• LAINYA

3. Wahdatul Wujud: Makhluk antara Ada dan tidak Ada

Ayat lain yang relevan dibandingkan dengan Ayat Cahaya adalah ayat pertama dari surat al-Ikhlas: Katakan Dia Allah adalah Esa. Di ayat ini, Allah mendefinisikan Diri-Nya sebagai ahad: esa. Dari pembandingan ayat Cahaya dengan ayat ini dapat ditarik kesimpulan bahwa Allah cahaya lelangit dan bumi, dan cahaya Allah itu adalah esa dan satu.

Sekali lagi, cahaya di sini yaitu juga Ada, kenyataan, wujud, realitas, “Nyata (al-dzuhur) pada prinsipnya adalah Ada.”[1] Maka, cahaya Allah ialah realitas dan Ada (wujud) Allah, dan Ada Allah itu satu, tidak banyak. Al-Qusyairi dalam tafsir ayat Cahaya menuliskan, “Dan dari Cahaya itulah cahaya lelangit dan bumi sebagai penciptaan (al-khalq)” (Al-Qusyairi, 2007, v. 2, p. 367).

Lalu, di mana posisi Ada makhluk? Bila cahaya dan Ada itu satu dan hanya identik dengan Allah, apakah ini berarti cahaya tidak dimiliki makhluk sehingga makhluk itu tidak ada? Tampaknya, ayat Cahaya tidak menyatakan demikian. Ayat ini justru mengakui cahaya dan Ada bagi makhluk (apa saja selain Allah). Allah cahaya lelangit dan bumi yakni apa saja di bumi dan di luar bumi itu ber-Ada (memiliki Ada) dan bercahaya (memiliki cahaya), dan Ada/cahaya mereka ini adalah Ada/cahaya Allah itu sendiri. Dalam munajat Arafah Sayidina Husain bin Ali ra. disebutkan, “Apakah terdapat suatu kenyataan bagi selain Engkau yang tidak Engkau miliki sehingga ia menjadi penyata bagi-Mu?!” (Ibnu Thawus, 1409 H, p. 349).

Namun juga eksplisit bahwa, pada saat yang sama, ayat Cahaya menetapkan cahaya makhluk sebagai predikat Allah (subjek). Artinya, cahaya makhluk yaitu bahwa makhluk adalah cahaya, dan cahaya makhluk ini sendiri merupakan predikat Allah.

Di sini, tidak ada dua cahaya: yang satu milik makhluk dan yang lain milik Allah. Secara indah dalam sastra bahasa yang tinggi, ayat ini menempatkan hanya satu cahaya di antara Allah dan makhluk. Maka, Allah itu cahaya langit-langit dan bumi, dan cahaya mereka itu adalah Cahaya Allah itu sendiri.Dengan kata lain, cahaya (nur) dalam ayat Cahaya berada di tengah antara Allah dan makhluk. Cahaya ini terikat (mudhaf) dengan makhluk, tetapi cahaya makhluk ini juga merupakan predikat bagi Allah. Allah dan makhluk bertemu pada satu cahaya, sehingga ayat ini bisa bermakna:

Baca Juga :  QS. al-Ikhlas [112]: ayat 3, (1) Konsekuensi Tauhid

“Allah itulah cahaya makhluk.”

Ia juga bermakna: “Cahaya makhluk itulah Allah.”

Bisa juga ia bermakna, “Cahaya Allah itulah makhluk.”

Dan ia bisa juga bermakna, “Makhluk itulah cahaya Allah”.

Pertanyaannya, cahaya yang satu ini sesungguhnya cahaya siapa?

Ada tiga kemungkinan:

  1. Cahaya Allah.
  2. Cahaya makhluk.
  3. Cahaya bersama: cahaya Allah juga cahaya makhluk.

Mari kita uji tiga kemungkinan di atas secara berurutan:

 

1. Cahaya Allah

Tidak bisa dikatakan cahaya itu hanya Allah, karena cahaya [Allah], dalam sintaksis ayat ini, berstatus sebagai mudhāf (kata terikat) yang dikaitkan dengan makhluk (langit dan bumi). Allah cahaya lelangit dan bumi yakni Allah cahaya-nya makhluk, dan cahaya-nya makhluk yaitu cahaya milik makhluk.

 

2. Cahaya Makhluk

Masih dalam sintaksisnya, redaksi ayat Cahaya secara literal juga menyatakan bahwa kata cahaya berstatus sebagai predikat (khabar) bagi Allah (mubtada’). Maka, Allah Dialah cahaya makhluk. Sampai di sini, cahaya itu juga bukan hanya milik makhluk.

 

3. Cahaya Bersama

Dengan gugurnya dua kemungkinan di atas, kemungkinan ketiga ini sudah dapat dipastikan benar. Yakni, cahaya yang satu itu adalah Allah juga makhluk; satu cahaya adalah sama-sama milik kedua-duanya.

Tetapi, apakah yang dimaksud “bersama” dan “sama-sama” di sini? Ada dua kemungkinan:

 

3.1. Allah dan Makhluk Sama-sama Kuat

Yakni, Allah sejajar dan sebanding dengan makhluk-Nya sendiri dalam berstatus sebagai cahaya. Jika Allah cahaya dan ada pada dirinya sendiri, makhluk juga ber-Ada dan cahaya pada dirinya sendiri seperti yang tampak dalam doktrin hulul dan ittihad. Ini agaknya hanya sesuai dengan syirik dan menyekutukan Allah yang ditolak oleh akhir surat Al-Ikhlas, Dan tidak ada satu pun yang setara dengan-Nya (QS. Al-Ikhlas 112: 4).

Baca Juga :  QS. Al-Infithar [82]: Ayat 6; Manusia, Makhluk Bodoh yang Lemah Tapi Tak Tahu Diri

 

3.2. Allah dan Makhluk tidak Sama-sama Kuat

Artinya, Allah dan makhluk sama-sama bercahaya dengan satu cahaya namun secara tidak sebanding dan secara tidak sama kuatnya. Cahaya itu Allah secara sejati, hakiki dan absolut, dan cahaya yang sama juga makhluk namun secara non-hakiki. Makhluk memiliki cahaya tidak pada dirinya sendiri juga tidak dengan dirinya sendiri, tetapi ia bercahaya dengan cahaya hakiki Allah.

Di sini, cahaya Allah tidak sejajar, tidak sebanding, tidak setara dengan makhluk, karena memang Allah adalah Realitas Absolut, Mahanyata, Mahatinggi, Mahapurna, Allah tempat bergantung (QS. Al-Ikhlas 112: 2), maka Dia asal dan sumber segala sesuatu, Dan Allah Dialah Yang Mahakaya Maha Terpuji (QS. Fathir 35: 15), hingga tak terbandingkan dengan apa pun selain Diri-Nya, Tidak ada yang serupa dengan-Nya sesuatu apa pun (QS. Al-Syura 42: 11).

Selain tidak setara, cahaya Allah juga tidak terbagi dan tidak terpenggal. Allah tidak berbagi cahaya/Ada-Nya dengan makhluk hingga ada bagian yang terpisah dan terlepas dari cahaya-Nya lalu diterima dan dimiliki makhluk. Ini sesuai dengan literal teks ayat ketiga surat Al-Ikhlas, Dia tidak melahirkan (QS. Al-Ikhlas 112: 3). Hanya ada satu Cahaya, satu Ada, yaitu Allah—Esensi Suci (al-dzat al-muqaddasah) dan Realitas Absolut (al-wujud al-muthlaq). Maka, apa saja selain Allah pada hakikatnya dan pada dirinya sendiri adalah nir-cahaya dan nir-Ada, yakni ketiadaan. Ada dan cahaya hanyalah satu, esa. Ibnu Arabi menulis, “Allah adalah Ada itu sendiri.” (Ibnu Arabi, tanpa tahun, vo. 3, p. 429).

Dalam bahasa Imam Ghazali, cahaya dan Ada makhluk adalah cahaya kiasan (majaz) dan pinjaman (al-nūr al-musta’ār). (Ghazali, 1986, p.136; Thabathaba’i, 1997, v.15, p. 122). Tanpa pinjaman, makhluk pada hakikat dan dirinya sendiri tidak bercahaya, karena dia pada diri dan dengan sendirinya tidak memiliki apa-apa. Maka, sejak dan selama makhluk itu meng-Ada, dia senantiasa dalam keadaan meminjam, dan sejak dan selama itu pula makhluk pada dirinya sendiri tidak memiliki apa-apa. Jika yang dipinjam itu Ada, maka dia sendiri sesungguhnya tidak memiliki Ada, yakni dia adalah tiada. Pemilik yang sesungguhnya cahaya dan Ada adalah dan hanyalah Allah. Senada dengan ini, Al-Qusyairi mengatakan, “Dan Cahaya itulah yang darinya sesuatu (makhluk) disebut sebagai sesuatu dengan nama itu (Cahaya).” (al-Qusyairi, 2007, v. 2, p. 367).

Baca Juga :  QS. Al-Dhuha [93]: ayat 11; Berbicara Optimis sekaligus Pesimis

Karena Ada makhluk itu Ada pinjaman dari Allah, maka agar mengada dan tetap-ada, makhluk mustahil terpisah dan terlepas dari pinjaman (Ada) Allah, sebaliknya ia niscaya dan senantiasa dalam keadaan memimjam dan bersama pinjaman (Ada) Allah. Maka, dapat dipastikan Allah senantiasa bersama makhluk, “Dan Dia bersama kamu di mana saja kamu berada” (QS. Al-Hadid 57: 4). Dan karena pemilik sejati Ada makhluk adalah Allah, maka “dan Kami lebih dekat kepadanya daripada urat lehernya” (QS. Qaf 50: 16).

Bersambung ke: “Isyarat Literal Ayat Cahaya: Menggali Wahdatul Wujud dari Terjemah Alquran (5): Ada di Awal Alquran”

——————————

[1] Baydhawi, Tafsīr Al-Baydhāwī, jld. 4, hlm. 107; Thabathabai, Muhammad Husain, Al-Mizan fi tafsir Al-Qur’an, jld. 15, hlm. 121. Imam Ghazali menulis, “Cahaya kembali kepada nyata dan menyatakan … Lawan gelap adalah Ada, maka Ada adalah cahaya” (Misykāt Al-Anwār wa Mishfāt Al-Asrār, hlm. 137).

Share Page

Close