• LAINYA

Tidak ada masalah serumit sekaligus sesederhana isu Palesina-Israel. Magnet dan radius geolopitiknya nyaris lintas batas. Bagi pihak-pihak yang tampak lemah atau memang lemah, semua instrumen politik dan hukum internasional jadi lumpuh total, tidak berdaya sama sekali. Namun, bagi pihak-pihak yang kuat, justru mereka sudah berbicara dan mengkalkulasi kemungkinan Perang Dunia Ketiga.

Pasca Perang Dunia II, banyak kalangan masyarakat madani dan kaum outsider di Barat aktif memantau dan mengkritik berbagai ketegangan dan peperangan yang dipicu, utamanya dan umumnya, oleh negara-negara pemenang PD II di luar kawasan geopolitik mereka. Pendirian Israel di tanah Palestina pada 1948 oleh AS dan Inggris adalah yang paling lama sekaligus paling baru, dan masih terus berlangsung dengan nama “pendudukan Israel atas Palestina”.

Tidak sedikit filosof dan intelektual Barat sebagai elemen elite masyarakat madani di sana yang gamang hingga gagal menyikapi persoalan Palestina-Israel, isu yang menguji keras integritas, kredibilitas serta konsistensi mereka dalam berusaha keras menampilkan diri atas nama objekivitas, netralitas, moralitas dan kemanusiaan. Sartre adalah satu di antara mereka. Ujian keras isu Palesina-Israel mempu menjinakkan kebiasaan gagahnya dalam bersikap dan berkata-kata.

Dia tidak dapat disamakan dengan Bertrand Russell di Inggris dan Hannah Arendt di Jerman yang tampak konsisten menanggapi tindakan Israel di tanah Palestina, kegamangan hingga jungkir-balik pendirian politik diperagakan Sartre sampai satu tahun sebelum ajal menjemputnya, seperti digambarkan Reda Merida dalam arikelnya (middleeasteye, 20.05.2020) berikut ini dengan beberapa penyuntingan bahasa dan isi:

*****

Pada Juni 1967, lima tahun setelah merdeka, mahasiswa Aljazair membakar buku Jean-Paul Sartre, filsuf Perancis yang dikenal sebagai sahabat baik revolusi Aljazair. Sekitar waktu yang sama, Josie Fanon, janda dari seorang psikiater dan penulis esai anti-kolonial, Frantz Fanon, meminta penerbitnya untuk menghapus bagian depan endorsmentasi dari Sartre untuk The Wretched of the Earth. “Mulai sekarang, tidak ada kesamaan antara Sartre dan kami, sama sekali!” ujarnya.

Larangan terhadap buku-buku Sartre diumumkan di Irak, dan para intelektual Arab mulai mengingkari hubungan kekerabatan mereka dengan filsuf dari jantung Paris, Left Bank, itu. Dengan menyatakan dukungannya pada Israel menjelang Perang Enam Hari tahun 1967, Sartre pada dasarnya mengakhiri gerakan eksistensialis Arab, dan mendiskreditkan pendirian revolusionernya dalam perjuangan kemerdekaan di Timur Tengah dan Afrika Utara.

Baca Juga :  Al-Quran Era Pangeran Diponegoro Masih Terjaga

Dalam pendirian negara Israel pada 1947-1948, Sartre dan mayoritas intelektual Perancis dari dua arus utama politik: kiri dan kanan, mendukung penuh pembentukan negara Yahudi di Palestina.

Perhatikan kata-kata suka citanya, “Saya selalu berharap, dan saya terus berharap, masalah Yahudi akan menemukan solusi jangka panjang dalam kerangka humanis yang bebas batas. Namun karena transformasi masyarakat akan melibatkan periode kemerdekaan nasional, kami hanya bisa menerima kenyataan bahwa negara berdaulat Israel telah melegitimasi harapan dan perjuangan bangsa Yahudi di seluruh dunia.”

Berada di persimpangan antara garis politik dan “tekad emosional”, Sartre memilih jalan Tengah sebagai sebuah sikap ambivalen yang ia pertahankan dengan cara yang berbelit-belit dan sering kali kontradiktif. Kata-katanya menandai perubahan radikal dari pendirian sebelumnya mengenai Yahudi. Dalam sebuah esai berjudul “Antisemite and Jew”, Sartre menulis, “Antisemitlah yang menciptakan orang Yahudi, yang memaksa orang Yahudi untuk menjadikan dirinya seorang Yahudi.”

French writer and philosopher Jean-Paul Sartre (2R) and Simone de Beauvoir (R) visit a Palestinian refugees camp, March 1967 in Gaza. (Photo by STAFF / AFP)

Kata-katanya juga sangat bertentangan dengan respon politiknya terhadap perjuangan pembebasan di Kuba dan Vietnam, dan terhadap “kanker” apartheid di Afrika Selatan ataupun rezim segregasionis di Amerika Serikat. Sikap ini dapat dipastikan hasil dari dua faktor utama: berakhirnya Perang Dunia II dan kenyataan mengerikan tentang kamp konsentrasi Nazi yang, menurut Sartre, telah membentuk “tekad emosional” pada diri kaum intelektual Prancis mengenai Palestina dan konflik Arab-Israel.

“Jadi, apakah kita alergi terhadap apa pun yang mirip, dalam satu atau lain hal, antisemitisme. Banyak orang Arab yang akan menjawab, “Kami bukan antisemit, tapi anti-Israel.” Dan mereka sudah pasti benar, namun mereka tidak bisa menghalangi kita untuk berpikir bahwa orang-orang Israel itu juga Yahudi,” tulis Sartre pada tahun 1967 di Modern Times, sebuah jurnal yang didirikan dengan Simone de Beauvoir.

Lalu, ada pula konteks politik pada masa itu, yaitu antusiasme de-kolonialisme para intelektual Barat yang, secara entah sadar atau tidak, telah merestui pendirian negara Yahudi, Israel, meski dengan mengabaikan eksistensi penduduk asli Palestina.

Hak Menentukan Nasib Sendiri

Sepanjang 1950-an, Sartre bungkam mengenai konflik Israel-Palestina. Pada saat yang sama, ia melipatgandakan upayanya untuk mendukung kemerdekaan Aljazair. Dia menerbitkan banyak artikel pro-revolusi dan esai “Colonialism is a System”, sebuah artikel  yang kuat mendekonstruksi kolonialisme sebagai sistem kekerasan yang semakin bobrok. Selama periode ini, dia jadi primadona kaum intelektual Arab yang terpesona oleh pandangannya yang blak-blakan dan citra yang dia asah sebagai seorang intelektual sejati.

Baca Juga :  Isyarat Literal Ayat Cahaya: Menggali Wahdatul Wujud dari Terjemah Alquran (4): Makhluk antara Ada dan tidak Ada

Dari Aljazair dan Bagdad hingga Kairo, Damaskus, dan Beirut, Sartre salah satu intelektual yang paling banyak diterjemahkan, diperdebatkan, dan dirayakan karya serta pemikirannya. Baginya, Nasib naas Palestina tidak bisa lagi dihindari setelah kemerdekaan Aljazair pada 1962. Terpecah antara keyakinan politiknya dan “tekad emosionalnya”, Sartre lantas memilih jalan Tengah seperti sudah disinggung di atas.

Di satu sisi, Sartre secara konsisten mengutuk kondisi kehidupan pengungsi Palestina dan memperjuangkan hak untuk kembali. Di sisi lain, dia mendukung keberadaan Israel sebagai negara berdaulat! Upaya untuk tetap “netral” ini menimbulkan krisis intelektual berbau hipokrasi dan keculasan.

Pada Februari 1967, Sartre mengunjungi Mesir, Gaza dan Israel untuk menyelidiki konflik tersebut, berbicara dengan mahasiswa, aktivis, pengungsi, perempuan, pekerja dan anggota partai, termasuk Presiden Mesir Gamal Abdel Nasser. Dalam bukunya, No Exit, sejarawan Yoav Di-Capua menggambarkan seluk-beluk pengorganisasian kunjungan semacam itu – belum lagi konsekuensi politik yang berat, dimana kedua pihak yang berkonflik bersaing untuk mendapatkan dukungan dari filsuf terkenal Perancis tersebut. Semua yang dia katakana dipilih-pilih, dianalisis, dan ditafsirkan sebagai kemungkinan dan signal dukungan.

Sementara itu, semakin banyak editorial dan pernyataan dari kaum intelektual Arab mendesak Sartre untuk mengambil sikap tegas setelah mencium aroma netralitasnya sebagai gelagat dukungan kepada Israel.

Jungkir-balik yang Spektakuler

Tak lama setelah kunjungannya yang terkenal itu, terjadi ketegangan antara Mesir dan Israel yang menyebabkan peningkatan militer di kawasan mendapat banyak dukungan di Perancis dan mendukung Israel yang, di tengah perkumpulan mantan kombatan dan orang-orang yang kembali dari Aljazair Perancis, berubah menjadi negara yang rasis dan kampanye anti-Arab.

Dalam konteks ini, sebuah petisi mendukung Israel diterbitkan di Le Monde. Sartre termasuk di antara para penanda tangan, yang memproklamirkan secara hitam-putih perceraian filsuf Prancis itu dari teman-teman Arabnya. Baru kemudian mereka mengetahui bahwa Sartre enggan menandatangani kontrak.

LEgyptian President Gamal Abdel Nasser (left) greets Sartre (centre) in Cairo in 1967

Sejak tahun 1970-an dan seterusnya, dengan semakin intensifnya perjuangan Palestina di Eropa, opini para intelektual sayap kiri mengenai Israel mengalami perubahan ekstrem. Sartre bahkan mendukung serangan bunuh diri. “Saya selalu mendukung kontrateror melawan teror yang sudah ada. Dan saya selalu mendefinisikan teror sebagai pendudukan, perampasan tanah, penangkapan sewenang-wenang, dan sebagainya,” ujarnya.

Baca Juga :  Filsafat, Pancasila dan Negeri Impian Buya Maarif

Israel tidak lagi dipandang sebagai sebuah pulau yang dikelilingi oleh perairan Arab yang bermusuhan, namun sebagai roda penggerak mesin kekaisaran AS, roda itu pula yang terlalu dimiliterisasi hingga menyerang masyarakat yang dijajah dan dihancurkan oleh dinasti Ottoman dan kemudian Inggris selama berabad-abad.

Pada Juni 1972, Sartre mengirimkan surat kepada ibu warga Israel yang menolak dinas militer karena alasan hati Nurani. Di situ dia menegaskan bahwa “pengadilan akan mendapat penghargaan jika membebaskan [terdakwa] yang menghadapi hukuman bertahun-tahun penjara karena tindakan berani dan nyata: menolak bertugas di pasukan yang awalnya merupakan pasukan pelestarian, namun kemudian menerapkan taktik ofensif dan menjadi kekuatan pendudukan”.

Perjuangan untuk Kebebasan

Jadi bagaimana jungkir-balik politik ini bisa terjadi? Jawabannya mungkin bisa ditemukan dalam wawancara Sartre di surat kabar Mesir Al-Ahram yang juga daimuat di majalah eksistensialis Lebanon Al-Adab, beberapa bulan setelah penerbitan petisi kontroversial tersebut.

Sartre, yang bungkam setelah kontroversi tersebut, mengatakan bahwa tanda tangannya hanyalah sebuah sikap “melawan perang [Enam Hari] yang akan terjadi” dan bukan menentang “perjuangan rakyat Arab dan Palestina untuk kebebasan dan kemajuan”. Dia mengutuk Israel telah menggunakan napalm (campuran pembakar dari bahan pembentuk gel dan petrokimia yang mudah menguap) terhadap warga Palestina sebagai “tindakan kriminal”.

Sartre menjustifikasi kembali mengapa opini publik Prancis berpihak pada Israel pada perang tahun 1967, dan mengklaim bahwa sikap Prancis dipicu oleh kampanye doktrin “Never Again” dan kaketakutan akan adanya “upaya pemusnahan orang-orang Yahudi” yang kedua kalinya.

Dia juga menyatakan bahwa “perang pembebasan adalah satu-satunya perang yang sah”, mengutuk niat ekspansionis Israel dan menggambarkan rencana untuk mencaplok Yerusalem sebagai “kegilaan mutlak”. Terakhir, dia menyesalkan “kekuatan reaksioner yang kuat” menguasai Israel dan menghalangi semua kemungkinan perdamaian.

Pada tahun 1976, Sartre dianugerahi gelar doktor kehormatan dari Universitas Ibrani Yerusalem. Dalam pidato penerimaannya, dia mengatakan bahwa dirinya juga merasa terhormat menerima gelar tersebut dari Universitas Kairo. Pada tahun 1979, dia menyelenggarakan seminar untuk kemajuan perdamaian di Timur Tengah. Intelektual dari Israel maupun Palestina diundang. Setahun kemudian, dia meninggal dan meninggalkan semua manuver sikap-sikap poliik untuk selamanya pada 15 April 1980.

Share Page

Close