• LAINYA

[arabic-font]كِتاَبٌ أَنْزَلْناَهُ إِلَيكَ مُبارَكٌ لِيَدَّبَّرُوا آيـَاتِهِ وَ لِيَتَذَكَّرَ أُولُوا الْأَلْباَبِ[/arabic-font]

“Sebuah kitab yang Kami turunkan kepadamu sebagai sumber-kebaikan agar mereka merenungkan tanda-tanda [nyata]-Nya dan agar orang-orang berakal menjadi sadar.”

(QS. Shad [38]: 29)

Studi Kebahasaan

 Hadis

  • Diriwayatkan oleh Ibnu Jarir dari Al-Sudiy bahwa ia berkata, “Ulū al-albāb yaitu orang-orang yang berakal di antara masyarakat” (Jalaluddin Al-Suyuthi, Al-Durr Al-Mantsūr, jld 12, hlm. 564).
  • Diriwayatkan oleh Ahmad bin Muhammad dari Sulai Al-Farra’ dari Abu Abdillah (Imam Ja’far Al-Shadiq) bahwa ia berkata, “Seorang beriman hendaknya tidak sampai meninggal dunia sampai dia telah belajar Al-Quran atau sedang mengajarkannya” (Al-Kulaini, Ushūl Al-Kāfī, jld. 2, hlm. 607).

Tadabur

  • Turunnya Al-Quran selalu disertai dengan keberkahan dan kebaikan. Maka, penurunannya ke hati Nabi SAW bukan sekedar transfer informasi, tidak pula Nabi yang mulia melakukan intervensi pribadi terhadapnya.
  • Kitab suci ini merupakan sumber kebaikan dan penuh berkah. Allah SWT yang menjadikannya penuhi berkah. Jadi, tidak ada masalah bertabaruk dengan Al-Quran, yakni berharap memperoleh kebaikan melimpah dari Al-Quran.
  • Tentunya, bertabaruk bukan semata-mata fenomena fisik seperti: mencium dan mengangkat di atas kepala, tetapi bertabaruk dengan cara sebagaimana tercantum dalam ayat, yaitu bertadabur (merenungkan) dan bertadzakur (ingat dan sadar) sehingga, dengan memahami kandungan Al-Quran dan komit pada ajaran serta hukumnya, kita bisa mewarnai hidup kita dengan berkah dan kebaikannya.
  • Baca juga: QS. Maryam [19]: Ayat 96; Syarat Menjadi Manusia Rahmatan Lil Alamin
    Baca juga: QS. Al-Anbiya’ [21]: Ayat 105; Masa Depan Dunia Dan Pelaku Sejarah Masyarakat
    Baca juga: QS. Al-Jatsiyah [45]: Ayat 3; Melihat Rahasia Allah Di Balik Segala Sesuatu
    Baca juga: QS. Al Imran [3]: Ayat 169; Jihad Dan Syahid, Dua Ajaran Unik Dan Istimewa

  • Berdasarkan ayat di atas, Al-Quran diturunkan dengan dua tujuan: (1) tadabur, yakni untuk memperoleh pemahaman baru dan (2) tadzakur, yaitu keluar dari kondisi lalai dan lupa. Jadi, ketika kita membaca dan menghafal Al-Quran tidak semata-mata untuk memperoleh pengetahuan dan arahan baru, tetapi juga untuk membangun diri agar ingat dan sadar.
  • Semua orang didesak oleh Al-Quran agar merenungkan ayat-ayatnya. Akan tetapi, tadzakur (ingat dan sadar) hanya dikaitkan dengan ulu al-albab, yakni hanya orang-orang yang berakal jernih dan murni merekalah yang diharapkan dapat ingat dan sadar. Subjek dalam kata kerja yaddabbarū (mereka merenungkan) adalah semua orang. Akan halnya kata kerja yatadzakkara (ingat/sadar), subjeknya adalah ulū al-albāb (orang-orang yang berakal).
  • Oleh karena itu, sekelompok manusia yang akalnya tercemari atau malah dikalahkan oleh kekuatan nafsu, boleh jadi tidak hanya lalai, tak sadar dan jauh dari petunjuk Al-Quran, justru mereka menjadi sesat dengan Al-Quran itu sendiri. Misalnya, nyamuk yang dikemukakan Al-Quran (QS. Al-Baqarah [2]: 26) sebagai perumpamaan saja bisa menjadi sumber petunjuk bagi banyak orang, bisa juga jadi faktor kesesatan sebagian orang, yakni orang fasik.
  • Memiliki akal murni bukan berarti hanya memahami, tetapi juga akalnya harus benar-benar murni dan jernih sehingga dia layak memperoleh kesadaran dan kembali ingat. Konklusinya, sedemikian besarnya seseorang memerlukan akal murni untuk menjadi ingat, sadar dan keluar dari kondisi lalai sehingga pemahaman merupakan salah satu langkah yang harus diambil.
  • Ingat dan sadar bukan semata-mata keadaan psikologis, tetapi juga pengalaman kognitif dan pengetahuan objektif akan suatu realitas. Maka, kesadaran orang yang berakal murni dan jernih adalah pengetahuan dan keyakinan yang berpijak di atas pemahaman dan argumentasi. Oleh karena itu, dalam ayat di atas, tadabur dan merenungkan disebutkan lebih dahulu dari tadzakur dan sadar.
  • Pemahaman seseorang, sekalipun objektif dan benar, tidak dikatakan sebagai akal murni selama tidak membangun kesadaran, mawas diri, ingat diri. Pemahaman objektif dan benar juga tidak berarti bila membiarkan akal dan hatinya dicemari nafsu dan keinginan kotor. Maka, kesempurnaan manusia terletak pada dimensi objektif, yakni pemahaman yang benar, dan dimensi subjektif, yakni kesadaran dan mawas diri.
  • Akal murni dan nalar jernih merupakan ciri dasar manusia yang bisa dioptimalkan untuk menyerap kandungan Al-Quran. Maka, dalam logika quranik, berpikir dan menggunakan akal adalah konsekuensi bertuhan dan beragama, bukan malah ditempatkan bertentangan dengan agama.
  • Dalam ayat digunakan kata anzalnā yang berarti penurunan sekaligus (daf‘iy) sebagai antonim dari nazzalnā yang berarti penurunan berangsur (tadrijiy). Sejurus dengan ini, keniscayaan bertadabur dan bertadzakur ialah mempelajari ayat-ayat Al-Quran secara holistik, komprehensif dan keseluruhan, bukan parsial dan terpisah-pisah (Muhammad Husain Al-Thabathaba’i, Al-Mīzān fī Tafsīr Al-Qur’ān, jld. 17, hlm. 197).
  • Keholistikan dalam tadabur Al-Quran ini tidak berarti bahwa kita tidak bisa merenungi ayat per ayat, tetapi merenungi setiap ayat tidak sepenuhnya mandiri dan terpisah dari ayat lain, karena Al-Quran mencakup ayat jelas (muhkam) dan ayat nir-jelas (mutasyābih), ayat penghapus (nāsikh) dan ayat terhapus (mansūkh), ayat mutlak dan ayat terikat (muqayyad), dan ayat lainnya. Oleh karena itu, perlu dipastikan bahwa makna yang digali dari satu ayat harus koheren dan sesuai dengan kandungan ayat lain atau, setidaknya, tidak ditentang oleh ayat lain.
  • Sebagai kitab sumber kebaikan dan karunia, kebaikan Al-Quran abadi dan menyeluruh untuk seluruh manusaia. Oleh karena itu, tadabur dan tadzakur Al-Quran tidak ada batas akhirnya. Setiap orang bisa melahap hidangan Al Quran. Bahkan dengan banyaknya ratusan kitab tafsir dan ribuan mufasir, Al-Quran masih saja merupakan mata air yang terus memancar dan mengalirkan pengetahuan, wawasan, dan pencerahan. Setiap orang yang ingin memperoleh manfaat dari Al-Quran akan merasakan kesegaran kandungan, hikmah, dan pesannya.
  • Dalam konteks tanggung jawab, setiap peluang dan kemudahan akan mendatangkan tanggung jawab yang setimpal. Maka, jika Al-Quran kitab yang senantiasa melimpahkan banyak berkah dan kebaikan, tentu juga mendatangkan tanggung jawab yang sama kadar beratnya, yaitu tadabur dan tadzakur. Dengan kata lain, tadabur dan tadzakur merupakan keniscayaan dan tanggung jawab yang muncul dari keberkahan Al-Quran.[ph]

Share Page

Close