• LAINYA

 [arabic-font]وَ أَمَّا بِنِعْمَةِ رَبِّكَ فَحَدِّثْ[/arabic-font]

 “Dan adapun tentang nikmat Tuhanmu, maka engkau bicarakanlah.”

(QS. Al-Dhuha [93]: 11)

Terjemah Kata

  • أَمَّا        (ammā)    =  adapun
  • نِعْمَة      (ni‘mat)    =  nikmat
  • رَبِّكَ      (rabbika)  =  Tuhanmu
  • حَدِّثْ     (haddits)  =  engkau bicarakanlah

Studi Kebahasaan

  • Haddits seakar dengan kata tahadduts, hadātsah, dan hadīst berarti pembicaraan yang mengandung kesegaran dan kebaruan. Yang menarik dari ayat ini adalah berbicara tentang nikmat dan karunia Allah harus dengan cara yang memikat dan atas dasar cinta sehingga, bagi lawan bicara, terkesan fresh dan menyenangkan, tidak malah membosankan, menyebalkan dan mengulang-ngulang kata.
  • Jelas, kata haddits (bicarakanlah) dalam ayat ini mengandung nilai sastra tinggi. Dengan kata lain, tanpa kejelian dan cita rasa sastra bahasa Arab, kata ini kehilangan nilainya bila diganti dengan kata lain seperti akhbir (beritakanlah).

Hadis

  • Al-Bayhaqi meriwayatkan dari Abu Hurairah bahwa Rasulullah SAW bersabda, “Jika seseorang diberi kebaikan, maka balaslah kebaikan itu. Jika ia tidak mampu [membalasnya], maka sebutlah kebaikan itu, karena orang yang menyebutkannya sungguh ia telah mensyukurinya” (Al-Durr Al-Mantsūr, jld. 15, hlm. 493).
  • Diriwayatkan oleh Imam Ja’far al-Shadiq dari Amirul Mukminin Ali bin Abi Thalib ra., ia berkata, “Temanilah segala kenikmatan dengan sebaik-baiknya sebelum berpisah [darimu], karena ia akan hilang dan akan memberikan kesaksian atas pemiliknya tentang apa yang telah ia perbuat dengannya.” (Al-Shaduq, ‘Ilal Al-Syarā‘i, jld. 4, hlm. 464).
  • Thabrani meriwayatkan dari Abu Aswad Al-Du’ali dan Zadzan Al-Kindi bahwa mereka meminta Ali bn Abi Thalib ra berbicara tentang sahabat-sahabatnya. Ali memenuhinya dan berbicara banyak keutamaan mereka. Lalu Abu Aswad dan Zadzan meminta agar Ali juga berbicara tentang dirinya sendiri. Ali berkata, “Tunggu sebentar! Allah melarang memuji diri sendiri.” Tiba-tiba seseorang menyela, “Tetapi Allah berfirman, “Dan adapun tentang nikmat Tuhanmu, maka engkau bicarakanlah.” Ali membalas, “Aku akan membicarakan nikmat Tuhanku. Dahulu, demi Allah, jika aku berdoa, aku dikabulkan, dan jika aku diam, aku didatangi nikmat” (Al-Durr Al-Mantsūr, jld. 15, hlm. 494).
  • Dalam riwayat lain dari imam Ja’far al-Shadiq dari Amirul Mukminin Ali ra., ia berkata, “Sesungguhnya Allah Mahaindah, cinta keindahan dan cinta melihat pengaruh nikmat yang ada pada hamba-Nya” (Kulaini, Al-Kāfī, jld. 6, hlm. 438).
Baca Juga :  Isyarat Literal Ayat Cahaya: Menggali Wahdatul Wujud dari Terjemah Alquran (6): antara Afirmasi dan Negasi

Tadabur

  • Ayat ini mendorong kita, dengan iman pada Allah SWT, agar berpikir positif; tidak semata-mata melihat dunia dan masalah dalam kehidupan kita dengan pandangan pesimis. Setiap orang memiliki aspek kelebihan dan nilai positif. Menyoroti aspek dan nilai ini, selain menjaga semangat hidup, yakni optimisme, juga menjaga kepercayaan kita pada Allah, Tuhan pemberi segala karunia dan kelebihan. Dengan demikian, kita menjadi sungguh-sungguh menikmati hidup kita, menjalaninya dengan memberi kebaikan atau, setidaknya, tidak merugikan orang lain.
  • Menampakkan kebahagiaan dan keberuntungan sebagai anugerah Allah merupakan bentuk syukur dan penghargaan tersendiri atas nikmat-Nya. Hafez Syirazi berpuisi: “Kudatang ke dunia makmur yang berasal dari Dia // Cintaku pada seluruh alam karna semua alam dari Dia.”
  • Cara bersyukur seperti ini sesungguhnya juga sesuai dengan fitrah manusia. Dialah Allah yang pertama membicarakan Diri Sendiri, mendeskripsikan Diri-Nya Sendiri dengan nama-nama kebesaran dan sifat-sifat kesempurnaan. Dalam sebuah hadis qudsi yang masyhur disebutkan, “Aku khazanah terpendam, tetapi aku ingin dikenal.”
  • Setiap orang yang beruntung juga ingin diketahui keberuntungannya, ingin membicarakan kelebihannya. Islam mengarahkan kecenderungan ini agar tidak kontraproduktif, tidak merusak diri sendiri lalu orang lain, tetapi menjadi energi konstruktif meningkatkan kualitas jiwa, saling menghargai kelebihan masing-masing dan saling mengisi motivasi untuk berkompetisi dalam kebaikan dan ridha Allah SWT.
  • Membicarakan nikmat lahir dan batin, termasuk pengetahuan, status, kepercayaan dan penghormatan orang lain, merupakan bentuk syukur kepada Allah SWT sekaligus pernyataan kesiapan bertanggung jawab menjaganya sebagai amanat Allah.
  • Sebaliknya, membicarakan nikmat dan kelebihan diri sendiri tidak dalam rangka bersyukur dan bertanggung jawab, bukan lagi pengamalan anjuran ayat ini, tetapi justru mengkufuri dan menyia-nyiakan nikmat tersebut. Apa pun pembicaraan diri sendiri dalam bentuk wawancara, liputan media, tulisan, selama didasari motif membanggakan diri, merasa diri lebih sempurna, ingin jadi populer, apalagi memandang orang lain rendah, jelas-jelas berlawanan dengan pesan ayat. Oleh karena itu, memandang positif kehidupan dirinya dan kehidupan orang-orang di sekelilingnya yaitu berkomitmen secara sungguh-sungguh menjalaninya.
  • Maksud perintah Allah SWT kepada manusia agar membicarakan kenikmatan Allah adalah, pertama, semua yang telah diterima oleh manusia dari-Nya adalah kenikmatan, meskipun itu berupa kesulitan. Allah maha penyayang; Dia tidak menghendaki kesulitan menimpa manusia. Maka, setiap masalah dan kesulitan di dunia secara lahiriah dan atau pada mulanya menyusahkan, tetapi di dalamnya terdapat kemudahan dan ketentraman. “Sesungguhnya bersama kesulitan adalah kemudahan” (QS: Al-Insyirah [94], 5-6). Kedua, setiap kenikmatan bersumber dari Allah, “Dan apa pun yang ada pada kalian berupa nikmat adalah dari Allah” (QS: Al-Nahl [16]: 53). Dari dua poin ini dapat dipahami betapa Allah peduli pada manusia; Dia tidak mengabaikannya.
  • Terkadang manusia, karena kelebihannya, berbangga diri dan sombong. Namun, kalau saja dia sadar apa pun nikmat yang diperoleh hanyalah dari Allah, untuk apa dia berbangga diri dan memamerkan kelebihan dan menjualbelikan karunia Allah ke sana sini di berbagai media dan forum untuk kepentingan terbatas di dunia?! Ini tak ubahnya dengan mengobral dan menjual murah karunia dan meremehkan nikmat Allah SWT.
  • Sebaliknya, ayat ini juga mengingatkan kita agar tidak mudah berkeluh kesah kepada orang lain, mampu mengendalikan diri baik dalam keadaan senang ataupun susah. Membicarakan kesenangan dalam batas-batas tertentu sebagaimana di atas tadi. Juga membicarakan kesusahan dibenarkan selama tidak terkesan berkeluh kesah hingga putus atas, mempertanyakan takdir, menyalahkan orang lain, alam atau malah Allah. semua perilaku seperti ini bukan cara yang baik menghibur diri, melepaskan diri dari masalah dan menutupi kekurangan diri sendiri. Berbicara tentang masalah-masalah hidup juga tidak dibenarkan bila terkesan menghinakan diri sendiri dan merusak harga diri dan kewibawaan. “[Yaqub] berkata, ‘Aku mengadukan kesusahan dan kesedihanku hanya kepada Allah, dan aku mengetahui dari Allah apa yang tidak kamu ketahui’” (QS. Yusuf [12]: 86).
  • Orang yang mendahulukan berpikir positif dan aspek-aspek kelebihan di atas hal-hal negatif akan lebih siap, tegar dan tangguh dalam menghadapi masalah dan kesulitan hidup, karena ia sudah membangun dirinya dengan optimisme. Oleh karena itu, Al-Quran melarang kita berputus asa (QS. Al-Zumar [39]: 53). Seorang muslim sudah lebih pantas hidup paling optimis dan mentawakalkan segala hasil usahanya kepada sumber rahmat dan nikmat, Allah SWT.
  • Dalam surah al-Dhuha, Allah SWT mengingatkan Nabi SAW tiga nikmat: pertama, belajar dari pengalaman masa-masa yatimnya untuk tidak menyulitkan anak-anak yatim, kedua, dari keadaan berkecukupan untuk tidak menolak orang-orang yang berkebutuhan, dan ketiga, dari hidayah yang telah Allah anegerahkan kepadanya untuk disiarkan kepada yang lain.
  • Dari kecocokan antar-ayat dapat dipahami setiap nikmat itu dapat dikonfirmasi dengan ayat ini, namun ada penekanan lebih kuat pada menceritakan nikmat spiritual dan petunjuk-Nya. Salah satu pertimbangannya karena menceritakan nikmat petunjuk (hidayah) dan pengalaman spiritual setiap orang dari lisannya sendiri lebih mengena dan berkesan lebih kuat sehingga lebih berpengaruh dalam memotivasi orang lain untuk berbuat baik.
  • Salah satu poin penting pendidikan dan kebudayaan dari ayat ini ialah pentingnya mengkoleksi pengalaman sejarah dan spiritual bangsa, ayyam (hari-hari) dan momen-momen penting yang Allah berikan dalam periode-periode memperjuangkan hak dan kebenaran serta melawan penindasan dan kezaliman.[ms]

Share Page

Close