• LAINYA

Satu dari wujud kasih sayang dalam Islam adalah penguasa yang mencintai rakyatnya. Kecintaan ini tumbuh kuat karena mereka senantiasa berhubungan dengan rakyat. Sebaliknya, rakyat melihat kunci penyelesaian segala masalah ada pada penguasa. Cinta kasih penguasa kepada rakyat, selain menunjukkan tingkat kepuasan rakyat kepada penguasa, juga meningkatkan partisipasi politik rakyat dan berdampak pada meningkatnya legitimasi politik pemerintahan Islam. Ini dengan sendirinya menjadi alat bagi penyelesaian masalah yang dihadapi masyarakat Islam.

Sabda Nabi saw., “Agama itu tidak lain kecuali cinta.”

Ali bin Abi Thalib ra. dalam suratnya kepada Malik al-Asytar, gubernurnya di Mesir, menasihatinya agar mencintai rakyat dan memintanya untuk tidak melakukan diskriminasi terhadap mereka:

“Wahai Malik! Tumbuhkan rasa kasih sayang dalam dirimu kepada rakyat, cintailah mereka dan bersikaplah lemah lembut kepada mereka. Jangan berinteraksi dengan mereka seperti binatang buas, dimana engkau senantiasa menanti kesempatan untuk memakan mereka. Karena rakyat itu terbagi dua; yang pertama adalah saudaramu seagama dan yang lainnya adalah manusia sama sepertimu.”

Ungkapan seperti ini dapat ditemukan banyak dalam perilaku pemuka-pemuka sejati agama. Dinukil bagaimana Nabi Muhammad saw. mengunjungi orang sakit dari kalangan minoritas dan menyayangi mereka.

Sikap Nabi saw yang penyayang menjadi teladan bagi penguasa muslim di setiap masa. Akhlaknya yang mulia membuat masyarakat begitu mencintainya sehingga segala bentuk perintahnya dengan mudah diikuti rakyat. Karena, sebelum menjadi penguasa pemerintahan Islam, Nabi saw. adalah penguasa hati rakyat. Inilah yang membuat beliau sukses memimpin pemerintahan Islam.

Sekaitan dengan Tsauban, budak yang dimerdekakan Nabi saw. diriwayatkan betapa ia begitu mencintai Nabi saw. Suatu hari, ia menemui Nabi saw. dalam kondisi badan yang kurus dan wajah yang pucat. Nabi saw. berkata, “Wahai Tsauban! Mengapa wajahmu tampak pucat?”

Baca Juga :  Kematian dan Mendesain Masa Depan (1): Kematian, Identitas Manusia

Tsauban menjawab, “Wahai Nabi! Saya tidak sakit. Tapi setiap kali saya tidak melihatmu, badanku bergetar ingin menatapmu. Ketika saya mengingat akhirat, saya begitu khawatir tidak melihatmu di sana. Karena saya tahu engkau memiliki posisi yang tinggi bersama para nabi yang lain. Bila saya dibawa ke surga, mereka akan meletakkanku di tempat yang lebih rendah dan tidak dapat melihatmu. Sementara bila saya tidak masuk ke surga, maka saya tidak akan pernah melihatmu.”

Setelah itu QS. al-Nisa [4]: 69 diturunkan kepada Nabi saw., “Dan barangsiapa yang menaati Allah dan Rasul(Nya), mereka itu akan bersama-sama dengan orang-orang yang dianugerahi nikmat oleh Allah, yaitu: Nabi-nabi, para shiddiiqiin, orang-orang yang mati syahid, dan orang-orang saleh. Dan mereka itulah teman yang sebaik-baiknya.

Dengan mencermati semua ini, para penguasa Islam berkewajiban untuk menunjukkan kasih sayang dan cintanya kepada seluruh kalangan masyarakat. Dengan cara ini atmosfer cinta menyebar di tengah masyarakat dan berubah menjadi budaya masyarakat. Begitu juga penguasa Islam tidak boleh berlaku diskriminatif antara Muslim dan minoritas. Karena Allah swt. memuliakan minoritas dan mewajibkan umat Islam untuk berlaku adil dan menyayangi mereka.

Allah tidak melarang kamu untuk berbuat baik dan berlaku adil terhadap orang-orang yang tiada memerangimu karena agama dan tidak (pula) mengusir kamu dari negerimu. Sesungguhnya Allah menyukai orang-orang yang berlaku adil.” (QS. al-Mumtahanah: 8).

Contoh lain dalam perilaku para pemuka diriwayatkan bahwa di masa pemerintahannya, suatu hari Imam Ali ra. bersama seorang kafir dzimmi. Orang itu bertanya kepada Imam Ali as, “Anda hendak bepergian ke mana?”

Beliau menjawab, “Saya hendak menuju Kufah.”

Baca Juga :  Fakta Saintis Alquran: jangankan Manusia, Binatang saja sudah Bisa Membodohi

Ia ikut bersama Imam Ali as dan sampai ke suatu tempat, dimana mereka harus berpisah. Masing-masing mengambil jalannya sendiri-sendiri. Tapi Imam Ali ra. tidak beranjak menuju Kufah, tapi bergerak menuju orang kafir itu. Orang itu bertanya, “Bukankah engkau hendak menuju ke Kufah?”

Imam Ali menjawab, “Benar.”

Orang itu berkata, “Berarti engkau salah memilih jalan!”

Imam Ali menjawab, “Saya tahu.”

Kafir dzimmi itu berkata, “Lalu mengapa engkau bersamaku, sekalipun mengetahuinya?”

Imam Ali menjawab, “Termasuk hak pertemanan dan kebersamaan adalah menemani temannya ketika hendak berpisah. Demikian kami diajari oleh nabi kami.”

Peristiwa ini menunjukkan puncak kasih sayang yang ditunjukkan seorang penguasa Islam kepada penganut agama lain dan mampu menjelaskan dengan sempurna kenyataan agama Islam terkait persahabatan dengan Ahlul Kitab dan bangsa lain.

Share Page

Close