• LAINYA

FILSAFAT-POLITIK–Sekali lagi, Hamid Algar, professor Inggris-Amerika (lahir 1940), mengingatkan siapa saja yang suka apalagi gampang terlibat dalam soal agama dan perbandingannya dengan isu-isu kemanusiaan seperti: politik, sains, rasionalitas, agar sejak awal memastikan secara tegas dan berani: apa yang Anda maksudkan dari agama.

Yakni, agama mana yang sedang Anda bicarakan dari sekian agama yang ada. Berhenti di kata “agama” tanpa sempat mengidentifikasi amat rentan jadi pelaku sekaligus korban gebyah uyah (generalisasi), selain tentu saja menyimpan klaim besar, “aku bicara di sini sebagai representatif dari semua agama”.

Komitmen intelektual identifikasi ini juga terbina dalam kepribadian ilmiah Marcel Gauchet sepanjang karir nyaris setengah abad berfilsafat politik-agama. Lahir 1946, Guachet dikenal sebagai sejarawan, filosof, dan sosiolog asal Prancis. Dia profesor emeritus dari Centre de Recherches Politiques Raymond Aron di École des Hautes Études en Sciences Sociales dan kepala periodikal Le Débat.

Gauchet adalah salah satu intelektual kontemporer Prancis paling terkemuka. Dia telah menulis secara luas tentang masalah-masalah seperti: konsekuensi politik individualisme modern, hubungan antara agama-agama Ibrahimik (terutama Kristen) dan demokrasi, dan dilema globalisasi.

Dua dari buku Gauchet telah diterjemahkan ke dalam bahasa Inggris, termasuk The Disenchantment of the World: A Political History of Religion. Tiga tahun lalu (2018), ia dianugerahi European Essay Prize, Charles Veillon Foundation.

Namanya begitu identik dengan wacana “Undur-Diri Agama”. Namun belakangan dia mengomentari Islam dan menyatakan bahwa tidak cukup alasan untuk memastikan adanya kontradiksi antara Islam dan demokrasi.

TIDAK ADA INKONSISTENSI PRINSIP-PRINSIP TEOLOGIS ISLAM DAN DEMOKRASI. TERBUKA KEMUNGKINAN MERUMUSKAN, DENGAN MUDAH DAN MENDALAM, PANDANGAN MENGENAI DEMOKRASI ISLAM. 

Bagaimana Gauchet mencapai kesimpulan itu, berikut ini sajian singkat tanpa banyak menyoroti posisinya mengenai hubungan antara agama samawi dan politik dalam sains modern.

 

AGAMA SUDAH UNDUR-DIRI DARI DUNIA

Dikenal sebagai salah satu teorisian ide “The Religion of The End of Religion”, Gauchet terkenal karena tesisnya, “Menceraikan Sihir dari Dunia”, dalam karya besarnya, L’avènement de la démocratie. Di sana dia menggasibawahi otoritas institusional agama dalam masyarakat manusia dan cara Barat meloloskan diri dari agama.

Baca Juga :  Siapa Orang Pertama Penghapal Alquran?

Judul buku ini sendiri aslinya berasal dari kata-kata seroang penyair Jerman, Schiller, yang dipopulerkan oleh Max Weber sebagai konsep analitis modernitas dan keterbukaan Barat.

Di dalamnya, Gauchet menegaskan bahwa era sekarang ini adalah era eksodus dari agama. Dia kemudian mengembangkan tesis ini dengan tetap mempertahankan esensinya.

Gaucher berbicara terutama mengenai hubungan agama dan politik dalam sejarah Eropa, dan secara khusus dia menyebut Kristen sebagai “agama pelepasan dari agama” (the religion of the end of religion).

“Pengunduran-diri” agama tidak berarti agama sudah meninggalkan kehidupan manusia sebagai praktik individu, tetapi meninggalkan dunia yang di dalamnya agama berperan sebagai kerangka manajemen sosial dan pemandu sistem politik masyarakat.

Gaucher memperluas tesisnya tentang gerakan “Menceraikan Sihir dari Dunia” dalam karya 4 jilid, L’avènement de la démocratie (Bangkitnya Demokrasi). Jilid pertama terbit tahun 2007, sementara jilid keempat baru terpublikasikan tahun 2017.

Buku ini berambisi mempelajari kerasnya gerakan demokrasi ini dan perkembangannya dewasa ini tatkala diproyeksikan dalam rangka pengerahan segenap potensi diri manusia; “kemampuan manusia untuk mengukur dirinya sendiri tanpa merujuk agama”.

Namun, secara paradoks, kemerosotan agama bagi Gauchet tidak berarti kemajuan sekularisme. Dalam argumennya, , “sejalan dengan peminggiran gereja-gereja, sekularisme pada gilirannya menjadi entitas tanpa roh”.

 

YAHUDI-KRISTEN DAN NEGARA

Gauchet menyatakan bahwa pengalaman Yahudi dan kareakter Kristen itu sendiri telah memfasilitasi pengunduran-diri dua agama ini dari politik di masyarakat-masyarakat modern Eropa Barat. Mengapa? Karena Yahudi bekerja untuk mendefinisikan kembali dirinya sebagai agama bagi bangsa diaspora, dan dampaknya adalah fokus Yahudi pada perlindungan identitas hingga keterputusannya dari politik.

Sementara Kristen sendiri dalam konsepsi ketuhanannya justru mendorong penarikan dirinya dari politik. Gaucher menulis La Religion dans la démocratie (Agama dalam Demokrasi) pada 1998 dan, seperti dikatakan Muhammad al-Sheikh, mengungkapkan berbagai revisi dan paradoks; tujuannya adalah meninjau ulang sekian banyak opini yang terlanjur diterima umum sebagai kebenaran mengenai hubungan agama, negara dan demokrasi di Barat pada umumnya dan Prancis secara khusus.

Baca Juga :  Ibnu Maytsam, Bapak Optik Modern dari Mengaku Gila sampai Jadi Nama Asteroid

Itulah mengapa Gauchet bertolak dari wacana “Keluar dari Agama” untuk menggambarkan hubungan agama dengan negara dan arah perjalanan modernitas. Wacana ini dikembangkan sebagai alternatif pesaing wacana sekularisme yang, pada hematnya, menyimpan banyak simpang-siur yang membingungkan.

Gauchet begitu yakin bahwa hubungan antara kekuasaan agama dan kekuasaan manusia sekuler di Eropa Modern tidak sepenuhnya terputus, justru “lebih dekat ke hati”, yakni transformasi unsur keagamaan lama ke unsur selain agama atau, dengan kata lain, kebangkitan roh agama dengan wajah keduniaan, atau peleburan ketuhanan dalam kemanusiaan.

Meski ada celah metafisik yang memisahkan agama dari negara, tetapi juga ada realitas yang menyatukan dua kekuatan ini sampai-sampai dinamika sejarah sistem demokrasi tidak dapat dipahami kecauli bertolak dari realitas tersebut.

 

KEUNIKAN ISLAM: MONOTEISME, KEUMATAN, EGALITARIANISME

Sejak awal, studi Gauchet berfokus pada dua agama: Yahudi dan Kristen atau, secara lebih khusus, pada agama Kristen. Namun, dalam karya-karyanya selanjutnya dia mulai mengembangkan sekup studinya hingga menjangkau Islam sebagai bagian dari agama Abrahamik, selain juga dipicu oleh fenomena meningkatnya ekstremisme yang disangkut-pautkan dengan Islam.

Sejauh telaah mendalam Gauchet, Islam unik karena tiga fakta:

Pertama, ia muncul setelah dua agama monoteistik itu dan fakta ini meneguhkan eksistensinya dengan identitas unik sebagai penutup kenabian. Dalam kata-kata Gauchet, “Islam adalah sistem dan fasilitas penunjang apa yang telah sebelumnya dibangun dalam Yahudi dan Kristen.”

Kedua, konsolidasi kekuatan Islam dengan penaklukan. Kekuatan ini telah menciptakan imperium dengan kecenderungan universal sebagai perwujudan keesaan Tuhan yang diterjemahkan ke dalam kesatuan umat Islam. Fakta dan keunikan ini memainkan peran utama dalam cara Islam memahamkan gerakan Kebenaran Ilahi.

Ketiga, realitas wahyu dalam Islam. Wahyu merupakan kata-kata Tuhan yang bersifat langsung dan abadi. Karena itu, tidak ada gagasan “perantara” dalam Islam. Gauchet mengatakan, “Islam menyamakan semua orang dalam mengakses wahyu, sehingga setiap orang beriman memiliki hak untuk menghadap langsung kepada Tuhan.”

Tiga ciri dasar Islam itu membuatnya menjadi suatu keunikan hingga berbeda dari Yahudi dan Kristen dengan segenap kejelasan dan rasionalitasnya. Pada hemat Gauchet, “Jika ada agama yang menerapkan doktrin Rasionalisasi Weberian, maka agama itu adalah Islam. Islam tidak lain adalah rasionalisasi gagasan Tauhid dalam dua agama sebelumnya. Rasionalisasi yang sama ini juga sesuai dengan kondisi-kondisi wahyu dan kaidah-kaidah takwil Alquran.

Baca Juga :  Sejarah Negeri Palestina dan Israel dalam Alquran

 

ISLAM DAN DEMOKRASI

Berpijak dari keyakinan Gauchet bahwa keluarnya agama dari kehidupan publik dan politik merupakan syarat pembentukan negara modern dan pencapaian demokrasi, dia juga memandang Islam dengan sangat positif dan optimis. Untuk lebih jelasnya, perlu kiranya menempatkan pandangan Gauchet ini dalam pemikiran Barat kontemporer.

ISTINTHAQ: BERBINCANG DENGAN TEKS SUCI TUHAN SECARA DIALEKTIS MELALUI MASALAH DAN DINAMIKA PERADABAN, SECARA INTERDISIPLINER MELALUI TRANSFORMASI ILMU PENGEAHUANis Gauchet tadi telah merebut posisi istimewa dalam perdebatan sengit tentang relasi Islam dengan politik dan demokrasi. Dalam isu ini, pemikiran Barat kontemporer terbagi secara umum menjadi dua arus utama.

Pertama, arus negatif yang mendesakkan bahwa esensi Islam itu sendiri sudah anti-demokrasi karena satu dari dua alasan berikut:

  • Karena ketuhanan dan politik dua wajah yang identik satu-sama lain dalam Islam, sehingga fakta ini menghambat transisi ke negara modern sebagai syarat demokrasi. Maka, fakta ini tentu saja membuat Islam cacat
  • Karena visi politik Islam itu begitu ideal dan berlandaskan akhlak sehingga tidak tunduk di bawah kondisi negara modern yang bertentangan dengan nilai-nilai moral. Dan fakta ini membuat negara modern cacat.

Kedua, arus positif yang memandang Islam berpotensi jadi sistem demokratis dengan dua cara:

  • Islam menempuh jalan yang sudah dilalui Yahudi dan Kristen di Barat sehingga ia juga tunduk pada kondisi-kondisi historis yang sama dengan yang telah dialami oleh dua pendahulunya.
  • Esensi teologis Islam itu sendiri sudah cukup menjadikannya demokratis jika kita melampaui hal-hal formal dan pengalaman sejarah serta berfokus pada fakta-fakta esensial Islam. Arus positif inilah inti dari gagasan Gauchet tentang relasi Islam dan Demokrasi.

Pendirian Gaucher tentang demokrasi Islam diringkas dalam testimoninya, “Saya tidak melihat adanya inkonsistensi prinsip-prinsip teologis antara Islam dan demokrasi. Menurut saya, terbuka kemungkinan merumuskan, dengan mudah dan mendalam, suatu pandangan mengenai demokrasi Islam.”[SIDINA-SIDATI]

Share Page

Close