• LAINYA

FILSAFAT-LOGIKA–Kalau memang segala sesuatu ini mengada dan menjadi ada karena diadakan oleh Tuhan, lalu Tuhan sendiri diadakan oleh siapa? Kalau memang segala sesuatu ada sebabnya, lantas siapa sebab yang menciptakan Tuhan?

Pertanyaan ini biasa muncul di pikiran banyak orang, mulai dari anak remaja sampai orang dewasa bahkan sehebat Bertrand Russell, filosof asal Inggris. Intensitas kemunculannya pun dialami oleh orang beragama hingga diulang-ulang oleh kalangan ateis.

Berikut ini lima cara menjawab pertanyaan di atas:

Pertama, pertanyaan ini berdasar pada premis “segala sesuatu memiliki sebab”. Hanya saja premis ini tidak sepenuhnya benar. Tidak segala sesuatu atau tidak segala yang ada itu bersebab (memiliki sebab). Artinya, ada sesuatu (realitas) yang tidak bersebab.

Karena, jika segala sesuatu itu bersebab, maka semua yang ada ini hanyalah kumpulan akibat. Yakni, apa saja yang ada, termasuk Tuhan, berstatus sebagai akibat yang, kalaupun ada yang berstatus sebagai sebab, toh pada hakikatnya dia juga adalah akibat dan objek penciptaan. Ini mustahil, yakni mustahil ada akibat tanpa sebab.

Oleh karena itu, premis “segala sesuatu memiliki sebab” yaitu segala sesuatu yang berstatus sebagai akibat pasti memiliki sebab. Dan premis ini tidak berlaku pada Tuhan, karena, sekali lagi, Tuhan adalah realitas yang tak bersebab (lihat Tuhan itu Ada (1): bagaimana Membuktikan dan Memastikan ada-Nya?).

Kedua, pertanyaan di atas itu salah alamat atau tak beralamat. Pertanyaan itu hanya berlaku pada segala sesuatu yang bersebab, yakni pada akibat. Maka, pertanyaan ini tidak berlaku pada realitas yang tak bersebab, yaitu Tuhan.

Dengan kata lain, pertanyaan di atas itu bertolak dari asumsi bahwa Tuhan ada. Yakni, jika kita terima Tuhan itu ada, lantas siapa yang mengadakan/menciptakan Tuhan? Akan halnya bila kita terima Tuhan itu ada sekaligus tak bersebab (sebagaimana keyakinan orang beriman), maka pertanyaan itu tidak relevan dan salah alamat ditujukan kepada orang beriman.

Baca Juga :  Ibnu Taimiyah dan Ibnu Athaillah: Dialog Santun dan Klarifikasi antara Faqih dan Sufi

Ketiga, pertanyaan itu sendiri absurd, kontradiktif di dalam dirinya sendiri (self-defeating), pertanyaan bunuh diri. Coba amati sekali lagi! Tuhan dalam pertanyaan “siapa yang menciptakan Tuhan?” sudah diasumsikan sebagai objek penciptaan, yakni ciptaan dan makhluk (yang-diciptakan).

Jadi, pertanyaan itu sesungguhnya berbunyi begini: “Siapa yang menciptakan Tuhan yang makhluk itu?” Tuhan yang diyakini oleh orang beriman adalah Tuhan pencipta segala sesuatu, maka Tuhan yang makhluk sama saja bukan Tuhan, bukan pencipta, tetapi makhluk dan objek ciptaan.

Keempat, bila terpaksa menjawab pertanyaan di atas, “siapa yang menciptakan Tuhan?”, jawabannya adalah Tuhan. Yakni, yang menciptakan Tuhan adalah Tuhan. Dalam pertanyaan dan jawaban ini, sudah diasumsikan ada dua realitas: Tuhan yang mencipta dan Tuhan yang dicipta. Maka ada dua Tuhan: Tuhan Pencipta dan tuhan ciptaan. Bagaimanapun Tuhan pasti ada: ada yang mencipta dan ada yang dicipta. Tinggalkan pertimbangan masing-masing orang: mau memilih Tuhan yang mana?

Kelima, Tuhan tidak bersebab; Dia ada dan sama sekali bukan akibat, bukan objek penciptaan apa pun selain diri-Nya, karena keberadaan-Nya adalah dirinya sendiri; diri-Nya adalah keberadaan-Nya itu sendiri, keberadaan adalah esensi-Nya. Karena itu, Dia tidak butuh pada selain diri-Nya (lihat Tuhan itu Ada (1): bagaimana Membuktikan dan Memastikan ada-Nya?).

Sekedar analogi, asin-nya tahu berasal/akibat dari garam. Namun, asin-nya garam itu sendiri adalah esensial. Yakni, garam itu asin dengan sendirinya dan pada dirinya sendiri, tidak diasinkan dan menjadi asin oleh yang lain. Garam pada esensinya sudah asin.

Begitu juga masakan berlemak karena berminyak, sementara minyak itu sendiri berlemak pada dirinya sendiri. Minyak pada esensinya sudah berlemak. Garam dan minyak diciptakan dengan segenap esensinya, yaitu asin dan berlemak.

Baca Juga :  Peta Konflik antara Akal Manusia dan Wahyu Tuhan

Satu lagi, malam berganti siang karena ada terang. Dan terang ada karena ada cahaya, sementara cahaya itu sendiri pasti terang pada dirinya sendiri. Ada cahaya, maka ada terang. Keterangan dan penerangan cahaya adalah esensi cahaya itu sendiri. Jadi, jika ditanyakan, “mengapa cahaya itu terang?”, tidak ada jawabannya karena masalahnya ada di pertanyaan dan pada penanya, bukan pada objek yang ditanyakan.

Seperti itulah mendekatkan Tuhan itu ada pada dirinya sendiri; keberadaan Tuhan adalah esensi-Nya, dan esensi Tuhan adalah keberadaan-Nya. Maka, menanyakan sebab keberadaan-Nya tidak relevan. Sekali lagi, pertanyaan salah alamat.

Seperti pernyataan, pertanyaan juga ada yang benar dan ada yang salah. Pertanyaan salah tidak perlu ditanggapi dan tidak ada tanggung jawab untuk dijawab. apa pun jawaban yang dibuat lantaran terhasut oleh pertanyaan salah adalah salah. Hanya pertanyaan benar yang logis dan layak ditanggapi.

Jadi, orang-orang yang percaya keberadaan Tuhan tidak punya masalah. Justru masalah ada pada diri penanya. Dengan membuat pertanyaan seperti di atas seolah-olah sedang membuat-buat masalah untuk diri sendiri. Maka, sebelum merasa bertanggung jawab memikirkan jawaban, cukup adil kiranya membantu penanya untuk menyelesaikan tanggung jawabnya meluruskan pertanyaannya sendiri.

“Kita adalah makhluk suka menyalahkan pihak di luar, tidak menyadari masalah biasanya berasal dari dalam diri sendiri” (Imam Al-Ghazali).

Share Page

Close