• LAINYA

Dalam filsafat Kesejatian Ada Mulla Sadra, individualitas (tasyakhkhush) setiap adaan berasal dari Ada, bukan dari kuiditas. Karena itu, individualitas setiap adaan bergantung pada keterkaitannya dengan Ada sejati yang merupakan asal (mabda’) seluruh adaan. Dengan kata lain, berdasarkan Kesejatian Ada, Mulla Sadra mengaitkan individualitas dengan Ada, bukan dengan kuiditas. Ia percaya bahwa individualitas segala sesuatu bukan dari kuiditasnya, tetapi dari Adanya. Adapun apa yang dikenal sebagai identitas segala sesuatu, pada hakikatnya, adalah tanda-tanda individualitas, tetapi bukan individualitas itu sendiri.

Pada dasarnya, ciri-ciri dan identitas setiap sesuatu, yang merupakan tanda individualitasnya, termasuk dalam konsep kuiditatif dan terkait dengan kuiditas. Namun, individualitas itu sendiri berasal dari derajat adawi (martabah wujūdiyyah)—yaitu relasi segala sesuatu dengan Ada sejati. “Individualitas sesuatu ialah karena relasinya dengan Ada sejati (al-wujūd al-haqīqiy) sebagai asal segala sesuatu.”(1)

Dalam antroposofi Kebijaksanaan Luhur, esensi manusia juga, seperti semua adaan yang tak lain, hanyalah kefakiran (kebutuhan) dan ketiadaan; kefakiran adawi (faqr wujūdī) manusia di hadapan keniscayaan azali Yang-Niscaya-Ada memberinya identitas kerelasian. Manusia adalah akibat Yang-Niscaya-Ada, dan setiap akibat yang fakir dan butuh bukan sesuatu yang memiliki relasi dengan sebab pengadanya, tetapi ia tak lain hanyalah relasi itu sendiri dengan sebab pengada.

Identitas kerelasian manusia dengan Realitas Yang Mahahidup Mahamandiri itulah yang menyebabkannya mengada dan tetap-ada. Realitas kerelasian manusia yang merupakan esensi seutuhnya tidaklah terbatas hanya pada kebutuhannya untuk mengada, tetapi ia dalam ketetap-adaannya juga tak lain hanyalah kebutuhan kepada Yang-Niscaya-Ada. Yakni manusia, seperti semua adaan lainnya, baik dalam asal juga dalam tujuan adalah dari Tuhan dan menuju Tuhan.

Hakikat pembeda manusia atau, dalam istilah filosofis, diferensi (fashl) manusia dalam antroposofi Mulla Sadra diidentifikasi sebagai ‘ilm ‘pengetahuan’. Mengetahui hal-hal universal dan proses-proses berpikir adalah pembeda jiwa manusia dari jiwa hewani dan jiwa nabati. Selain melakukan aktivitas dan fungsi jiwa nabati serta hewani dalam mengelola badan, jiwa manusia juga bertanggung jawab atas dua fungsi khusus, yaitu menerima pengetahuan dari alam tinggi atau alam akal-akal dan beraktivitas di alam bawah, yakni alam benda.

Baca Juga :  Masuk Islam karena Alquran (6): Arthur Wagner Diluluhkan Alquran Setelah Jadi Ateis, Protestan dan Musuhi Islam (2)

“Di antara semua ciptaan, manusia memiliki ciri-ciri khas dan sifat-sifat yang mengagumkan dan khusus miliknya yang tidak ada pada selainnya. Di antara sifat-sifat khusus itu dan lebih eksklusif baginya daripada bagi adaan yang lain adalah kapasitasnya memperoleh makna dan konsep universal yang sepenuhnya abstrak dan telanjang dari bahan/materi, sehingga dia dapat mengetahui hal-hal akalan dengan berpikir dan merenungkan makna dan konsep tersebut. Jadi, manusia memiliki kekuatan intervensi dalam hal-hal partikular juga kekuatan intervensi dalam hal-hal universal.”(2)

Berdasarkan dua keistimewaan yang dimiliki jiwa cakap dibandingkan jiwa hewani tadi, ada dua daya yang teridentifikasi untuk jiwa cakap: akal teoretis dan akal praktis.(3) Akal teoretis mencakup kemampuan jiwa mengetahui konsep atau pengertian (tashawwur), menyusun proposisi atau penyataan (tashdīqāt) dan menilai kebenaran dan kesalahan. Sedangkan akal praktis yaitu kemampuan jiwa melakukan tindakan, membuat produk dan memilih yang-baik dan yang-buruk.

Menurut Mulla Sadra, ada hubungan antara dua fakultas ini sedemikian eratnya hingga keputusan, tindakan dan penilaian manusia selalu merupakan hasil dari interaksi mereka. Hubungan erat itu, dalam setiap kasus campuran dari kaidah umum yang diperoleh dari akal teoretis dan pendapat partikular yang muncul dari akal praktis, mempersiapkan seseorang untuk membuat keputusan dan melakukan atau meninggalkan tindakan. Dualisme antara akal teoretis dan praktis ini terjadi di derajat-derajat awal dimana ada jarak antara pengetahuan dan tindakan. Namun, tatkala telah mencapai kesempurnaan aklani, pengetahuannya tak lain adalah tindakan, dan tindakannya tak lain adalah pengetahuannya itu sendiri.

Meski memiliki fitrah dan fisik yang relatif sama, manusia memiliki sekian perbedaan yang nyata. Secara umum, perbedaan antarmanusia adalah sesuai dengan perbedaan derajat dalam hierarki Ada mereka. Namun demikian, perbedaan ini harus ditinjau dari dua aspek perbedaan: sejajar (‘aradhi) dan sepanjang (thūli). Di satu sisi, manusia dari segi derajat bahani/material berada di alam benda dan, di alam ini, spesies manusia seperti juga setiap spesies yang lain, yaitu memiliki banyak individu dimana mereka ini memiliki perbedaan dan kepemeraguan sejajar (tasykīk ‘aradhī) satu sama lain: “Dan Dia telah menicptakan kamu dalam tahapan-tahapan” (QS. Nuh [71]: 4).

Baca Juga :  Filsafat Manusia dalam Alquran (4): Kesatuan Manusia (1): Aspek Kesamaan

Semua individu manusia sebagai adaan dalam kepemeraguan sejajar Ada—bukan dalam kepemeraguan sepanjang Ada—tidak memiliki relasi kausalitas di antara mereka, juga satu individu tidak lebih sempurna dari yang lain. Bahkan, kalaupun mereka memiliki sekian kesempurnaan, tetap tidak akan ada relasi kausalitas satu dengan yang lain. Keragaman dan perbedaan antarindividu adalah karena kebanyakan sejajar (katsrah thūliyyah) yang berasal dari kepemeraguan sejajar di alam benda. Kebanyakan sejajar ini merupakan sebab semua perbedaan primer antarindividu.

Wahai manusia! Sungguh Kami telah menciptakan kamu dari laki-laki dan perempuan, kemudian Kami jadikan kamu berbangsa-bangsa dan bersuku-suku agar kamu saling mengenal” (QS. Al-Hujurat [49]: 13).

Di sisi lain, individu manusia dari aspek hierarki sepanjang (marātib thūliyyah) juga variatif dan berbeda-beda. Jiwa manusia yang memiliki derajat bahani/material, ideal dan aklani adalah sama dan satu. Fitrah yang mengandung pengetahuan dan kecenderungan tinggi sebelum kelahiran juga diberikan secara sama kepada setiap orang. Namun, perbedaan gerak setiap jiwa manusia di derajat-derajat tersebut menciptakan perbedaan dalam kemenguatan adawi mereka sehingga, konsekuensinya, menyebabkan perubahan posisi mereka dalam hierarki sepanjang Ada.

Jiwa setiap orang menjadi berbeda dari jiwa yang lain sesuai dengan derajat yang diperolehnya. Perbedaan semacam ini, meskipun ada fitrah primer yang sama, bersifat sekunder dan bergantung pada usaha manusia. Dengan demikian, perbedaan antaramanusia juga, menurut antroposofi Mulla Sadra, adalah perbedaan esensial yang mendalam, bukan sesuatu yang aksidental, dan terkait dengan derajat adawi jiwa (hakikat) mereka.

“Kemuliaan jiwa di atas jiwa yang lain hanya tercapai dengan hakikatnya sendiri, bukan karena sesuatu yang asing.”(4)

Perbedaan antaramanusia tidak terbentuk karena kelas (derajat) sosial, neraca pendapatan dan lain-lain. Ini perbedaan kuiditatif. Dari satu spesies manusia, muncul aneka macam spesies yang sejak awal bukanlah bentuk yang sudah tuntas dan paket identitas yang sudah tertentukan. Mereka mengada dalam berbagai bentuk dan memperoleh identitas berbeda-beda yang berasal dari kesatuan jiwa mereka dengan bentuk-bentuk pengetahuan (shuwar ‘ilmiyyah).

Baca Juga :  Ontologi Manusia (1): Menjelajahi Realitas Manusia

Meskipun identitas-identitas itu tersembunyi di alam penampakan bendawi, tetapi mereka sepenuhnya tampak-nyata di alam penampakan realitas non-bendawi atau malakut. Di sinilah pintu masuk Mulla Sadra dalam topik ma‘ād (Kehidupan setelah Kematian), khususnya teori Kemembadanan Perbuatan (tajassum al-ā‘māl) dan penampakan hakikat setiap orang serta pengungkapan esensi pahala dan siksa. Kemenentuan identitas dan individualitas bentuk (realitas/hakikat) seseorang tidak terjadi sejak lahir, tetapi berlangsung sepanjang proses kehidupan duniawi sampai detik kematian.Bersambung

Share Page

Close