• LAINYA

POLITIK-SEJARAH–Kemungkinan besar inilah pengalaman pertama prank dalam dinamika internal politik umat Islam. Tidak sembarangan, pelaku dan korbannya adalah dua nama besar: Amru bin Ash dan Abu Musa Al-Asy’ari. Kendati prank dilakukan tanpa keseriusan atau, sebut saja, kriminalitas kecil yang dimaklumi, prank-prank dalam politik bisa benar-benar serius, apalagi dipermainkan di level tinggi.

Ceritanya bermula dari perang Shiffin (Juli 657 M). Pasukan Khalifah Keempat, Ali bin Abi Thalib, bertempur hingga memukul mundur pasukan tangguh Damaskus yang dikomandani langsung oleh gubernurnya, Mu’awiyah bin Abu Sufyan. Berada di ambang kekalahan, Mu’awiyah yang menolak patuh di bawah pemerintahan Khalifah Keempat itu berkonsultasi dengan penasehat cerdasnya, Amru bin Ash, untuk segera memutar otaknya menyelamatkan pihaknya dari kekalahan.

Atas ide cerdik Amru, Mu’awiyah menginstruksikan setiap prajurit agar mengangkat Alquran di atas tombak sebagai deklarasi bahwa kita semua sama-sama Muslim, dan Alquran harus menjadi hakim pemutus perkara di antara kita.[1]

Meski Ali bin Abi Thalib menolak dan memperingatkan pasukan akan tipu muslihat musuh, rupanya “prank” ini berhasil menjebak sejumlah komandannya seperti Asy’ats bin Qais. Sebaliknya, mereka malah memaksa Ali sebagai panglima tertingginya itu agar menerima tawaran Mu’awiyah untuk menghentikan peperangan. Mereka bahkan memaksa Ali dengan mengancam akan membunuh Malik Ashtar yang sudah tinggal beberapa langkah saja dari kemah Muawiyah.

Dalam situasi kacau dan genting itu, Ali menerima muslihat Mu’awiyah dan memanggil Malik Asytar dan pasukannya agar kembali ke barak untuk mengakhiri perang dan terdesak untuk segera memulai perundingan. Lewat sepucuk surat, Ali menyapakati desakan itu dan mengingatkan kepada Mu’awiyah bahwa engkau sedang memperalat Alquran.[2]

Mu’awiyah yang selalu diuntungkan dengan kecerdikan Amru ibn Ash, kali ini, memilihnya sebagai utusan perundingan. Sementara Ali bin Abi Thalib menunjuk dua sahabat Nabi SAW, Ibnu Abbas dan Malik Ashtar, sebagai utusannya, namun lagi-lagi ditentang oleh sekelompok pasukannya yang memaksanya menghentikan perang dan menerima tawaran Mu’awiyah tadi itu. Kali ini, mereka sendiri memilih Abu Musa al-Ash’ari sebagai utusan mereka berunding dengan Amru bin Ash.

Baca Juga :  Filsafat Manusia dalam Alquran (4): Kesatuan Manusia (2): Kesatuan Ruhani Manusia (Integrasi)

Di hadapan kepolosan sejumlah komandan dan pasukan, Ali tidak bisa berbuat apa-apa selain menerima pilihan mereka. Selebihnya, ia hanya bisa mengutus banyak orang, termasuk Ibnu Abbas dan Malik Ashtar, untuk menjumpai Abu Musa, menasihatinya agar hati-hati dan membekalinya dengan arahan-arahan.[3]

Ketika Ibnu Abbas menyampaikan pesan Ali kepada Abu Musa melalui Uday ibn Hatim, Abu Musa membalas, “Kalian tidak perlu campur tangan dalam urusan penting ini. Kalian tidak perlu menasihati saya yang dipilih semua kaum Muslimin.” Kemudian dia mengarahkan pembicaraannya kepada Amru bin Ash, “Mulai sekarang, perundingan kita rahasia saja; tidak perlu ada orang yang tahu bagaimana perundingan kita berlangsung.”

Seperti ketiban bulan, Amru ibn Ash menyambut gembira tawaran Abu Musa. Dia segera memerintahkan pasukannya mendirikan tenda perundingan. Di situlah mereka berdua bertukar pikiran dan bernegosiasi selama berhari-hari.

Akhirnya, mereka keluar dari tenda dengan satu kesepakatan: masing-masing akan melengserkan Ali bin Abi Thalib juga Mu’awiyah bin Abu Sufyan dari kekuasaan dan menyerahkan kekhalifahan Muslimin kepada majelis permusyawaratan (syura).

Hari pengumuman kesepakatan telah tiba. Dengan kecerdikannya, Amru ibn Ash mempersilahkan Abu Musa Al-Asy’ari untuk lebih dahulu naik mimbar dan memyampaikan hasil perundingan. Sempat ditahan oleh Ibnu Abbas dan Malik Asytar agar Amru bin Ash lebih dahulu berbicara, namun Abu Musa dengan tulusnya menuruti “kebaikan hati” Amru.[4]

Di atas mimbar, Abu Musa membuka pidato dan melengserkan Ali. Begini kata-katanya:

“Dengarkan warga semua! Agar muslimin dapat hidup nyaman dan tidak ada pertikaian di antara mereka, Amru bin Ash dan saya sepakat untuk melengserkan Ali dan Mu’awiyah dari kekhalifahan sehingga umat Islam sendiri membentuk dewan dan memilih orang yang berhak serta layak menjadi khalifah. Maka, atas nama warga Hijaz dan Irak, saya lengserkan Ali dari kekhalifahan segera setelah saya lepaskan cincin saya ini dari tangan saya.”

Baca Juga :  Tafsir Al-Mishbah, Karya M. Quraish Shihab, Unduh Lengkap dan Mudah

Ketika giliran Amr ibn Ash tiba naik mimbar, alih-alih melengserkan Mu’awiyah, dia menyetujui dan mengulang pelengseran Ali oleh Abu Musa itu sekaligus mengangkat Mu’awiyah sebagai khalifah. Begini kata-katanya:

“Karena perselisihan antara Ali dan Mu’awiyah telah menyebabkan konflik dan kekacauan ini. Abu Musa baru saja melengserkan Ali. Saya juga setuju dengan sikap dan keputusannya. Kini, saya akan menunjuk Mu’awiyah sebagai khalifah karena dia pantas menduduki posisi ini.”[5]

Spontan saja, setelah pidato itu, kegaduhan memanaskan suasana arbitrase. Sementara Abu Musa Al-Asy’ari tampak begitu geram. Dengan nada kesal diprank seperti ditusuk dari belakang, dia membaca keras senada ayat ini ditujukan kepada Amru:

فَمَثَلُهُ کَمَثَلِ الْکَلْبِ إِنْ تَحْمِلْ عَلَیْهِ یَلْهَثْ أَوْ تَتْرُکْهُ یَلْهَثْ
“Maka perumpamaannya seperti anjing: jika kamu menghalaunya dia menjulurkan lidahnya, dan jika kamu membiarkannya dia tetap menjulurkan lidahnya.” (QS. Al-A’raf [7]: 176).

Sementara Amru menoleh kepada Abu Musa dan membalasnya dengan senyum kecut sambil membaca senada ayat ini:

مَثَلُ الَّذِینَ حُمِّلُوا التَّوْرَاهَ ثمَّ لَمْ یحْمِلُوهَا کَمَثَلِ الْحِمَارِ یحْمِلُ أَسفَارَا
“Perumpamaan orang-orang yang diberi tugas membaca Taurat kemudian mereka tidak mengamalkannya seperti keledai yang membawa kitab-kitab tebal” (QS. Al-Jumu’ah [62]: 5).

Begitulah para sejarawan Islam mencatat perundingan dan kesepakatan itu diumumkan oleh dua utusan pihak-pihak berperang tanpa sama sekali menyinggung Alquran.[9]

Hasil terpenting dari arbitrase bagi pihak Mu’awiyah adalah bahwa, sejak saat itu, warga Damaskus (pusat kekuasaan Mu’awiyah) menerima Mu’awiyah sebagai khalifah dan menyebutnya dengan gelar khalifah: Amirul Mukminin.

Sementara bagi pihak Ali dan warga Irak dan Hijaz, hasil arbitrase itu menjadi penyulut sengketa lain di antara mereka sendiri. Sebelum hasil itu ditolak Ali bin Abi Thalib, Abu Musa Al-Asy’ari sudah lebih dulu mengingkarinya karena kepolosan dalam berpolitik hingga jadi korban prank dari politikus secerdas Amru bin Ash.

Baca Juga :  Visi Keperadaban Filsafat Muhammad Iqbal (3): Patologi Peradaban, Bahaya Filsafat

Ali sendiri menyatakan sikapnya demikian, “Tetua kalian telah memilih dua orang itu untuk jadi penengah. Kita juga sudah mengambil komitmen dari dua orang itu agar berada dalam koridor Alquran. Sayangnya, mereka kehilangan akal sehat hingga meninggalkan kebenaran, padahal mereka menyadarinya dengan baik. Karena kezaliman sejalan dengan nafsu mereka, mereka malah bergerak bersama kezaliman. Sebelum arbitrase mereka yang zalim itu, kami sudah menetapkan syarat agar mereka memutuskan dengan keadilan dan atas dasar kebenaran, namun mereka tidak mematuhinya.”[6]

Selain Ali dan Abu Musa, sekelompok pasukan yang sejak awal telah memaksa Ali untuk menerima tawaran penghentian peperangan dan arbitrase dari Mu’awiyah juga bergabung dengan para penentang hasil arbitrase ini. Bahkan, di mata mereka, menerima hasil arbitrase itu adalah kafir dan dosa besar. Dengan bangga mereka lantas mengatakan bahwa kami menyesal dan bertaubat, lalu menuntut Ali agar juga segera bertaubat.

Ali menolak anggapan dan tuntutan kelompok itu. Ia juga berdebat dengan mereka dengan ayat-ayat Alquran.[7] Sejak itulah orang-orang ini kemudian dikenal dengan nama Khawarij dan segera berubah menjadi salah satu musuh utama Ali bin Abi Thalib.

*Untuk referensi selengkapnya, bisa menghubungi redaksi: redaksi.quranika@gmail.com

Share Page

Close