• LAINYA

FILSAFAT-POLITIK–Tidak berlebihan bila manusia didefinisikan sebagai makhluk penguasa. Setiap orang punya kecenderungan berkuasa dan autoritarian. Setidaknya ini yang dikenal dalam tradisi tasawuf, terutama di kalangan sufi garis Ibnu Arabian, yang menekankan status manusia sebagai poros alam dan khalifah dunia.

Sebaliknya, orang yang sudah kehilangan nafsu berkuasa bahkan atas dirinya sendiri sudah pasti bukan lagi manusia; dia sudah jadi budak yang sudah siap dijajah dan diperbudak. Artinya, kecenderungan fitriah berkuasa adalah bawaan setiap orang ingin jadi tuan, hidup merdeka dan tidak mau jadi budak.

Pada esensi kemanusiaan dan fitrah ketuanan diri sendiri ini pula Platon dan Imam Khomeini bertemu. Kedua filosof era awal dan era mutakhir ini sama-sama memfokuskan perjalanan intelektual dan pengalaman spiritualnya dalam menegakkan kekuasaan dan membangun peradaban.

Dalam tulisan ini akan diamati pijakan filosofis Platon dan Imam Khomeini sepanjang beberapa pertanyaan berikut:

Apakah Pemimpin?
Apa saja kriteria pemimpin ideal?
Bagaimana cara menjadi pemimpin ideal?
Apakah konsep pemimpin ideal ini utopis ataukah realistis?
Bagaimana konsep pemimpin ideal itu dapat aktif berkuasa?
Apakah konsep ini berpotensi membangun masa depan suatu bangsa dan negara di dunia mutakhir yang kompleks dan keras ini?

PROLOG

“Rakyat dalam demokrasi di Athena seperti tuan kapal. Sialnya, mereka tidak punya kecakapan yang memadai. Untungnya, di sekeliling mereka ada awak-awak kapal (baca: elit politik). Sialnya atau untungnya, masing-masing berusaha tampil; menganggap dirinyalah yang mesti jadi kapten. Kendati tak penah menjalani pendidikan perkapalan, mereka memaksa sang tuan agar menyerahkan nasib penumpang dan kapal ke tangan mereka. Manakala sekelompok dari mereka berhasil merebut kendali, muncul kelompok lain yang akan mendepak mereka sampai terhempas dari kapal.

“Akhirnya, hanya ada suatu kelompok yang mengendalikan kapal, sambil meraup perbekalan dan penumpang. Seketika itu pula pelayaran berlangsung tak ubahnya pesta pora. Dan, penumpang yang membantu tingkah mereka disanjung sebagai pelaut paling ulung di dalamnya. Mereka tak pernah menyadari bahwa melaut semacam pengalaman; memerlukan pengetahuan dan wawasan yang luas tentang pergerakan bintang, perubahan cuaca, angin dan musim.”[1]

Sebuah parodi yang tidak asing lagi dari Sokrates. Kini dan kali ini, parodi di atas terasa segar dan begitu transparan membentangkan detail perilaku politik dan konflik kepentingan di sekian banyak negara demokratis. Akan mudah dijumpai masih di sekitar pembaca adanya elite-elite kekuasaan di berbagai tingkatan nasional dan global, bahkan kepartaian hingga organisasi yang memperagakan cara-cara tak beradab itu seperti yang dilakukan awak-awak kapal itu.

Sialnya, masih ada modus yang lolos-luput dari imajinasi liar Sokrates dalam parodinya; dia tidak membayangkan ada orang asing yang datang dari luar kapal lalu ikut terlibat langsung memimpin perebutan (mengkudeta) kendali kapal orang lain. Boleh jadi adegan ini dibiarkan Sokrates lolos dari imajinasinya saking angkuh, jorok dan memalukan modus ini, apalagi dilakukan oleh orang, organisasi atau organ negara dengan tidak lagi diam-diam dan atas nama demokrasi.

Baca Juga :  Profil Pemimpin Ideal dalam Tasawuf Politik Platon dan Khomeini (4): Kriteria Wali Faqih

Parodi di atas sengaja dituturkan Sokrates, setidaknya, dalam upaya mewanti-wanti bahwa sistem demokrasi di Athena sama sekali tidak layak memerintah. Parodi ini pula yang sejatinya menyingkapkan perjalanan politik sampai Abad Modern dan bahkan dunia kontemporer ini, bahwa kekuasaan tampil layaknya raksasa laut Leviathan yang akan membebaskan manusia Hobbessian dari kegelisahan dirinya, lalu membubarkan kesepakatan manusia Rousseouian untuk kemudian menguasai kekayaan manusia Lockian.[2]

Seperti biasa, Socrates melengkapi parodi di atas dengan umpan dialektisnya, “Di dalam kapal yang berlayar dengan kendali demikian itu, tidakkah kapten yang sesungguhnya dituding peramal dan sampah?”

Tidak begitu yakin apakah pertanyaan ini mampu mengganggu pikiran kebanyakan kita. Bagi orang-orang yang bukan kapten (pemimpin) atau tidak punya mimpi dan cita-cita jadi kapten masa depan bangsa, pertanyaan Sokrates itu tidak berarti apa-apa. Sebaliknya juga benar bahwa pertanyaan ini penting bagi jajaran pemimpin bangsa dan calon-calon pemimpin masa depan.

Betapapun itu, pertanyaan sokratian ini justru kuat memprovokasi kebanyakan orang zaman itu. Bahkan, lewat pertanyaan inilah Socrates sebenarnya telah menyelundupkan filsafat dan semangat hidupnya, masuk tepat ke sumsum pemikiran muridnya yang setia, Platon. Menurut R.J. Hollingdale, khazanah filsafat sang murid terpendam di bawah hujaman pertanyaan sang guru.[3]

 

MENGAPA PLATON?
Siapakah kapten kapal yang sesungguhnya? Adalah pertanyaan filosofis berikutnya yang merupakan bagian kegelisahan Platon yang paling mendasar. Dari sanalah ia dikenal sebagai filosof pertama yang, masih kata Hollingdale, wujud konkret yang seutuhnya dari kata filosof.[4]

Yang perlu dicatat di sini ialah bahwa berfilsafat dan menjadi filosof bukanlah titik akhir kegiatan intelektual Platon. Meminjam nada adagium Ibnu Sina tentang Irfan (tasawuf), berfilsafat untuk filsafat bukanlah filsafat. Masih senada dengan kaidah Irfan, filsafat berpijak pada Geometrika untuk menjalani Realisme demi membangun kehidupan politik. Dalam Republic, Platon mengakui bahwa filsafat hanyalah perangkat guna mencapai suatu tatanan politik yang mendasari kehidupan manusia.[5]

Dalam rangka itu, Platon menginvestasikan sisa-sisa modal hidupnya guna mendirikan pusat pendidikan Akademia di Athena. Kata Geometrika dipampangnya di atas gerbang sebagai biaya pendaftaran bagi calon mahasiswa. Akademia itu lebih tepat disebut pusat pelatihan dan pengkaderan, mengingat raison d’être pendiriannya, yakni memperbaiki kehidupan politik melalui pendidikan unggul yang mengajarkan perundang-undangan dan ketatanegaraan. Maka itu, Platon mengarahkan filsafatnya guna melahirkan pemimpin-pemimpin negara yang bijak dan kompeten.

Platon menjawab pertanyaan di atas itu bahwa kapten kapal yang sesungguhnya ialah pemimpin ideal bangsa.

Baca Juga :  Visi Keperadaban Filsafat Muhammad Iqbal (3): Patologi Peradaban, Bahaya Filsafat

 

MENGAPA IMAM KHOMEINI?
Jawaban singkat Platon tadi diusahakan dalam tulisan ini sebagai pokok persoalan. Jelas, usaha ini adalah ulangan entah yang keberapa ribu kalinya dari yang didiskusikan sepanjang sejarah. Persoalan pemimpin ideal adalah bagian dari topik-topik terpenting dan menentukan dalam filsafat politik, atau tepatnya tasawuf politik, bukan hanya pada tataran teori, tapi juga pada tataran praksis dengan tingkat resiko yang jauh lebih tinggi.

Pada sosok Imam Khomeini, barangkali tataran aplikasi persoalan itu begitu menonjol. Dengan latar belakang sejarah, lingkungan dan pendidikan agama yang khas, dia tumbuh sebagai muslim yang taat. Keputusannya menjadi mulla (ulama) bukanlah final, karena “Menjadi mulla betapa sulitnya, menjadi manusia begitu mustahilnya”.

Imam Khomeini mengawali keputusannya itu dari kitab-kitab kuning fiqih tradisional di Hauzah Ilmiyah, pusat pendidikan agama yang tidak membuatnya kolot, tidak mau tahu dunia, tidak pula sekadar wacana atau polemik yang berlarut-larut, karena “Fiqih adalah filsafat praktis yang dibumikan oleh pemerintahan dalam segenap aspek kehidupan manusia.”[6]

Kata wajib dan haram tidak dipahaminya sebatas riba dan minuman keras, karena “Islam mengisi segala kebutuhan manusia.” Dia berusaha meyakinkan bahwa memperjuangkan keadilan itu adalah kewajiban, membebaskan diri dari kezaliman adalah kewajiban,[7] dan “Pemerintahan adalah salah satu kewajiban agama yang paling wajib.”[8]

Nyaris tidak perlu dirujukkan lagi bila Imam Khomeini ulama yang mampu mendirikan negara bersama bangsanya setelah menggulingkan kerajaan di Iran yang didukung kekuatan dunia. Kemenangan Revolusi Islam-nya disambut hangat oleh kunjungan Yaser Arafat ke Tehran sambil mengulang-ulang ucapan Menakhim Begin, “Revolusi di Tehran di sana telah mengoncang Tel Aviv di sini.”[9]

Masih oleh Revolusi Islam-nya, “Revolusi akan memakan anak-anaknya” terlalu dini terbantahkan sebelum diangkat sebagai hukum sejarah. Kata Theda Skocpol, “Revolusi ini menuntut revisi atas hasil-hasil studi komparatif yang selama ini dilakukan terhadap tiga revolusi Prancis, Rusia dan Cina”[10], tuntutan yang sebelum diperdengarkan telah disambut secara lebih peka oleh Michael Foucoult melalui beberapa artikel.

Bersama rakyat di sana, Imam Khomeini menolak polarisasi dua kutub adidaya; la syarqiyyah wa la gharbiyyah: tidak Barat juga tidak Timur. Dia yakin negara Islamnya bisa mengubah peta politik dunia dan bertahan mandiri sebagai salah satu adidaya. Kiranya yang terakhir ini cukup menunjukkan bahwa persoalan pemimpin ideal bangsa dan kepemimpinan politik amat gamblang dalam pemikiran, kepercayaan dan pergerakan Imam Khomeini.

Sebangun dengan itu, Imam Khomeini telah mengajukan banyak konsep politik yang unik. Konsep Wilayat Al-Faqih adalah adikarya dalam usahanya menggagas pemerintahan Islam secara argumentatif dan aplikatif. Di dalamnya, baiat, legitimasi dan demokrasi menemukan makna serta fungsinya yang unik.

Baca Juga :  Masuk Islam karena Alquran (2): Gary Miller, Profesor Kanada yang Tadinya Menantang dan Mencari-cari Kesalahan

Konsep ini telah menjadi titik balik yang amat menukik, menghentak dan menantang. “Masalah kami dengan Iran hanya karena Wilayatul Faqih” [11] adalah pernyataan William Cohen, Menteri Pertahanan kabinet Clinton, yang menegaskan bahwa konsep itu diuji kekuatannya bahkan pada level politik dunia secara serius dan terus.

 

ANTARA PLATON DAN IMAM KHOMEINI 
Kalau Platon mengajarkan secara teoretikal konsep-konsep politiknya di sebelah kebun Akademus, Imam Khomeini mengajarkan secara praktikal konsep-konsep politiknya di antara kutub-kutub kekuatan dunia. Kalau Platon akhirnya bekerja sebatas penggagas, Imam Khomeini bekerja sebagai pemikir sekaligus aktor. Perbedaan zaman, kondisi dan syarat-syarat yang melingkupi keduanya mungkin lebih dapat menafsirkan perbedaan peran dan kerja praktis mereka ketimbang mengukur keunggulan satu di atas lainnya.

Uniknya, ada sejumlah titik yang mempertemukan mereka. Baik filsafat Platon maupun filsafat Imam Khomeini, kedua-duanya menyimpan orientasi dan anasir tasawuf yang begitu dominan. Ini ditambah kondisi dan situasi yang turut memadukan mereka. Paling tidak, dunia zaman Imam Khomeini, di samping kebangkrutan Sosialisme, tengah menyaksikan krisis besar dan dampak buruk Liberal Demokrasi, sebuah kenyataan yang oleh banyak kalangan dipandang kekejamannya sudah dialami oleh Platon sendiri.

Jika dianggap benar penilaian Bertrand Russell, bahwa seni karsa Platon, seperti dalam Republic, sedemikian indah menata usulan-usulannya yang melawan prinsip-prinsip kebebasan hingga sanggup memperdaya orang selama berabad-abad[12], kita masih layak optimis dengan ungkapan gurunya, Alfred N. Whitehead, bahwa pemikiran Platon telah menjadi teks yang menempatkan pemikiran para pemikir yang datang setelahnya sekedar catatan kaki. Dan kalaulah nama Kant dan Hegel yang ia sebut untuk menunjukkan mana filsafat Barat sebagai sistem yang utuh, maka untuk kedua kalinya kita optimis dengan usaha sejawatnya, Ferderick Copleston, yang memetakan konstruk filsafat Platon tampak begitu sistemik dan koheren.[13]

Keutuhan dan koherensi sistem ini pada pemikiran Imam Khomeini, dengan segenap muatan unit-unit Tasawuf, Filsafat, Kalam dan Fiqih di dalamnya, sekurang-kurangnya akan dapat kita simak di sini. “Ada pelukis yang mengubah matahari menjadi bulatan kuning, ada pula pelukis yang mengubah titik kining menjadi matahari”, kata akhir ungkapan P. Picasso ini begitu tepat melukiskan kerja keras Imam Khomeini dalam menurunkan sistem pemikirannya sampai ke dalam bentuk faktual sebuah negara bersama rakyatnya.

Bukan keterlaluan bila studi perbandingan antara pemikiran Platon dan pemikiran Imam Khomeini sama artinya berusaha mempelajari pandangan dua mujtahid mutlak politik pertama dan terakhir, setidaknya dalam sejarah yang sempat dilaporkan sampai sekarang. Atau malah sebuah kelumrahan tatkala ditilik kedekatan di antara mereka yang begitu tipis beririsan.BERSAMBUNG

*Untuk keperluan referensi, bisa menghubungi redaksi di redaksi.quranika@gmail.com

Share Page

Close