• LAINYA

LOGIKA-SOSIAL–Dalam Hoaksologi atau Logika Falasi, ketangkasan seseorang menipu opini diukur oleh seberapa halus dan licin narasi serta sebulus apa akalnya dalam menyatakan klaim dan pendirian. Semakin bulus tipu-tipunya, semakin halus membanting nalar publik. Membuat hoaks, karena itu, juga perlu ilmu dan keterampilan. Tanpa ilmu, hoaks seperti mensirkuskan ketelanjangan diri di siang bolong.

Salah satu medan basah penipuan opini ialah aktivitas membuat klaim dan menyatakan pendapat. Wajarnya, setiap orang mengemukakan pendapat dan berani berbeda pendapat karena merasa memiliki kebenaran. Sewajarnya pula dia lantas membawakan data serta argumen untuk membuktikan kebenaran pendapat dan klaimnya.

Maka, antara pendapat dan kebenaran ada jarak atau medan tengah yang harus diisi oleh argumentasi (membawakan data-bukti). Jarak dan peluang argumentasi itu efektif menjadi medan basah penipuan opini tatkala direkayasa untuk, pada akhirnya, dibubarkan dan ditutup.

Penutupan medan argumentasi dan peluang pembuktian itu dilakukan dengan berbagai cara yang intinya: melenyapkan tanggung jawab berargumentasi sehingga pembuat klaim seolah tidak perlu atau tidak dianggap perlu membuka data dan bukti.

“Peran sains dan akal tidak berguna untuk menjelaskan kemunculan pandemi. Jika Anda membuka mata hati Anda barang sedikit saja, Anda akan dengan mudah memahami kebenaran kata-kata guru kami itu.

Secara teknis, modus penipuan opini ini disebut dengan Argumentum ad Lapidem (AaL), berargumentasi dengan batu. Adanya batu dalam penamaan falasi ini berasal dari diskusi antara Samuel Johnson dan James Boswell tentang idealisme subjektif George Berkeley, yaitu teori filosofis filsuf Inggris yang menyatakan bahwa sesuatu itu nyata bila terpersepsi, dan bahwa objek material adalah dalam relasinya dengan persepsi seseorang atasnya.

Boswell mengatakan, “Setelah keluar dari gereja, kami berdiri sambil berbincang-bincang selama beberapa waktu tentang ketangkasan tipu daya Berkeley untuk membuktikan ketidaknyataan materi, dan bahwa segala sesuatu di alam semesta hanyalah ide dan persepsi. Saya mengamati bahwa meskipun kami yakin teorinya tidak benar, tidak mungkin juga kami menyangkalnya.

“Namun saya tidak akan melupakan ketangkasan Johnson membantah, yaitu menghentakkan kakinya dengan kekuatan besar ke sebuah batu besar sampai-sampai dia terpental darinya lantas mengatakan, “Aku telah menyanggahnya.”

Baca Juga :  Sebagian Surah Al-Quran Tulisan Tangan Goethe

Johnson, tampaknya, hendak menyiratkan bahwa teori Berkeley itu tidak masuk akal tatkala dia menyebut batu material seperti itu bukan objek yang nyata, padahal Johnson telah berhasil menendangnya dengan kakinya.

Sanggahan Johnson itu tergolong Falasi AaL mengingat pengalaman pribadinya dengan batu itu benar-benar personal dan tak terjangkau oleh orang sedekat Boswell.

Modus falasi ini mirip dengan orang yang hendak meyakinkan klaimnya tanpa sempat atau mau menerangkan aspek-aspek kebenarannya, “Sudahlah! Kamu kan tidak kenal siapa wakil ketua. Saya ini tahu betul siapa dia!”

Disadari atau tidak, seseorang melakukan Falasi Aal karena dipicu oleh tiga motif:

  1. Menutupi kesalahan klaim dan/atau argumen.
  2. Menutupi kekurangan/kelemahan klaim dan/atau argumen.
  3. Menutupi ketiadaan argumen dan data.

Artinya, pada motif ketiga ini, pelaku sesungguhnya tidak punya data dan argumen, lantas dia melakukan Falasi AaL hanya untuk merahasiakan kemiskinan datanya. Motif kriminal bernalar ini benar-benar sudah masuk kategori berbohong.

Maka, dalam Falasi AaL, pelaku memperoleh, setidaknya, dua keuntungan politis dalam bernalar: pertama, menutupi kesalahan atau kelemahan klaimnya dan, kedua, tidak membuka peluang bagi orang lain untuk menguji, menilai, membantah serta menuntut pertanggungjawaban moral atas klaimnya.

“Dia bukan koruptor. Saya teman terdekatnya; saya kenal betul siapa dia. Tidak mungkin dia makan uang haram.”

Ketika sejumlah ayat dalam suatu kitab suci dikritik karena kontradiktif dengan temuan-temuan sains modern, pemuka agama biasanya mengatakan, “Ayat-ayat ini tidak bisa dicerna oleh akal manusia, tetapi hanya harus diterima dan diimani saja.”

Dengan modus-modus seperti itu, pelaku falasi AaL bukan hanya hendak melepaskan diri dari beban tanggung jawab menyakinkan publik secara argumentatif dan manusiawi, tetapi juga menghilangkan apa pun inisiatif berargumentasi, baik dari dirinya maupun dari lawannya.

Pada umumnya, beragam pola dan modus yang digunakan pelaku Falasi AaL berpusat pada satu poros, yaitu membuat lawan bicara tidak bisa menjangkau data dan argumen, atau membuatnya tak berdaya untuk mengakses kebenaran yang diklaim pelaku.

Baca Juga :  Isyarat Literal Ayat Cahaya: Menggali Wahdatul Wujud dari Terjemah Alquran (7): Cara dan Kriteria Mencapai Tauhid

Dengan ungkapan lain, hanya pelaku yang bisa menjangkau kebenaran yang diklaimnya. Dengan cara itu, dia secara curang tidak mengizinkan orang lain mengakses kebenarannya hingga, pada dasarnya, dia telah memonopoli kebenaran yang masih sekedar klaim mentah.

Perhatikan contoh-contoh di atas dan berikutnya. Mata hati, teman terdekat, mengimani kontradiksi, dan batu yang ditendang, semua alasan-alasan ini tidak terjangkau oleh lawan bicara sehingga tertutup peluang membuktikan dan dibuktikan klaimnya.

Artinya, pelaku Falasi AaL seolah-olah hendak menyatakan bahwa dirinya tidak bertanggungjawab mengemukakan argumen dan membuka data bukan karena kekurangan dan kelemahan dirinya, tetapi karena ketakberdayaan lawan bicara.

Ini tampak cukup transparan, baru-baru ini, dari cara seorang menteri senior, melalui jubirnya, merespons permintaan Indonesia Corruption Watch (ICW) agar membuka Big Data “Penundaan pemilu 2024”. Dia mengatakan data tersebut bukan data pemerintah, “milik internal, tak wajib dibuka” (news.detik.com, Senin, 4/4/2022).

Masih dari sumber yang sama, satu pekan berikutnya (Selasa, 12/4/2022), berlangsung debat antara menteri itu dan para mahasiswa pendemo.

Setelah sebelumnya menteri itu mengatakan, “Apa hak kewajiban saya mempertanggungjawabkan saya punya data”, berikut ini cara terakhirnya menjawab tuntutan berkali-kali mahasiswa agar dia membukakan big data (argumen) yang diklaimnya.

Menteri: Dengerin kamu, anak muda! Kamu nggak berhak juga nuntut saya, karena saya juga punya hak untuk memberitahu.

Mahasiswa: Otoriter nih?

Menteri: Kalau otoriter, saya nggak samperin kamu.

Alih-alih berargumentasi dan menunaikan doxastic responsibility, menteri itu justru merasa tidak punya tanggung jawab. Dan itu benar sepenuhnya bila setiap orang punya hak moral untuk tidak mengargumentasikan klaimnya selama itu masih urusan pribadi.

Akan halnya di hadapan publik menyatakan punya big data yang terkait dengan urusan banyak orang dan masa depan bangsa, maka setiap orang berkewajiban moral secara aktif menyempurnakan pernyataan pendapat di depan publik dengan tanggung jawab membawakan data, entah diminta ataupun tidak.

Dengan respon yang diulang-ulang, menteri itu seperti hendak mengais-ngais sendirian big data, bila memang itu ada, sebagai kebenaran atau tepatnya pembenaran yang, sejauh ini, diklaim oleh dirinya sendirian. Dan publik harus puas dengan kemungkinan minimum mengakses data yang, kalau tidak dikatakan terkesan otoriter, dipeluk habis secara monopoliter.

Baca Juga :  Presiden RI: Bacaan Pertama Saya adalah Alquran

Di balik keengganan menteri membuka big data yang diklaimnya, dia seolah-olah hendak mengatakan, “Rahasia, dong!” atau, “mau tahu aja!” Kini, Logika Falasi tampaknya diuntungkan oleh sekapasitas pejabat tinggi negara yang, sadar atau tidak, telah memperkaya falasi ini dengan modus yang terbilang baru: argumentum ad big data.

Falasi AaL itu dilakukan hingga berbuntut pada falasi lain saat menteri mengatakan, “Kamu nanti mau jadi besar. Saya nasehatin kamu!” Mahasiswa itu dibuat tak berdaya nalarnya dengan cara menteri menyinggung keadaannya sekarang yang masih kecil dan masih belum sebesar dirinya. Lagi-lagi, substansi nasihat dan kebenaran itu tak terungkap karena berlindung, selain pada Falasi AaL, juga di bawah falasi “meracuni sumur” semirip falasi ad hominem.

Tentu saja, sesuai Sila Kedua, setiap orang yang berperikemanusiaan dan beradab dituntut agar menghargai hak setiap orang berpendapat dan berbeda pendapat.

Yang justru bi-adab (tanpa adab) dan tak berperikemanusiaan ialah berbicara tanpa data, tak ubahnya dengan men-tackle lawan di gelanggang demokrasi dan kebebasan dengan sekedar asal beda, berpendapat asal nyaring, membuat klaim tanpa akal sehat selain nafsu dan hasrat. Geretak tulang betis ketakberadaban itu turut ditentukan volumenya oleh duduk masalah yang dibicarakan.

Orang yang menerima apa saja yang mengetuk gendang telinga telah menanggalkan kemanusiaan. Kata-kata Ibnu Sina, logikawan besar abad IX, ini memperingatkan kebinatangan seseorang yang tidak kurang bi-adab dan tak manusiawinya dengan orang yang berbicara tanpa argumen.

Wajarnya dan beradabnya, setiap orang normal akan membawakan data dan argumen untuk meyakinkan klaim dan pengakuannya di hadapan publik. Tanpa menunggu dituntut untuk mengajukan atau membuka data, orang beradab akan merendah hati, berjiwa besar, pemberani, kesatria dan negarawan dengan bertanggung jawab sepenuhnya membuktikan kebenaran klaimnya sendiri.

Share Page

Close