• LAINYA

FILSAFAT-AGAMA–Kalangan beriman, terutama dari filosof, teolog dan sufi Muslim, menanggapi sanggahan dan Argumen Kejahatan dari pihak ateis itu dengan berbagai penjelasan. Pada intinya, orang beriman menerima bahwa penderitaan dan ketakberuntungan manusia di dunia ini adalah fakta nyata yang, betapapun keras dan kejamnya, tidak bertentangan ataupun menggugat kemahakuasaan serta kemahabaikan Tuhan.

Di kalangan umat Islam, orang pertama yang secara langsung menjelaskan konsistensi antara (a) penderitaan manusia di dunia dan (b) keberadaan Tuhan yang Mahakuasa dan Mahabaik adalah sahabat Nabi SAW yang pertama menerima Islam, Ali bin Abi Thalib. Ia dikenal dengan gelar pemimpin ahli tauhid (mawla al-muwahhidin) dan oleh pendiri Filsafat Pencerahan (hikmat al-isyraq), Shihabuddin Suhrawardi, dihormati sebagai pemimpin para filosof (ra’is al-hukama’).

Pada hemat Ali, kontradiksi antara (a) dan (b) hanya benar-benar terjadi bila, sekali lagi, hanya bila kedua-duanya sama-sama benar. Sebaliknya, dengan meragukan salah satunya, maka kontradiksi itu bukan saja tidak terjadi, tetapi yang terjadi justru konsistensi. Di sini Ali, pertama-tama, seperti juga orang beriman lainnya, meyakini kebenaran (b) sepenuh-penuhnya, yakni bahwa Tuhan itu ada sebagai Realitas yang Mahakuasa dan Mahabaik, sekalipun dalam kenyataan yang tampak buruk dan dirasakan pahit di dunia ini.

Kedua, keyakinan ini tidak tergugat oleh (a), karena (a) masih dapat dipertanyakan realitasnya: benarkah penderitaan manusia di dunia ini sungguh-sungguh penderitaan? Benarkah, misalnya, COVID-19 itu sepenuhnya buruk dan jahat hingga sama sekali tidak ada baiknya? Benarkah perang di Ukraina semata-mata hanyalah kejahatan sehingga tidak ada aspek-aspek positif dan dampak-dampak baiknya?

Tidak ada yang tahu pasti bahwa COVID-19 adalah virus yang sepenuhnya hanyalah keburukan dan sama sekali tidak menguntungkan manusia dari segala aspek dan segala dimensi. Tidak ada yang bisa memastikan bahwa virus ini sepenuhnya hanyalah keburukan di manapun, kapanpun, bagia siapapun, dan dari segi apa pun.

Pengetahuan manusia, meski dinamis, berkembang dan menyempurna, akan selalu terbatas. Suatu fenomena alam atau sosial dapat dirasakan buruk dari aspek-aspek sejauh yang bisa dijangkau oleh manusia. Kini, setelah lebih dari satu tahun, banyak kalangan yang mampu menyadari aspek-aspek serta dampak-dampak positif saintifik, teknologis, industrial dan kemanusiaan (sosial dan spiritual) dari pandemi dan COVID-19 ini.

Baca Juga :  Konsep Umat: Menggali Nilai-nilai Apriori dan Aposteriori Sosial Alquran (1): Esensi Umat

Jika lantas kita menghadapi kesulitan memahami suatu fenomena buruk hingga bingung akibat kenyataannya yang terlihat oleh kita kontradiktif dengan Realitas Tuhan, maka pengalaman (sulit memahami dan bingung) ini justru menjadi pemicu agar diri kita sadar bahwa ada hal-hal yang belum kita ketahui sehingga membuat diri kita sulit mencerna dan kebingungan. Dalam keadaan bingung dan sulit ini, pihak yang sepatutnya dipertanyakan, ditinjau dan diperiksa adalah diri kita sendiri, bukan Tuhan.

Sekedar analogi, dunia ini seumpama buku matematika yang dibuat oleh seorang matematikawan yang paling menguasai matematika, tidak ada orang yang lebih unggul di atasnya, dan buku itu dibuat dengan kehebatan ilmu matematikanya yang sempurna. Artinya, dia memilih setiap kata dan kalimat, huruf, angka dan simbol di dalamnya dengan penguasaan sempurna atas matematika.

Jika kemudian kita menelaah buku itu lantas menjumpai penjelasan yang tampak rancu hingga kita sulit memahaminya atau terlihat kontradiktif dengan bagian lain dari buku hingga membuat kita kebingungan, lantas penilaian apa yang mesti kita berikan? Hanya ada dua kemungkinan:

  • Kerancuan, kontradiksi dan kebingungan itu berasal dari si penulis buku;
  • Kerancuan, kontradiksi dan kebingungan itu berasal dari diri kita sendiri karena kurangnya pengetahuan dan penguasaan kita atas masalah yang dijelaskan penulis dalam buku itu.

Tidak semua kerancuan dan ketidakpahaman pembaca akibat dari kegagalan penulis dalam menjelaskan dan menuangkan gagasannya, sepertinya juga kegagalan siswa dalam memahami suatu topik pelajaran tidak serta-merta karena kekurangan pada diri guru pengajar. Adakalanya dua keadaan buruk itu berasal dari kekurangan serta keterbatasan si pembaca sendiri sehingga dia gagal memahami dan mencerna penjelasan penulis.

Atas dasar ini, kemungkinan pertama itu tampak tidak logis, karena dalam asumsi analogi di atas, penulis buku itu adalah seorang matematikawan paling hebat, paling menguasai ilmu dan tak tertandingi pengetahuan serta penguasaan matematikanya. Dia paling tahu matematika, maka dia paling tidak sulit dan paling tidak bingung. Dan semakin pembaca lebih banyak pengetahuannya tentang seluk beluk matematika akan semakin mudah mencerna isi buku itu dan lebih sedikit kebingungannya.

Maka, jika pembaca buku merasa rancu dan bingung dengan suatu bagian atau penjelasan dari buku tersebut, kerancuan dan kebingungan itu berasal dari diri si pembaca sendiri lantaran kekurangannya menguasai matematika. Jadi, kemungkinan kedua itulah yang logis. Jika kita bayangkan penulis itu berdiri di hadapan pembaca dan melihat kesulitan serta kebingungannya, si pembaca sendiri akan mudah menyadari anjuran penulis agar dirinya lebih bersabar untuk lebih banyak belajar serta tidak tergesa-gesa membuat penilaian final.

Baca Juga :  Gara-gara Orang Murtad, Kaisar Romawi Belajar Tafsir Al-Fatihah dari Khalifah

Demikian juga dunia ini sebagai karya-cipta dari kemahakuasaan, kemahabijakan dan kemahabaikan Tuhan. Berdasarkan argumen atas keberadaan Tuhan, seperti Argumen Kemungkinan (burhan al-imkan), kita dapat memastikan keniscayaan keberadaan Tuhan sebagai Realitas Utama, Asal segala realitas. Dia niscaya memiliki segenap aspek kesempurnaan yang mungkin dibayangkan. Dan Dia yang maha sempurna dan absolut adalah pencipta alam semesta ini.

Di alam ini pula, ternyata, kita sebagai makhluk Tuhan kerap menjumpai fenomena yang rancu, sulit dimengerti dan bahkan merugikan serta menyengsarakan kehidupan banyak orang.

Salah satu cara mengurai kerancuan dan kesulitan ini ialah mengidentifikasi sebabnya: mengapa suatu peristiwa alam itu tampak rancu dan dirasakan kejam? Jawabannya tidak keluar dari dua pilihan:

  1. Kerancuan dan kekejaman ini berasal dari pencipta alam, atau
  2. Kerancuan dan kekejaman itu adalah penilaian yang berasal dari pengetahuan terbatas kita (makhluk).

Analogi buku yang ditulis oleh matematikawan terpandai itu bisa membantu kita untuk menentukan mana yang logis dari dua pilihan ini. Argumen ateis hanya bisa tegak bila pilihan pertama itu benar. Dengan tidak logisnya pilihan pertama, maka pilihan kedua tidak merusak dan menggugat keberadaan Tuhan yang Mahakuasa, Mahabijak dan Mahabaik.

Dalam bahasa popular, kitanya saja yang terburu-buru menilai, dengan kekurangan dan keterbatasan pengetahuan kita sendiri, bahwa sesuatu itu buruk dan kejam. Karena kita tidak sepenuhnya mengetahui segenap aspek, relasi, dimensi dan seluk-beluk suatu fenomena lantas kita menganggapnya itu sudah buruk dan hanyalah keburukan.

Karena pengetahuan kita itu kurang dan terbatas, maka penilaian kita juga kurang dan sementara. Maka tidaklah tepat memberlakukan kekurangan dan keterbatasan ini secara pukul-rata kepada Tuhan. Tuhan adalah realitas yang absolut kekuasaan, kebijaksanaan dan kebaikan-Nya; kita saja yang serba terbatas pengetahuan dan kekuasaan diri kita.

Baca Juga :  Filsafat Manusia dalam Alquran (4): Kesatuan Manusia (3): Tujuan Manusia (Tamat)

Tindakan manusia mempertanggungjawabkan Tuhan dan menggugat kesempurnaan-Nya menunjukkan seolah-olah dia layak menggantikan posisi-Nya dan menjadi Tuhan. Tindakan ini dipicu oleh keyakinan dirinya sudah tahu sepenuhnya suatu fenomena yang dinilainya buruk dan kejam. Ada kesan arogansi dan jumawa yang terselubung.

Dalam karya kompilatif Nahj al-Balaghah oleh sastrawan ternama abad X, Syarif al-Radhi (970-1016 M), jawaban agnoseologis ‘ketidaktahuan’ terhadap argumen kejahatan dari kaum ateis kontemporer sudah jauh sebelumnya dituangkan Ali bin Abi Thalib dalam surat wasiat kepada putranya, Hasan bin Ali, dalam potongan dua paragraf di bawah ini:

“Maka, jika terdapat sesuatu [di dunia ini] yang sulit dicerna olehmu, anggaplah itu sebagai ketidaktahuanmu, karena sejak awal kamu diciptakan dalam keadaan tidak tahu, lalu kamu diberi tahu, dan betapa banyak perkara yang tidak kamu ketahui dan membuatmu bingung di dalamnya hingga pandanganmu kalut kemudian kamu mengerti setelah itu” (Nahj al-Balaghah, surat 31).

Semirip argumen agnoseologis (ketidaktahuan dan keterbatasan pengetahuan manusia) ini sesungguhnya dapat dijumpai sebelum Ali bin Abi Thalib, seperti dari kalangan Stoisisme, apalagi kurun-kurun setelahnya, baik di dunia Barat maupun di dunia Islam. Barangkali yang paling mutakhir di akhir abad XX adalah penjelasan retorik dalam karya Eric Reitan (2009). Ia menulis:

“Strategi alternatif ini dimulai dengan mengajukan pertanyaan: jika Tuhan memiliki alasan yang membenarkan untuk mengizinkan kejahatan di dunia, haruskah kita berharap dapat melihatnya dari sudut pandang kita yang terbatas? Jika tidak, maka kita tidak dapat beralih dari “Saya tidak melihat alasan benar yang dimiliki Allah untuk mengizinkan kejahatan ini” ke “Tampaknya tidak ada alasan seperti itu”.

Stephen Wykstra (1990) menjelaskan hal ini dengan sebuah tamsil: saat mencari meja, Anda melihat-lihat dari balik pintu suatu ruangan yang sangat besar, katakanlah seukuran hanggar Concorde, dan dipenuhi dengan buldoser, gajah mati, Toyota dan benda-benda lain yang menghalangi penglihatan. Melihat kekacauan ini dari ambang pintu dan tidak melihat meja, haruskah Anda berkata, “Sepertinya tidak ada meja di ruangan ini”?!

Selain muatan teologis dan teodisis, jawaban Ali bin Abi Thalib ini sekaligus memahamkan beberapa pesan moral dalam berintelektualitas dan berkeyakinan: BERSAMBUNG

Share Page

Close