• LAINYA

Salah satu konsep yang menyoroti hakikat manusia adalah jiwa yang diasosiasikan Alquran dengan berbagai kualitas. Di samping mengungkapkan sekian kualitas jiwa, beberapa ayat[1] juga menunjukkan bahwa realitas (hakikat) unik manusia adalah jiwanya, dan keberagaman jiwa adalah keberagaman sekunder yang, meskipun berkaitan dengan realitas manusia, tetapi ia berasal dari keberagaman aktualitas-aktualitasnya. Di banyak ayat, Hari Kiamat digambarkan sebagai masa kemunculan berbagai aktualitas manusia.[2]

Tampaknya, jiwa adalah suatu realitas pemeragu (haqīqat tasykīkī), memiliki derajat-derajat yang menampak dalam berbagai vase kehidupan. Sebagian derajat jiwa berubah menjadi aktual pada individu-individu yang berbeda. Alquran menyinggung derajat jiwa yang paling rendah dalam QS. Al-A’raf [7]: 179 dan QS. Al-Baqarah [2]: 74, dan derajat jiwa paling tinggi dalam QS. Al-Baqarah [2]: 31 dan QS. Al-An’am [6]: 75.

Penekanan atas fitrah sebagai hakikat satu-sama antarindividu manusia dalam QS. Al-Rum [30]: 30, seiring dengan deskripsi jiwa manusia yang satu dengan beragam kualitas dalam sejumlah ayat,[3] merupakan medan tantangan dalam antroposofi Islam. Dalam ayat, “Fitrah Allah yang dengannya Dia menciptakan manusia, tidak ada perubahan pada ciptaan Allah; itulah agama yang lurus”, kalimat “tidak ada perubahan ciptaan Allah” menyatakan kepermanenan fitrah manusia, juga frasa “fitrah Allah” menyatakan kemenentuanannya. Demikian frasa “Dia menciptakan manusia” dalam konteks ini juga mengungkapkan generalitas fitrah pada semua individu manusia sebagai realitas mereka yang satu-sama.

Lantas, bagaimana mengkompromikan kepermanenan dan kemenentuanan fitrah seperti yang dinyatakan oleh ayat ini dengan ketakmenentuan jiwa di ayat-ayat lain[4] yang menekankan variasi, keberagaman dan transformasi aktualitasnya?

Terkait masalah ini, ada dua pertanyaan yang harus segera dituntaskan:

Pertama, bagaimana mengatasi pertentangan antara kepermanenan fitrah seperti di QS. Al-Rum [30]: 30 dan kedinamisan/perubahan jiwa seperti di ayat, “Sesungguhnya Allah tidak akan mengubah keadaan suatu kaum, sampai mereka merubah yang ada di jiwa mereka” (QS. Al-Ra’d [13]: 11) dan ayat, “… hingga kaum itu mengubah apa yang ada pada jiwa mereka sendiri” (Ql-Anfal [8]: 53)?

Kedua, bagaimana memecahkan kontradiksi antara kemenentuan fitrah di QS. Al-Rum [30]: 30 dan ketakmenentuan jiwa seperti di ayat, “Sungguh Kami telah menunjukkan padanya jalan; ada yang bersyukur dan ada pula yang kufur” (QS. Al-Insan [76]: 3)?

Untuk menjawab pertanyaan pertama tentang cara mengkompromikan kepermanenan dan perubahan, perlu dibedakan secara jernih antara dua kata: tabdīl (pergantian) dan taghyīr (perubahan). Kata pergantian dalam kalimat “Tidak ada pergantian pada ciptaan Allah” ber-arti mengganti sesuatu dengan sesuatu yang berbeda, tetapi perubahan mencakup berbagai macam transformasi seperti: pelemahan, penguatan, penguburan, pencemaran, pengurangan, penambahan dan sebagainya. Jadi, pergantian “fitrah Allah” dalam arti menggantinya dengan sesuatu yang lain, menurut QS. Al-Rum [30]: 30 adalah mustahil terjadi, tetapi perubahan jiwa, baik dalam arti penguatan atau pelemahan dan bahkan pencemaran fitrah, menurut QS. Al-Anfal [8]: 53 dan QS. Al-ra’d [13]: 11, adalah mungkin terjadi.

Dengan kata lain, yang terjadi pada perubahan, secara filosofis, adalah penanggalan (khal’) lalu pengenaan (lubs). Namun, perubahan tidak mesti berupa menanggalkan dan mengenakan, tetapi juga mencakup pengenaan demi pengenaan (lubs ba‘d lubs). Pada hakikatnya, perubahan jiwa tidak ber-arti menanggalkan fitrah dan mengenakan sesuatu yang lain, tetapi ia ber-arti menutupi fitrah dengan hal-hal lain, dan arti ini juga didukung oleh Alquran, “Dan orang yang mengotorinya sungguh celaka” QS. Al-Syams [91]: 10).

Pertanyaan kedua juga dapat ditindaklanjuti dengan merujuk pandangan Mulla Sadra bahwa fitrah adalah pola-hidup bawaan yang umum merata pada seluruh makhluk, dan bahwa manusia, seperti juga makhluk yang lain, aktif melaksanakan ibadah esensial dan penyembahan kodrati kepada Tuhan Mahanyata. Hanya saja, yang khusus dan menjadi keistimewaan manusia tak lain adalah kemungkinan dirinya untuk memurnikan atau mencemari fitrah juga kemungkinan yang sama untuk menerima atau menolak kewenangan Tuhan yang ditekankan secara khusus dalam ayat Kursi. Manusia sebagai realitas tak-menentu tahu mana yang baik dan mana yang buruk[5], tetapi realisasi kebaikan dan keburukan ada dalam kehendak dan pemilihannya. Berdasarkan beberapa ayat,[6] Mulla Sadra menegaskan sujud fitriah semua makhluk yang berasal dari penampakan Mahanyata. Seiring dengan itu, Mulla Sadra menyatakan:

“Seluruh alam semesta teguh di atas jalan penghambaan dan ketundukan, kecuali makhluk yang memiliki kekuatan berpikir dan pada dirinya terbuka kemungkinan ditaklukkan oleh waham atau oleh tipu daya setan.”[7]

Dengan demikian, dapat dikatakan bahwa “fitrah Allah” sebagai identitas esensial dan umum seluruh makhluk juga ada pada diri manusia. Akan tetapi, kebebasan yang identik dengan esensi jiwa cakap dan khas manusia mendesak dirinya untuk mengaktualkan dan menertentukan fitrah ilahi yang umum ini menentukan setelah menerima ilham kebaikan dan keburukan. Lebih tepatnya, kebebasan, ketakmenentuan dan ketakbergantungan manusia membuat dirinya memapankan dan mengembangkan fitrah ilahinya yang sudah menentu, atau menyia-nyiakan dan menguburnya di bawah berbagai busana penampilan yang tak pantas. Jadi, apa yang tetap dan permanen adalah fitrah manusia yang merupakan inti dan hakikat karuniawi, adapun yang berubah adalah busana-busana yang dikenakan pada hakikat ini dan membentuk diferensi (identitas) final manusia.

Baca Juga :  Gaya Jungkir-Balik Jean Paul Sartre Menyikapi Palestina-Israel

Proses pengenaan aneka busana pada tubuh fitrah kita yang tetap dan umum itu, yakni “fitrah Allah yang dengannya Dia menciptakan manusia”, dalam terminologi Alquran dikenal sebagai amal (perbuatan). Amal adalah medan kerja kehendak-bebas kita, yaitu wilayah yang menampakkan bahwa realisasi diri kita berada di tangan kita sendiri, berada dalam kebebasan diri kita sendiri. Melalui amal dan perbuatan inilah aneka ragam busana dikenakan pada tubuh fitrah. Semua busana itu akan membantu fitrah menjadi aktual dan tampak konkret atau, sebaliknya, membuatnya justru menjadi redup dan terselubung.

Betapapun itu, melalui amal dan perbuatan, aktualitas final atau “bentuk terakhir” kita muncul dan menjadi dasar untuk amal selanjutnya. Karena itu, Alquran menyatakan, “Katakanlah, “Setiap orang bertindak menurut bentukan-Nya. Maka, Tuhanmu paling tahu siapa yang lebih lurus jalannya” (QS. Al-Isra’ [17]: 84). Artinya, amal yang terbentuk dari watak alami dan fitrah kita dapat mempengaruhi kedua-duanya sedemikian rupa hingga mereka menyala dan membara atau terkubur dan terlupakan, dan wajah yang muncul paling belakangan merupakan bentuk aktual atau aktualitas final kita dalam waktu sekarang yang, dalam ayat ini, disebut sebagai “skema” (syākilah, baca: bentukan) dan basis atau dasar untuk amal kita di masa depan.

Penggunaan konsep/makna amal dalam Alquran menunjukkan bahwa konsep ini memiliki konotasi yang luas dan tidak seharusnya dianggap sama dengan konsep “perilaku” seperti yang digunakan dalam literatur ilmiah saat ini. Perilaku hanyalah bagian dari amal, sebagaimana dikuatkan oleh hadis sahih dan populer dimana amal dibagi menjadi tiga derajat: “iman di hati, perkataan di lisan dan perbuatan di organ tubuh.” Telaah atas tiga derajat ini menunjukkan bahwa, menurut para pemuka agama, konsep (makna) amal melibatkan tiga jenis pengalaman utama dan fundamental manusia, yaitu pengetahuan, kecenderungan dan perilaku.

Menyoroti pengertian cakap (nuthq) dan ungkapan-ungkapan populer para ilmuwan dalam definisi mereka atas manusia seperti: “Manusia adalah hewan bercakap”, jelas bahwa (a) bahasa berkaitan dengan bagian tertentu dari realitas manusia sejauh hubungannya dengan aktivitas mengetahui; (b) hati berkaitan dengan emosi dan ingin atau mencintai, sementara (c) iman berkaitan dengan keyakinan yang, selain mengetahui, juga mencakup menginginkan hingga, pada akhirnya, (d) “organ tubuh” dan “amal” mengacu bagian dari realitas manusia, yaitu gerak yang tampak secara kasatmata.

Beberapa ayat[8] telah menempatkan amal, khususnya amal saleh, di samping iman dan, karena itu, menunjukkan perbedaan antara amal dan iman dimana amal tidak mencakup iman. Dengan demikian, ayat ini sepertinya tidak konsisten dengan hadis tersebut di atas. Namun, ada dua argumen mengapa penempatan amal di samping iman tidak serta merta menunjukkan perbedaan esensial di antara mereka.

Argumen pertama, berdasarkan tradisi yang berlaku umum, dalam Alquran penempatan amal saleh di samping iman bisa dianggap sebagai penyebutan yang-umum setelah yang-khusus. Pentingnya amal saleh sebagai pembuktian atas kebenaran klaim orang yang mengaku beriman menyebabkan hingga, dalam sebagian ayat, iman dan amal saleh disebutkan [secara bersandingan] sebagai penekanan. Dengan kata lain, amal saleh tidak memiliki perbedaan esensial dengan iman, tetapi ia merupakan penampakan iman dan penegasan atas adanya iman pada diri seseorang.

Ini lebih jelas lagi terutama bila iman diamati penampakannya dalam dua modus: pertama, berupa pengakuan di mulut yang, tentu saja, tidak menyulitkan atau malah menguntungkan dan, kedua, kenyataan konkret dan realisasi objektif [iman] melalui amal saleh.[9] Pada dasarnya, amal saleh berfungsi membuktikan dan mengafirmasi ketulusan iman. Karena itu, Alquran dengan tegas menyatakan, “Apakah manusia mengira bahwa mereka akan dibiarkan karena mereka mengatakan: Kami memiliki iman, dan mereka tidak akan diuji?!” (QS. Al-Ankabut [29]: 2). Jadi, amal saleh tidak berlawanan dengan iman, tetapi ia bahkan bentuk nyata iman yang mengungkapkan kebenaran klaim orang beriman. Amal adalah medan penampakan, pemantapan dan pengembangan iman; hanya dalam konteks amallah tingkat kekuatan dan kelemahan iman menjadi tampak.

Argumen kedua atas kemenyeluruhan konsep amal adalah bahwa di beberapa ayat, kandungan yang berkaitan dengan pengetahuan dan perasaam manusia ditempatkan dalam kategori amal. Misalnya, dalam ayat, “Tetapi jika kamu berbuat baik dan bertakwa, maka Allah sungguh teliti terhadap apa yang kamu kerjakan” (QS. Al-Nisa’ [4]: 128), berbuat baik dan takwa mencakup niat baik dan amal saleh, juga masing-masing iman dan amal juga mengandung kedua-duanya dan oleh ayat ini dirangkum dalam frasa “apa yang kamu kerjakan”. Demikian pula dalam ayat, “dan jika kamu memutarbalikkan [kesaksian] atau menentang [dia], Allah maha mengetahui apa yang kamu kerjakan” (QS. Al-Nisa’ [4]: 135), apa saja yang berhubungan dengan hati, yakni terputus dari sesuatu dan terikat dengan lawannya, termasuk dalam kategori “apa yang kamu kerjakan”.

Bahkan, jika dampak berbuat baik dan efek takwa terlihat nyata, tetapi keterikatan hati itu sama sekali tidak terlihat; ia merupakan fenomena paling batin yang, menurut ayat tadi, hanya Tuhan yang mengetahuinya, karena di ayat ini, “dan mereka yang tidak menjadikan selain Allah dan Rasul-Nya dan orang beriman sebagai teman yang setia. Allah mahateliti apa yang kamu kerjakan” (QS. Al-Taubah [9]: 16), Alquran secara eksplisit mengungkapkan kecenderungan hati dan perjanjian rahasia dan batin dalam kategori amal—suatu perbuatan yang, kendati tidak terlihat orang, diketahui Tuhan. Ayat-ayat semacam ini dapat dirujuk sebagai bukti penguat atas hadis-hadis yang menekankan keumuman amal atas ucapan, perilaku dan dan keyakinan.

Baca Juga :  Fiqih Perang dan Damai dalam Syariat Islam, Karya Haidar Hubbullah

Jadi, amal (perbuatan) tidak sama dengan perilaku, tetapi mencakup keseluruhan pengalaman manusia dan, dalam pengertian ini, perilaku, ucapan, keyakinan dan pengetahuan kita merupakaan derajat-derajatnya. Pada hakikatnya, perilaku dan ucapan adalah bentuk nyata dan objektif dari keyakinan dan pengetahuan kita, sementara iman dan keyakinan kita adalah bentuk-bentuk pengetahuan yang sudah terkokohkan atau pengetahuan yang terkayakan. Derajat yang berbeda-beda ini adalah pengalaman/amal kita yang, pada akhirnya, menciptakan identitas diri kita, “Dan mereka yang beriman dan beramal saleh pasti Kami sungguh akan memasukkan mereka di antara orang-orang saleh” (QS. Al-Ankabut [29]: 9), yakni berbuat baik, pada akhirnya, akan menghadirkan identitas orang-orang baik dalam diri pelaku.

Kesinambungan iman dan konsistensi amal saleh lambat laun menimbulkan suatu identitas dan bentuk tertentu yang menempatkan kita berada di kalangan elite. Berbagai keistimewaan yang dijanjikan Alquran untuk pemilik iman dan pelaku amal saleh merupakan konsekuensi dan balasan yang diperoleh sepanjang transformasi identitas dan kemenentuan bentuk final. Amal saleh sebagai wajah penampakan iman dan pembuktian klaim keberimanan kita akan memekarkan fitrah dan menentukan bentuk identitas kita. Identitas yang saleh muncul dalam kerangka amal saleh, iman yang kokoh dan ucapan yang jujur, juga merupakan pintu masuk bergabung bersama golongan orang-orang saleh dan memperoleh balasan karuniawi ilahi.

Demikian amal non-saleh juga pada akhirnya memicu serangkaian transformasi identitas menentukan bentuk final diri kita, “Sesungguhnya orang-orang kafir dari golongan Ahli kitab dan orang-orang musyrik akan berada di api neraka dengan kekal; merekalah itulah sejahat-jahat makhluk. Sungguh mereka yang beriman dan berbuat kebaikan adalah sebaik-baik makhluk” (QS. Al-Bayyinah [98]: 6-7). Orang-orang baik dan orang-orang hina pasti memperoleh identitas baik dan hina mereka sesuai dengan amal masing-masing dan, atas dasar identitas definitif tersebut, kelak mereka terpecah dan berbeda golongan dalam waktu yang tak berhingga.

Dengan demikian, amal adalah serangkaian pengalaman hidup yang, dalam kerangka kehendak dan kepemilihan kita sendiri, menjadikan diri kita individu yang unik dan berbeda dari orang lain. Amal mencakup keseluruhan interaksi kita dengan fenomena alam dan peristiwa sosial. Amal berarti semua ragam pengalaman yang kita peroleh sepanjang hidup, baik yang berdimensi alamiah, sosial hingga metafisikal dan mental. Amal tidak hanya berupa pengetahuan, perilaku dan pekerjaan kita, tetapi hasil dari hubungan kita dengan apa saja di luar diri kita.

Tentu saja, wujud konkret amal, yakni ucapan dan perilaku, tidak dapat sepenuhnya terlepas dari dasar-dasar internalnya, yaitu tabiat, fitrah, kepercayaan, dan pengetahuan. Perilaku dan ucapan sebagai wujud konkret amal bergantung pada kondisi-kondisi lingkungan dan berpengaruh pada dasar-dasar ingternal amal, terutama pada pengetahuan dan keyakinan kita. Artinya, amal tidak hanya mencakup serangkaian proses yang menampakkan atau menyembunyikan fitrah, tetapi ia juga merupakan medan pertemuan internal dan eksternal. Dalam kapasitsnya sebagai bentuk final atau aktualitas akhir atau skema kita, amal merupakan pengetahuan dan keyakinan kita, selain juga menopang dan mengembangkan tabiat dan fitrah kita di berbagai derajat seiring dengan kondisi-kondisi lingkungan. Fakta ini menciptakan sekian perbedaan mendasar di antara kita.

Dengan kata lain, kendati tabiat dan fitrah kita itu sama, namun kita menjadi berbeda satu sama lain dengan sekian aspek perbedaan sekunder seiring dengan upaya kita meningkatkan atau menurunkan derajat fitrah dalam kondisi lingkungan dan melalui amal. Perbedaan ini tidak bersifat marjinal juga tak terelakkan, tetapi justru autentik dan menentukan posisi kita di alam semesta serta mencatatkan keberuntungan sepanjang hidup kita. Perbedaan primer seperti: ras, gender, kecerdasan dan kepribadian dan lain-lain berkembang di tingkat tabiat dan fitrah umum (sama) manusia dan, karena itu, mereka tidak autentik dan fundamental. Akan halnya, perbedaan sekunder membentuk setiap adaan yang sepenuhnya unik dan sedemikian berbedanya hingga patut berada dalam kategori manusia.

Dengan mengacu uraian yang telah dikemukakan seputar konsep-konsep alam, fitrah, jiwa dan amal, struktur adawi manusia dapat dirumuskan kiranya sebagai berikut:

Realitas manusia tak lain adalah jiwanya; suatu jiwa abstrak (mujarrad), cakap (nāthiq), dan hierarkis (shāhib marātib). Realitas abstrak, cakap dan hierarkis ini hakikat yang satu-sama semua manusia. Ia setidaknya memiliki tiga aspek: fisik, fitrah dan amal. Tiga aspek ini bukan merupakan tiga bagian terpisah-pisah dari realitas manusia, tetapi mereka hanyalah selayaknya aspek-aspek jiwa manusia. Fisik yaitu aspek keterikatan jiwa dengan badan bendawi untuk mengatur urusan dan fungsi-fungsinya. Dan fitrah yaitu aspek keluhuran jiwa yang memiliki sepuhan (shibghah) “menuju Allah” dan mengungkapkan kecenderungan jiwa pada nilai-nilai kebaikan serta kebergantungannya pada “Yang Mahahidup Mahamandiri”.

Sementara amal mengungkapkan keterkaitan jiwa dengan alam yang, di dalamnya, ia berinteraksi dengan fenomena dan peristiwa sekitar. Dua aspek: fisik dan fitrah, muncul dan menampak nyata melalui amal, sementara amal sebagai aspek keterkaitan jiwa memiliki konsekuensi-konsekuensi kehidupan alam sehingga ia menjaga dan mengembangkannya sampai batas tertentu hingga, pada akhirnya, menciptakan bentuk final jiwa, yaitu realitas yang akan tetap bersamanya setelah kematian, tidak akan berubah sama sekali dan sumber pahala yang kekal. Sebagai aspek keterkaitan jiwa dengan alam, amal memungkinkan jiwa menjalani kehidupan di dunia, menggabungkan kita dengan dunia dan menciptakan hubungan interaktif kita dengan lingkungan sekitar dan, tentu saja, menjadi sumber perbedaan esensial kita satu sama lain.

Baca Juga :  Indonesia dan Potensi Normalisasi Hubungan dengan Israel

Berdasarkan gambaran di atas tentang realitas manusia sebagai jiwa abstrak, cakap dan hierarkis dengan segenap aspeknya: fisik, fitrah dan amal, kita dapat membagi ayat-ayat Alquran menjadi tiga kelompok: kelompok pertama mengenai ciri-ciri khas fisik manusia, kelompok kedua mengenai aspek keluhuran jiwa, dan kelompok ketiga berkisar pada aspek keterkaitan jiwa dengan alam dan menyoroti amal dengan beragam bentuknya. Kelompok terakhir menguraikan peran penentu amal dalam menggariskan takdir abadi setiap orang dan menekankan pengetahuan Tuhan akan amal manusia. Kelompok ayat ini juga mengungkapkan tanggung jawab dan kebebasan manusia dalam mendefinisikan identitas dan menggariskan takdirnya sendiri.

Kelompok pertama adalah ayat-ayat tentang kisah penciptaan manusia atau sifat-sifat dan watak yang muncul dari dimensi fisiknya seperti: “Sesungguhnya manusia diciptakan tamak: apabila ditimpa kesusahan ia berkeluh kesah dan apabila mendapatkan kebaikan ia menjadi kikir [semuanya seperti itu] kecuali orang-orang yang melaksanakan shalat, orang-orang yang tekun dalam melaksanakan shalatnya” (QS. Al-Ma’arij [70]: 19-23). Dalam ayat ini dideskripsikan sejumlah sifat fisikal manusia berasal dari kecenderungan kuat meraih keuntungan dan menolak kerugian. Sifat yang buruk hanya akan berubah positif dengan amal saleh seperti: shalat dan konsistensinya.

Perubahan dan transformasi identitas primer—yang terbentuk dari fisik material dan tak-kekal sebagaimana disinggung dalam sejumlah ayat sebagai makhluk yang suka mengeluh (halū‘), berkeluh-kesah (jazū‘) dan kikir (manū‘)—menjadi identitas sekunder (pembaharu, penjujur dan sifat mulia yang lain di ayat-ayat selanjutnya) terjadi di sepanjang proses yang disebut sebagai “amal saleh” dengan daftarnya yang diuraikan di ayat tadi. Ada pula ciri-ciri lain yang dicatat Alquran seperti: tidak berterima kasih, bodoh, berkeluh-kesah, membangkang, yang juga berasal dari aspek fisik material dan tak-kekal.

Sementara kelompok kedua adalah ayat-ayat tentang pengetahuan pra-lahir manusia dan pengakuannya setelah kematian seperti: “Apakah ada keraguan tentang Allah, pencipta lelangit dan bumi?! ….” (QS. Ibrahim [14]: 10) dan, “Dan demi jiwa dan Dia yang menyempurnakannya, dan mengilhaminya dengan kedurhakaannya dan ketakwaannya” (QS. Al-Syams [91]: 7-8). Termasuk dari kelompok ayat ini ialah ayat-ayat yang mengenalkan tugas nabi sebagai penyadaran ingatan dan penggugahan pengetahuan manusia.

Dengan demikian, struktur adawi manusia adalah realitas jiwa yang hierarkis, abstrak dan cakap (nāthiq), mencakup tiga dimensi: fisik, fitrah dan amal, dan ia dapat mencapai derajat yang lebih hina dari binatang atau meraih derajat yang lebih tinggi dari malaikat. Faktor yang membuat manusia berhasil meraih derajat-derajat ini dan mengaktualkan kandungan tabiat dan fitrah adalah amalnya yang walaupun, pada gilirannya, bergantung pada tabiat dan fitrah, tetapi sebagian besar dibentuk oleh oleh daya-pilihnya serta bergantung pada penerimaannya akan peringatan, arahan dan identitas para nabi.

Faktor penentu takdir kita dan pembentuk hakikat kita bukan hanya fitrah atau tabiat yang merupakan kesamaan kita dengan semua manusia. Amal kita itulah yang mendefinisikan situasi kita, yaitu amal kita yang mencakup akumulasi keseluruhan pengalaman yang entah mengubah jiwa menjadi kuburan fitrah dan padang rumput iblis atau menjadikannya taman asri fitrah.Bersambung

——————————————

[1] Ayat-ayat seperti: QS. Al-Syams [91]: 7-8, QS. Yusuf [12]: 18, QS. Thaha [20]: 96, QS. Yusuf [12]: 53), QS. Al-Qiyamah [75]: 2 dan QS. Al-Fajr [89]: 27.

[2] Pengertian ini juga disinggung dalam ayat-ayat seperti: QS. Al-Naba’ [78]: 18, QS. Al-Kahf [18]: 110, QS. Al-Nahl [16]: 82, QS. Al-Zilzal [99]: 6, QS. Yunus [10]: 19, QS. Al-Nahl [16]: 93, QS. Al-A’raf [7]: 176 dan 179.

[3] Seperti seperti: QS. Al-Qiyamah [75]: 2), QS. Al-Fajr [89]: 27, QS. Thaha [20]: 96 dan QS. Yusuf [12]: 53.

[4] Lih. QS. Al-Kahf [18]: 110, QS. Al-Zilzal [99]: 6, QS. Al-Naba’ [78]: 18, QS. Thaha [20]: 96, QS. Yusuf [12]: 53, QS. Al-Fajr [89]: 27, QS. Al-Qiyamah [75]: 2 dan QS. Al-Insyiqaq [84]: 4.

[5]Dan demi jiwa dan Dia yang menyempurnakannya, dan mengilhamkan dia dengan [pembedaan antara] kedurhakaannya dan ketakwaannya” (QS. Al-Syams [91]: 8)

[6] Seperti: QS. Yasin [36]: 83, QS. Al-Baqarah [2]: 255, QS. Al-Nahl [16]: 48-49, QS. Al-Hajj [22]: 18 dan QS. Al Imran [3]: 83.

[7] Shadr al-Muta’allihin, Asrār al-Āyāt, hlm. 138.

[8] Lih. QS. Al-Baqarah [2]: 62, QS. Al-Ma’idah [5]: 69, QS. Al-Kahf [18]: 8, QS. Maryam [19]: 60, QS. Thaha [20]: 82 dan lain-lain.

[9] Akan segera tampak jelas bahwa iman dan amal saleh juga merupakan ekspresi lain dari tutur kata. Artinya iman, amal dan ucapan, masing-masing, mengandung dua lainnya.

Share Page

Close