• LAINYA

TAFSIR-QURAN.COM–Sudah didaftar puluhan ayat yang diklaim kalangan Sekuler. Ayat-ayat itu juga sudah diklasifikasi ke dalam 13 argumen (klik di sini!). Argumen pertama kalangan Sekuler adalah ayat-ayat yang menekankan fokus pada Tuhan dan akhirat sebagai tujuan diutusnya nabi dan falsafah keberadaan syariat Islam.

Dalam pandangan Sekuler, ada ayat-ayat yang menyinggung tugas dan tujuan keberadaan nabi hanya sebagai penyampai wahyu dan urusan-urusan ukhrawi. Ayat-ayat ini sama sekali tidak menyinggung tugas nabi untuk menghadapi ketidakadilan rezim penguasa ataupun mendirikan pemerintahan agama dan mengelola kekuasaan. Berikut ini ayat-ayat yang dimaksud:

“Tiada (tugas apa pun) atas para rasul kecuali menyampaikan (risalah)” (QS. Al-Ma’idah [5]: 99).

“Tugasmu tak lain kecuali menyampaikan (risalah)” (QS. Al-Syura [42]: 48).

“Apakah ada tugas bagi para rasul selain menyampaikan (risalah) dengan jelas?” (QS. Al-Nahl [16]: 35).

“Tak ada tugas bagi kami kecuali menyampaikan (risalah) dengan jelas” (QS. Yasin [36]: 17).

“Telah Kami utus para rasul dengan membawa tanda-tanda, dan Kami turunkan bersama mereka kitab dan neraca, supaya manusia menegakkan keadilan” (QS. Al-Hadid [57]: 25).

“Dialah yang telah mengutus kepada kaum buta huruf seorang rasul di antara mereka, yang membacakan ayat-ayat-Nya kepada mereka, mensucikan mereka, dan mengajarkan kitab serta hikmah kepada mereka” (QS. Al-Jumu’ah [62]: 2).

“Wahai Nabi, Kami mengutusmu sebagai saksi, pembawa berita gembira, pemberi peringatan, dan penyeru (manusia) kepada Allah dengan ijin-Nya” (QS. Al-Ahzab [33]: 45).

“Aku tidak menciptakan jin dan manusia kecuali untuk menyembah-Ku” (QS. Al-Dzariyat [51]: 56).

Baca juga: Tafsir Sekularisme (1): Ayat-Ayat Yang Diklaim Mendukung Sekularisme
Baca juga: Penguasa Dan Seni Menaklukkan Rakyat
Baca juga: Tafsir Psikologis Pembangunan Dan Perjuangan Umat

Ali Abdulraziq, nama yang kerap jadi referensi kalangan Sekuler, mengatakan, “Secara lahiriah, ayat-ayat Alquran mendukung pendapat bahwa Nabi tidak berurusan dengan kekuasaan politik. Banyak ayat yang menegaskan bahwa tugas samawi beliau tak lebih dari dakwah; amanat yang tidak mengandung makna kekuasaan, sama sekali.” Dalam menjawab kritik para pemikir Al-Azhar, Mesir, ia mengatakan, “Syariat hanya diturunkan untuk menjamin kebahagiaan manusia, bukan untuk melindungi kepentingan dan tujuan duniawi.”

Mehdi Hairi Yazdi menuliskan, “Ada ayat-ayat lain dalam Alquran yang membatasi tugas nabi hanya pada dakwah, menyampaikan perintah dan larangan Allah.”

Jadi, pengutusan para rasul hanya untuk menerangkan keadilan, yakni menyampaikan pesan keadilan, tidak menegakkan keadilan. Pemerintahan atau manajemen sosial-politik tidak tercakup dalam pesan Alquran. Karena itu, pemerintahan tidak termasuk bagian dari agenda para utusan Allah. Menurut Alquran, tujuan penciptaan manusia adalah penyembahan kepada Allah, bukan mendirikan pemerintahan agama.

Baca juga: Tafsir Jihad Dan Perang (1): Surah Perang (Al-Qitāl)
Baca juga: QS. Qaf [50]: Ayat 18; Diam Atau Berkata Baik

Tinjauan Kritis
Sebelum meninjau ayat-ayat di atas yang diklaim kalangan Sekuler, perlu digarisbawahi dua hal ini: pertama, ayat-ayat itu tidak secara langsung dan eksplisit menyatakan klaim mereka. Kedua, yang dimaksud dengan agama dalam isu pemisahan agama dari politik atau pemerintahan di sini yaitu agama Islam. Ini perlu ditekankan agar tidak menggeneralisasi kesimpulan pada semua agama, karena setiap agama punya perbedaan substansial.

Berikut adalah beberapa sanggahan atas argumen pertama Sekuler:

Pertama: Pluralisme dan Tujuan Kenabian
Umumnya, kalangan Sekuler juga mendukung Pluralisme Agama; mereka tidak mengakui eksklusivitas kebenaran pada agama tertentu. Uniknya, mereka malah menjadi benar-benar eksklusif dalam menafsirkan tujuan dari kenabian Islam. Mereka berpendapat bahwa satu-satunya falsafah kenabian hanyalah fokus pada Tuhan dan akhirat. Sekularisme seolah-olah melupakan semangatnya sendiri berdemokrasi dan cenderung memonopoli hak pemerintahan di bumi hanya pada dirinya sendiri.

Akan halnya dalam Alquran, para nabi mengemban misi wahyu mereka dan berusaha berdakwah seefektif mungkin mencapai beragam tujuan atau, sebut saja, Pluralisme Tujuan.

Kedua: antara menyampaikan pesan atau mengubah iman
Kehendak Allah ialah menyempurnakan hidup manusia di dunia dan di akhirat dengan cara: mengutus nabi beserta wahyu dan agama. Sebagai ‘petugas’ Allah, tugas nabi ialah menyampaikan wahyu dan agama Allah. Sama seperti kehendak Allah, nabi juga ingin menyempurnakan manusia dan mengimankan semua orang. Keinginan besar nabi ini kerap membuat nabi sedih, gelisah dan kecewa saking sayangnya kepada mereka yang ingkar terhadapnya. Maka, Allah mengingatkan nabi agar tidak kecewa dan gelisah karena dakwahnya direspon negatif oleh orang-orang, karena keberimanan seseorang adalah urusan hati dan tidak bisa dipaksakan, “Tidak ada pemaksaan dalam agama.”

Ayat-ayat yang membatasi tugas nabi hanya menyampaikan risalah Langit sampai didengar dan dipahami orang, adapun sampai diimani dan diyakini hati orang itu bukan tugas nabi, tapi tanggung jawab masing-masing orang. Sebesar apa pun keinginan nabi membuat orang beriman tidaklah akan bisa melakukannya, “Sesungguhnya engkau tidak memberi petunjuk siapa yang engkau cintai, akan tetapi Allah memberi petunjuk orang yang Dia kehendaki” (QS. Al-Qashash [28]: 56).

Jadi ayat-ayat di atas memang membatasi tugas nabi: yaitu hanya penyampai wahyu, bukan pemaksa hati orang lain sampai memastikan hatinya juga beriman dan menerima wahyunya. Sampai di sini, Alquran sejalan dengan salah satu nilai Sekuler, yaitu kebebasan dan tidak ada pemaksanaan dalam beriman. Namun, apabila seseorang sudah beriman, maka ia harus komit dan konsekuen dengan imannya, yaitu patuh dikelola dengan hukum-hukum wahyu dan Islam. Di sinilah tugas lain nabi tampak sebagai pemimpin umat, penegak hukum Allah dan keadilannya di tengah masyarakat Islam.

“Maka demi Tuhanmu, mereka tidak beriman hingga mereka menjadikan engkau hakim atas apa yang mereka perselisihkan, kemudian mereka tidak merasa dalam hati mereka sesuatu keberatan terhadap apa yang engkau putuskan dan mereka pasrah sepenuh-penuhnya” (QS. Al-Nisa’ [4]: 65).

Menyembah Allah dan konsentrasi pada akhirat tidak bertentangan dan justru sejurus dengan menegakkan pemerintahan adil dan bersih. Seperti dalam hadis, “Dunia adalah ladang akhirat”, memakmurkan dunia dengan pemerintahan yang adil juga menjadi fokus Islam, diawali dengan sabda Nabi, “Jihad termulia ialah mengatakan kebenaran/keadilan terhadap pemerintah zalim”.

Kedua: Salah satu Tujuan, bukan Satu-satunya Tujuan
Benar bahwa akhirat dan kebahagiaan spiritual manusia adalah tujuan utama dari tugas kenabian. Tetapi, ini bukan tujuan tunggal. Selain tujuan ini, para nabi menempatkan penegakan keadilan, kebebasan, pemerintahan, dan perdamaian sebagai bagian dari agenda utama mereka. Agenda ini dibuat lantaran wahyu Allah telah menjadikannya bagian dari misi dan tugas mereka yaitu:

Baca Juga :  Radikalisme Positif dalam Beragama: Menjadi Tuhan itu Kewajiban juga Cita-cita

A. Keadilan sosial.
B. Kebebasan politik.
C. Penuntasan konflik antarwarga, termasuk antara warga dan rezim penguasa.

Berikut ini ayat-ayat terkait dengan tiga agenda di atas:

A. Keadilan Sosial
Sebagian ayat Alquran menekankan penyampaian hukum sosial dan duniawi sebagai salah satu dan bukan satu-satunya tujuan diutusnya nabi. Tidak berhenti di situ; Alquran selanjutnya menyatakan bahwa pelaksanaan hukum-hukum ini akan mewujudkan keadilan.

“Telah Kami utus para rasul dengan membawa tanda-tanda, dan Kami turunkan bersama mereka kitab dan neraca supaya manusia menegakkan keadilan. Dan Kami turunkan pula besi yang mengandung bahaya dan manfaat bagi manusia” (QS. Al-Hadid [57]: 25).

Ayat ini tidak berbicara tentang hidayah dan diturunkannya cahaya, tetapi menyinggung sebagian undang-undang keduniaan yang, bila dilaksanakan, akan menciptakan keadilan di tengah masyarakat. Undang-undang yang diperuntukkan bagi manusia ini dibawa para nabi sebagai bagian dari risalah mereka. Ini artinya Islam juga mementingkan aspek duniawi kehidupan manusia.

Penjelasannya, kata “kitab” dalam ayat ini tidak hanya berkaitan dengan hukum personal dan peribadahan saja, tetapi juga mencakup hukum sosial-politik. Sebab, di akhir ayat disebutkan bahwa penegakan keadilan oleh manusia dinyatakan sebagai tujuan diturunkannya “kitab”. Antara dua hal ini (penegakan keadian dan tujuan penurunan kitab) terdapat kaitan yang amat erat. Andai “kitab” tidak mengandung hukum duniawi dan hanya hukum ukhrawi, maka kaitan ini makan jadi hilang.

Selain itu, penyebutan “besi” (simbol kekuatan penjera dan peradilan) dalam ayat tersebut adalah bukti lain bahwa “kitab” mengandung pengelolaan sosial dan hukum bagi oknum pelanggar. Sebab, ancaman dengan pedang menunjukkan bahwa hukuman akan dijatuhkan di dunia, sebagaimana halnya manfaat dari pedang diperoleh juga di dunia ini.

Kesimpulannya, ayat di atas setidaknya menegaskan bahwa pengaturan urusan duniawi manusia termasuk dalam agenda kenabian; para nabi tidak diutus hanya untuk memberi pesan moral dan ukhrawi. Banyak ayat yang memerintahkan Nabi SAW dan Muslimin agar bertindak adil dalam masalah-masalah sosial.

“Jika kalian memutuskan (suatu urusan) di tengah manusia, maka berilah keputusan yang adil” (QS. Al-Nisa’ [4]: 58).

“Jika kau memutuskan (suatu urusan), berilah keputusan yang adil di antara mereka” (QS. Al-Ma’idah [5]: 42).

“Dan sempurnakanlah takaran dan timbangan dengan adil” (QS. Al-An‘am [6]: 152).

“Hai kaumku, cukupkanlah takaran dan timbangan dengan adil” (QS. Hud [11]: 85).

Dua ayat pertama (yang berkaitan dengan masalah peradilan) dan dua ayat terakhir (yang berhubungan dengan masalah ekonomi), menghimbau Nabi SAW dan umat Islam agar menegakkan keadilan. Ayat di bawah ini menegaskan kaitan antara posisi kenabian dan penegakan keadilan di tengah masyarakat.

“Setiap umat memiliki rasul. Maka, bila rasul mereka telah datang, dia akan menghakimi dengan adil dan tidak menzalimi mereka” (QS. Yunus [10]: 47).

Ayat ini secara jelas menerangkan hubungan tak terpisahkan antara pengutusan setiap nabi kepada suatu umat dan penegakan keadilan di tengah mereka.

Baca juga: QS. Al-Dhaha [93]: Ayat 7; Nabi Sesat (1): Antara Tidak Tahu, Bingung Dan Lengah
Baca juga: QS. Al-Nur [24]: Ayat 35; Wahdatul Wujud (2): Makhluk Itu Ada Atau Tidak?
Baca juga: QS. Al-Nur [24]: Ayat 35: Wahdatul Wujud (1); Kafir Atau Tidak?

B. Kebebasan Politik
Dalam sepanjang sejarah, kalangan minoritas yang berkuasa kerap mengeksploitasi mayoritas masyarakat dan menganggap dirinya sebagai yang punya otoritas berkuasa atas jiwa dan harta mereka. Tak jarang para pemikir dan filosof ternama mendukung praktik politik ini dengan perlengkapan berbagai teori filsafat politik. Namun, para nabi berjuang melawan penguasa zalim pada masa mereka dan menuntut agar menghormati hak dan kebebasan rakyat serta menghentikan penindasan. Berikut ini beberapa contoh dari perjuangan mereka.

Alquran menegaskan bahwa Allah telah mengutus nabi kepada setiap umat dengan tujuan: mengajak mereka menyembah-Nya dan menentang taghut, yaitu penguasa zalim dan rezim penindas:

“Dan Kami telah utus rasul kepada setiap umat (untuk mengatakan), ‘Sembahlah Allah dan jauhilah taghut’” (QS. Al-Nahl [16]: 36).

Baca juga: QS. Al Imran [3]: Ayat 169; Jihad Dan Syahid, Dua Ajaran Unik Dan Istimewa
Baca juga: Imam Jalaluddin Al-Suyuthi; Mufasir Konsisten Di Atas Penguasa

Nabi SAW mendorong umat Islam untuk membebaskan manusia dari cengkeraman rezim zalim, meski harus menempuh jalur peperangan. Nabi mencela sikap pasif, diam, dan acuh tak acuh terhadap kezaliman dan ketidakadilan penguasa:

“Mengapa kalian tidak mau berperang di jalan Allah dan (membela) orang-orang yang lemah baik laki-laki, wanita-wanita maupun anak-anak yang semuanya berdoa, ‘Ya Tuhan kami, keluarkanlah kami dari negeri ini (Mekkah) yang zalim penduduknya’” (QS. Al-Nisa’ [4]: 75).

Alquran mengabarkan banyaknya nabi yang dibunuh oleh penentang mereka:

“Dan mereka membunuhi para nabi secara zalim” (QS. Al-Baqarah [2]: 61; Al-Nisa’ [4]: 155).

Ayat lain memberitakan pertikaian pengikut para nabi dengan musuh-musuh mereka. Permohonan mereka dari Allah adalah keteguhan langkah dan kemenangan atas kaum kafir:

“Dan berapa banyak nabi yang berperang bersama-sama sejumlah besar dari pengikut(nya) yang bertakwa. Mereka tidak menjadi lemah karena bencana yang menimpa mereka di jalan Allah, dan tidak lesu dan tidak (pula) menyerah (kepada musuh). Allah menyukai orang-orang yang sabar. Tidak ada doa mereka selain ucapan, ‘Ya Tuhan kami, ampunilah dosa-dosa kami dan tindakan-tindakan kami yang berlebih-lebihan dalam urusan kami, dan tetapkanlah pendirian kami, dan tolonglah kami terhadap kaum yang kafir’” (QS. Al Imran [3]: 146-147).

Baca Juga :  Tadabur: QS. Al-Rum [30]: ayat 41 (Bagian Kedua)

Jelas, nabi-nabi itu dibunuh oleh para penguasa zalim semasa atau atas persetujuan mereka. Ini menunjukkan bahwa para nabi seperti: Musa, Isa, Harun, Yahya, selalu berjuang menentang penguasa zalim.

Nabi Musa
Firaun menindas rakyatnya, terutama Bani Israil. Untuk membebaskan diri dari kezalimannya, mereka mencari figur seorang pemimpin. Allah lalu menugaskan Nabi Musa as untuk mengemban amanat dan tanggung jawab ini. Beberapa ayat Alquran menegaskan perintah Allah kepada beliau dan Nabi Harun as seraya menyebutkan bahwa perintah turun ini karena kezaliman Firaun:

“Pergilah menemui Firaun, sesungguhnya ia telah berbuat sewenang-wenang” (QS. Al-Nazi‘at [79]: 17).

Ayat lain menjelaskan lebih detail ihwal kesewenang-wenangan Firaun:

“Sesungguhnya Firaun telah berbuat sewenang-wenang di muka bumi dan menjadikan penduduknya terpecah belah, dengan menindas segolongan dari mereka, menyembelih anak laki-laki mereka dan membiarkan hidup anak-anak perempuan mereka. Sesungguhnya Firaun termasuk orang-orang yang berbuat kerusakan” (QS. Al-Qashash [28]: 4).

Nabi Musa as yang bertekad membebaskan Bani Israil dari kezaliman Firaun, memerintahkan mereka untuk bersabar dan membangkitkan optimisme mereka akan terwujudnya pemerintahan yang adil. Beliau berdalil bahwa bumi dan kekuasaan adalah milik Allah yang akan dikaruniakan kepada siapapun yang Dia Kehendaki:

“Musa berkata kepada kaumnya, mintalah tolong kepada Allah dan bersabarlah. Sesungguhnya bumi ini adalah milik Allah dan Dia akan mewariskannya kepada hamba-hamba-Nya, dan akhir yang baik diperun-tukkan bagi orang-orang bertakwa” (QS. Al-A‘raf [7]: 128).

Nabi Musa as secara terbuka meminta Firaun untuk menyerahkan Bani Israil kepadanya dan berhenti menindas mereka:

“Utuslah Bani Israil bersama kami dan jangan siksa mereka” (QS. Thaha [20]: 47).

Baca juga: QS. Al-Baqarah [2]: Ayat 42; Cara Membuat Hoax
Baca juga: QS. Al Imran [3]: Ayat 169; Jihad Dan Syahid, Dua Ajaran Unik Dan Istimewa

Nabi Muhammad SAW
Pada masa beliau, tak ada pemerintahan yang berkuasa di Semenanjung Arab. Sebagian besar kekuasaan diatur atas dasar kekabilahan dan kesukuan. Kaum bangsawan dan hartawan mengeksploitasi kalangan bawah atau memaksa kaum budak melakukan kerja rodi.

Nabi SAW mengumumkan kenabiannya di tengah masyarakat demikian dan mendapat sambutan hangat dari kalangan tertindas hingga menimbulkan kekuatiran kaum bangsawan Mekkah. Mula-mula, para pemuka Quraisy berupaya membujuk Nabi SAW untuk berkompromi dan meninggalkan dakwahnya. Ketika usaha ini gagal, mereka merancang pembunuhan beliau yang lagi-lagi gagal karena ia mengetahuinya berkat wahyu Allah (lihat QS. Al-Anfal [8]: 30). Akhirnya beliau terpaksa hijrah ke Madinah guna melindungi jiwanya.

Alquran menyebut pembebasan manusia dari belenggu Jahiliyah sebagai salah satu tujuan pengutusan Nabi Saw:

“Dan membuang dari mereka beban-beban dan belenggu-belenggu yang ada pada mereka” (QS. Al-A‘raf [7]: 157).

Perlu juga dicatat bahwa dalam mengemban misi melawan kezaliman, Allah memperingatkan para nabi agar tidak balik menindas masyarakat setelah berhasil menggulingkan penguasa zalim, seperti yang umumnya terjadi pasca keberhasilan revolusi dan kudeta.

“Tidak wajar bagi seseorang yang Allah berikan kepadanya Kitab, hikmah dan kenabian, lalu dia berkata kepada manusia, “Hendaklah kamu menjadi penyembah-penyembahku, bukan penyembah Allah.” Akan tetapi (dia berkata), “Hendaklah kamu menjadi orang-orang rabbani, karena kamu selalu mengajarkan kitab dan disebabkan kamu tetap mempelajarinya.” (QS. Al Imran [3]: 79).

Baca juga: QS. Al Imran [3]: Ayat 118; Seni Rahasia Dalam Politik Dan Hukum-Hukum Musuh
Baca juga: Telah Terbit: Tafsir Imam Ghazali

C. Menyelesaikan Konflik Antarawarga serta Warga dan Negara
Salah satu karakter dunia adalah terjadinya pertikaian dengan berbagai motif. Kini, penyelesaian masalah ini merupakan tugas lembaga yudikatif. Di sisi lain, ada kemungkinan pihak terdakwa tidak bersedia menerima putusan hakim, yang berarti perlu langkah-langkah praktis untuk menuntaskan hal ini.

Pola pandang Alquran tentang kenabian tidak terbatas hanya pada satu dimensi. Ia tak hanya meminta para nabi terus berdakwah, tetapi juga menyelesaikan pertikaian di tengah umat. Dengan kata lain, Allah menghendaki supaya para nabi juga terjun ke perkara peradilan.

“Dan Dia menurunkan bersama mereka kitab dengan kebenaran untuk menghakimi apa yang diperselisihkan manusia” (QS. Al-Baqarah [2]: 213).

Ayat di atas secara jelas menyebut penyelesaian pertikaian manusia sebagai (salah satu) tujuan diturunkannya kitab samawi. Ayat lain juga memerintahkan manusia agar merujuk keputusan Allah dan rasul-Nya dalam setiap perkara dan kasus.

“Bila kalian berselisih dalam suatu urusan, maka merujuklah kepada Allah dan rasul-Nya, jika kalian memang beriman kepada Allah dan Hari Akhir. Yang demikian itu lebih utama (bagi kalian) dan lebih baik akibatnya” (QS. Al-Nisa’ [4]: 59).

Ayat di atas tak hanya menyuruh manusia merujuk keputusan nabi, tetapi juga menyebutnya sebagai syarat iman kepada Allah dan Hari Kiamat. Ayat lain juga menekankan penyelesaian semua pertikaian dan kasus melalui hukum Allah:

“Apa pun yang kalian perselisihkan, maka keputusannya ada di tangan Allah” (QS. Al-Syura [42]: 10).

Dalam tiga ayat di atas, ada dua jenis perintah: pertama, ditujukan bagi para nabi untuk menyelesaikan pertikaian umat; dan kedua, diperuntukkan bagi umat untuk merujuk nabi dalam menyelesaikan masalah.

Baca juga: QS. Al Imran [3]: Ayat 135-136; Pemuda Tampan Tapi Keji (1)
Baca juga: Tafsir Kemerdekaan (1): QS. Al-Baqarah [2]: 279, Tidak Menjajah Juga Tidak Mau Dijajah

Baca Juga :  Isyarat Literal Ayat Cahaya: Menggali Wahdatul Wujud dari Terjemah Alquran (7): Cara dan Kriteria Mencapai Tauhid

Poin yang patut diperhatikan adalah terdakwa sering tidak puas atas putusan pengadilan dan mungkin menuduhnya tidak adil. Meski demikian, kemungkinan manusia tidak puas dengan keputusan Allah dan rasul-Nya tidak membuat Allah melarang para nabi bertindak sebagai hakim perkara. Padahal, alasan inilah (menjaga sakralitas agama) yang sering dilontarkan kaum Sekuler untuk menghalang-halangi agama terlibat dalam politik dan pemerintahan.

Berikut ini dua ayat lain yang menyebut penyelesaian pertikaian sebagai bagian dasar dari misi kenabian:

“Sesungguhnya Kami telah menurunkan kitab kepadamu dengan membawa kebenaran, supaya kamu mengadili antara manusia dengan apa yang telah Allah wahyukan kepadamu” (QS. Al-Nisa’ [4]: 105).

“Manusia itu adalah umat yang satu, (setelah timbul perselisihan), maka Allah mengutus para Nabi, sebagai pemberi peringatan, dan Allah menu-runkan bersama mereka kitab yang benar, untuk memberi keputusan di antara manusia tentang perkara yang mereka perselisihkan” (QS. Al-Baqarah [2]: 213).

Dalam ayat-ayat ini, Alquran dan kitab samawi yang lain tidak diperkenalkan sebagai kitab petunjuk. Ayat-ayat di atas bahkan menyebut falsafah duniawi dari pengutusan nabi yaitu menyelesaikan pertikaian berdasarkan hukum kitab samawi. Hal ini bukan saja bagian dari agenda kenabian, tetapi juga merupakan tujuan diturunkannya kitab samawi.

Pemerintahan dan negara adalah alat paling efektif dalam menciptakan perubahan dan pengelolaan umat manusia. Sebagai alat dan sarana, kekuasaan dan negara itu tidak baik juga tidak buruk. Baik dan mulianya suatu kekuasaan ditentukan oleh penggunaannya, yaitu dalam rangka nilai-nilai kebaikan, termasuk nilai-nilai islami.

Ya, tujuan utama dari penciptaan manusia dan pengutusan para nabi adalah bagaimana manusia mencapai derajat dan prestasi spiritual. Menurut Alquran, derajat paling tinggi adalah maqam kedekatan Ilahi, qāba qowsayn. Syariat diturunkan dan pemerintahan dibentuk dalam rangka mengantarkan manusia menuju kedekatan Ilahi.

Penyebutan ‘akhirat’ di samping ‘Allah’ sebagai falsafah kenabian pun adalah sebentuk toleransi, sebab akhirat (baik surga atau nerakanya) bukan falsafah kenabian, tetapi nilai-nilai bagi manusia [yang bertipe] budak atau pedagang.

Karena itu, keyakinan bahwa Alquran mengutamakan tujuan yang paling agung (yaitu kedekatan dengan Allah) di atas hal-hal lain tidak bertentangan dengan penyebutan masalah-masalah duniawi (dalam Alquran) sebagai bagian dari tujuan kenabian.

Baca juga: QS. Al-Nur [24]: Ayat 35: Wahdatul Wujud (1); Kafir Atau Tidak?
Baca juga: Dosa-Dosa Tidak Merdeka (1): Teologi Penjajahan

Jadi, dari satu sisi, penyebutan ajaran Alquran tentang masalah duniawi sebagai “perkara sekunder” memang benar demikian dan sesuai dengan fakta. Hal yang sama juga dinyatakan sebagian kalangan Sekuler. Hanya yang menjadi perdebatan di sini yaitu sumber legitimasi pemerintahan tersebut. Bagi mereka, legitimasinya berasal dari rakyat, tak terkecuali pemerintahan Nabi Saw. Kekeliruan pendapat ini akan pada uraikan di halaman selanjutnya.

Catatan Akhir
Dalam ayat-ayat di atas, seraya mengingatkan bahwa penegakan keadilan sosial adalah bagian dari tujuan kitab samawi, Allah juga mendorong para nabi dan pengikut mereka untuk mewujudkan tujuan-tujuan ini. Oleh karena itulah para nabi terdahulu melawan para penguasa zaman mereka. Nabi Saw sendiri pun meletakkan fondasi pemerintahan Islam di Madinah dalam kesempatan pertama dan mengendalikannya sepanjang hidup beliau.

1. Pemerintahan: Falsafah Kenabian, bukan Esensi Kenabian
Dengan mengandalkan definisi kenabian, kaum Sekuler bersikeras menunjukkan bahwa pemerintahan tidak termasuk dari esensi kenabian.

Jawabannya, pemerintahan memang tidak bisa ditarik dari esensi kenabian, sebab esensinya adalah penyampaian risalah Ilahi. Tetapi, pemerintahan, penyelesaian perselisihan, dan penegakan keadilan adalah salah satu dari tujuan para nabi (ayat-ayatnya sudah dikemukakan sebelum ini). Maka itu, saat mendefinisikan kenabian, sebagian ulama terkemuka menyebut pengurusan masalah duniawi sebagai salah satu elemennya.

Jadi, kalau sebagian besar nabi tidak berhasil membentuk pemerintahan, itu bukan lantaran mereka menganut paham Sekularisme, tetapi hanya karena kondisi dan prasyarat pembentukannya tidak memadai seperti: tidak berimannya umat pada nabi dan pembunuhan nabi oleh mereka, sebagaimana telah dikemukakan sebelum ini.

Baca juga: QS. Maryam [19]: Ayat 96; Syarat Menjadi Manusia Rahmatan Lil Alamin
Baca juga: QS. Al-Anbiya’ [21]: Ayat 105; Masa Depan Dunia Dan Pelaku Sejarah Masyarakat

2. Gejala Esktremisme dan Eksklusivisme Sekuler
Dalam pemahaman kalangan Sekuler, ayat-ayat tentang tugas Nabi SAW dibatasi sekedar penyampaian wahyu dan keterangan Langit. Namun, mereka melangkah lebih ekstrem dimana pembatasan mereka itu eksklusif sampai-sampai menafikan tugas-tugas lain nabi.

Mengingat pentingnya dakwah dan tablig sebagai tugas utama (dan terpenting) utusan Allah, ayat-ayat di atas hanya menyebut dakwah sebagai tugas Nabi Saw. Maka itu, ayat-ayat ini tidak bisa dijadikan argumen bagi Sekularisme, sebab ada tugas-tugas lain kenabian selain menyampaikan wahyu seperti yang sudah dijabarkan sebelumnya. Ini juga seperti seorang ayah berkata kepada anaknya, “Nak! Satu-satunya tugasmu adalah kuliah.” Jelas, sang ayah di sini tidak bermaksud menafikan tugas-tugas lain dari kehidupan anaknya seperti: pembinaan diri. Mengatur waktu tidur dan menghemat waktu tempuh ke kampus juga menjadi kewajiban anak dalam rangka melaksanakan tugas utama belajar yang didefinisikan sang ayah. Maka, menjadi kewajiban menyediakan sarana transportasi yang bisa menghemat waktunya apabila kondisinya memungkinkan.

Pemerintahan dan negara adalah alat terbaik dalam menciptakan perubahan dan pengelolaan umat manusia. Sebagai alat dan sarana, kekuasaan dan negara itu tidak baik juga tidak buruk. Baiknya suatu kekuasaan ditentukan oleh pengunaannya, yaitu dalam rangka nilai-nilai kebaikan. Islam juga mengakui kekuasaan sebagai faktor penting dalam menciptakan transformasi dan mempertahankannya sesuai nilai-nilai dan tatahukumnya yang berkeadilan dan antikezaliman. Terciptanya kondisi kondusif di tengah masyarakat akan memfasilitasi mereka dalam mencapai tujuan utama, yaitu mendekatkan diri pada Allah SWT.

___________________
*Untuk referensi selengkapnya bisa menghubungi redaksi.

Share Page

Close