua orang. Sampai saat ini karya-karya Ayatullah Jawadi Amuli yang sudah terbit tercatat lebih dari 90 judul buku dalam lebih dari 130 jilid. Buku lainnya yang terkenal Rahiq-e Makhtum, syarah kitab filsafat Islam, Al-Hikmah Al-Muta’aliyah, dalam 10 jilid, dan kitab Zan dar Aiyeneh-e Jalal va Jamal.

Jawadi Amuli bukan saja ulama dengan pengetahuan agama yang luas, tapi ia juga seorang arif dan sufi yang punya mata hati. Menurutnya, irfan atau tasawuf tidak mengajak manusia untuk mengucilkan diri dari masyarakat, tetapi justru mengajak manusia untuk terlibat dalam kehidupan sosial dan membimbing orang lain di jalan ini. Untuk menjelaskan masalah ini Ayatullah Jawadi menulis buku berjudul Al-Hamasah wa Al-Irfan (Semangat Berjuang dan Tasawuf). Dalam buku ini ia menjelaskan bahwa irfan dan semangat perjuangan adalah dua hal yang berhubungan sangat erat. Dengan mengangkat peristiwa Asyura dan Imam Husain, keharmonisan dan komplementasi tasawuf dan semangat perjuangan tampil sebagai fakta sejarah dalam dunia Islam.

Share Page

Close