• LAINYA

TAFSIR-SUFI–Salah satu ajaran yang lazim disoroti kontroversial di dunia kesarjanaan Islam adalah Wahdatul Wujud, yaitu doktrin Kesatuan Ada yang beredar populer di banyak kalangan sufi dan menjadi identitas mereka sejak dirumuskan secara sistematis oleh Ibnu Arabi dan terutama oleh muridnya, Shadruddin al-Qunawi (Dana, 2019). Sebelum dan setelah mereka, penganut Wahdatul Wujud bangga dengan doktrin ini sebagai prestasi tertinggi dari pengalaman mereka mencapai asas Tauhid. Nama-nama besar seperti: Abu Manshur Hallaj di Baghdad, Najmuddin Kubra Al-Razi di Khurasan, atau Syeikh Siti Jenar di Jawa bahkan ikhlas menerima antara dihukum mati atau mati dalam penjara.

Sederhananya, Wahdatul Wujud ialah doktrin yang memastikan, dengan pengalaman ruhani dan mata hati, bahwa Ada (wujud) itu hanya satu, yaitu Allah Al-Haqq. “Para pengenal (al-‘arifun), setelah mencapai langit hakikat, sepakat bahwa mereka tidak melihat dalam realitas kecuali Yang-Satu Mahanyata.” (Ghazali, 1986, p. 139). Ada [1], keberadaan, kenyataan, realitas atau apa pun kita menyebutnya adalah identik dengan Allah; Ada adalah Allah dan Allah adalah Ada. Doktrin Tauhid ini menjadi bulat dengan penegasan sufi atas konsekuensinya bahwa apa saja selain Allah sesungguhnya tidak ada kecuali hanyalah tampakan (tajalli) Ada-Nya. Satu keping dua sisi Tauhid ini adalah hakikat yang dicapai di puncak penyucian jiwa dan suluk (penempuhan ruhani) dalam kerangka syariat.

Sebaliknya, doktrin Wahdatul Wujud itu kerap menjadi referensi sebagian kalangan untuk menjatuhkan hukum haram, bid’ah, sesat bahkan kafir ke atas penganutnya. Artinya, sebagian muslim menghukumi sesat/kafir muslim lain yang merasa paling beriman, yakni meyakini tauhid tertinggi. Pada saat yang sama, semua pihak sepakat mengklaim diri mereka sebagai pemegang tulus asas Tauhid. Mereka juga sama-sama menempatkan Alquran sebagai basis utama membangun argumentasi atas klaim masing-masing.

Baca Juga :  Isyarat Literal Ayat Cahaya: Menggali Wahdatul Wujud dari Terjemah Alquran (3): antara Kafir dan Tidak

Lalu, bagaimana Alquran sendiri menilai sikap dan keyakinan dari dua kelompok yang mengklaim diri sama-sama percaya pada Alquran? Apakah doktrin Wahdatul Wujud itu dapat digali dari rahim Alquran ataukah justru merupakan pemahaman bid’ah yang dicari-cari pembenarannya dari Alquran?

 

METODE

Sebelum menggali kandungan Wahdatul Wujud dari dalam ayat Cahaya, perlu segera dikemukakan metode penggaliannya. Metode ini setidaknya tidak jauh dari metode sebagian kalangan penentang Wahdatul Wujud itu sendiri dalam memahami teks suci agama, yaitu metode literalisme (al-dzahiriyyah) (Shirafkan, 2018), bahkan dalam bentuknya yang paling elementer, yakni di tahapan penerjemahan dan sebelum penafsiran. Atas dasar metode ini, telaah atas Wahdatul Wujud ditempuh dengan menganalisis makna harfiah yang diperoleh dari sekedar penerjemahan literal atas ayat Cahaya.

Berpijak di atas tiga doktrin tasawuf, yakni (a) di balik setiap zahir ada batin, (b) batin tidak bertentangan dengan zahir, dan (c) zahir merupakan jembatan menjangkau batin (Roudgar, 2018, p. 290), maka pijakan ini juga berlaku dalam memahami teks suci. Dengan demikian, setiap teks suci memiliki makna zahir dan makna batin, di antara dua makna ini tidak ada pertentangan, dan untuk menjangkau makna batin harus melalui zahir. Maka, makna zahir adalah satu-satunya pintu masuk menelusuri kandungan batin ayat, dan dari makna zahir itu pula penelusuran dan penggalian dimulai.

Makna zahir yaitu makna tersurat, makna literal, makna harfiah, makna yang pertama kali terlintas dalam pikiran (al-tabadur fi al-dzihn) dari sekedar membaca teks. Sesuai kaidah hujjiyyat al-dzuhur (validitas makna zahir) dalam Ushul Fiqih, makna zahir yang diperoleh dari teks dapat dijadikan pegangan (al-Shadr, 1989, p. 147; al-Zaruqi, 2017, p. 894). Pola lazim dan jenjang awal dari memaknai teks secara literal adalah penerjemahan, yakni pemadanan satu kata dalam teks asli dengan kata lain di teks tujuan berdasarkan makna harfiahnya (Fauzi, 2020, p. xxiv).

Baca Juga :  Ayat Wahdatul Wujud (1): Al-Kahf [18]: 38, “Aku Dialah Allah”

Karena itu, pertama, kandungan ayat Cahaya akan digali dengan mengacu kepada terjemahan ayat sebagai makna paling literal untuk dijadikan titik tolak penggalian dan penafsiran sufistik. Kedua, terjemah relatif berbeda dengan tafsir, yakni pertama-tama mengganti kata asli dalam bahasa asal dengan kata padanan dalam bahasa sasaran berdasarkan makna harfiahnya kemudian menafsirkannya, dan tafsir berperan menjelaskan maksud dari makna tersebut. Ketiga, kendati sulit, penerjemahan literal (harfiah) sebagian besar Alquran tidak mustahil terlaksana, sebagaimana yang ghalib diterapkan oleh Departemen Agama dalam Alquraan dan Terjemahnya (Hanafi, 2011). Setidaknya, metode terjemah literal ini dapat sepenuhnya berlaku pada ayat Cahaya.

Uniknya, metode literalisme ini tidak tampak dalam penerjemahan Kementerian Agama RI atas ayat yang sama. Baik dalam Al-Qur’an dan Terjemahnya (2010) juga dalam Al-Qur’an dan Tafsirnya (Departemen Agama RI, 2010, v. 6, p. 604), ataupun dalam bentuk aplikasi Android versi terbaru (2018), penggalan awal ayat Cahaya diterjemahkan begini: “Allah adalah (pemberi) cahaya (kepada) langit dan bumi”. Ini agaknya sudah bukan terjemahan lagi, tetapi tafsiran dari penerjemah. Dalam ayat tidak ada kata Arab yang bisa dipadankan dengan ‘pemberi’ sehingga, suka atau tidak, penerjemah terdesak untuk juga memasukkan kata ‘kepada’. Karena itu, dalam terjemahan tersebut, kata ‘pemberi’ dan ‘kepada’ diletakkan dalam tanda kurung sebagai tafsiran dari penerjemah.

Bertolak dari metode ini, penggalian Wahdatul Wujud akan berlangsung sepanjang beberapa topik berikut:

  1. Wahdatul Wujud: Cahaya Allah atau Cahaya Makhluk
  2. Wahdatul Wujud: Hulul dan Itihad: antara Kafir dan Tidak
  3. Wahdatul Wujud: Makhluk antara Ada dan tidak Ada
  4. Wahdatul Wujud: di Awal Alquran
  5. Wahdatul Wujud: antara Afirmasi dan Negasi
  6. Wahdatul Wujud: Cara dan Kriteria Mencapai Tauhid
Baca Juga :  Turki Heboh! Nabi Nuh Pakai HP Hubungi Anaknya Sebelum Banjir

  

  1. Wahdatul Wujud: Cahaya Allah atau Cahaya Makhluk

Sekilas saja mencermati penggunaan kata nur (cahaya) di sepanjang Alquran, akan dijumpai banyak makna tafsiran, di antaranya Islam, petunjuk, kebenaran, nabi, Alquran, bukti, ilmu, iman, keadilan, termasuk sinar empirik seperti sinar bulan.

Bersambung ke “Isyarat Literal Ayat Cahaya: Menggali Wahdatul Wujud dari Terjemah Alquran (2): Cahaya Allah atau Cahaya Makhluk”

 

 

—————

[1] Kata “Ada” dicetak dengan awalan A besar untuk secara konsisten dikonvensi sebagai padanan kata benda untuk kata Arab wujud, sinonim dengan keberadaan, kenyataan, eksistensi. Kata “Ada” ini berbeda dengan “ada” sebagai kata kerja atau kata sifat yang sinonim dengan kata terdapat dan nyata. Ini kurang lebih mirip dengan konvensi yang dilakukan oleh filosof Barat dalam membedakan Being dan being.

 

 

Share Page

Close