• LAINYA

METODOLOGI–Dapat dipastikan seluruh umat Islam percaya Alquran sebagai dasar utama memutuskan dan bertindak. Keputusan apa pun yang diambil akan berasal dari pengetahuan dan pemahaman. Maka, pemahaman tertentu atas suatu ayat akan menentukan keputusan dan tindakan.

Namun juga jelas, tidak semua orang Islam punya kemampuan menyimpulkan hukum dari Alquran; diperlukan penguasaan memadai dalam sejumlah ilmu dan, oleh karena itu, penyimpulan hukum menjadi tanggung jawab orang-orang tertentu, yakni yang memiliki kompetensi, kualifikasi dan spesialisasi.

Orang-orang kompeten ini dikenal juga dengan nama mufti, faqih dan mujtahid. Imam Abu Hanifah, Imam Maliki, Imam Syafi’i dan Imam Hanbali adalah nama-nama yang lazim dikenal sebagai mujtahid yang sampai sekarang masih dirujuk kesimpulan hukum mereka oleh orang-orang yang tidak sekapasitas mereka. Di sinilah tampak konsep ijtihad dan taklid, imam dan umat.

Sebagai manusia biasa, tentu induksi dan penyimpulan hukum mereka tidak maksum, tidak luput dari kekeliruan. Tidak ada juga seorang muslim yang percaya mereka itu maksum. Dalam kaidah disebutkan, Li al-mushib ajrān wa li al-mukhti’ ajrun wāhid: mujtahid yang benar penyimpulan hukumnya dan menjangkau makna yang dimaksud Tuhan akan memperoleh dua pahala, dan sekiranya tidak benar dan gagal menjangkau makna yang dimaksud, akan mendapatkan satu pahala.

Pada prakteknya, sepanjang upaya dan proses berijtihad, yakni menggali dan menyimpulkan hukum, mujtahid tidak semata-mata mencurahkan segenap kompetensinya dengan hanya mengandalkan teks agama. Seperti disebutkan sebelumnya, perlu penguasaan memadai atas ilmu-ilmu tertentu.

Dengan demikian, pertanyaan yang muncul adalah: apakah seorang mujtahid dan imam hukum dapat bersandar pada Alquran tanpa presupposisi, yakni asumsi dan keyakinan awal? Kalau memang tidak, presupposisi apa saja yang harus dimiliki mujtahid sebelum ia merujuk Alquran dan menggali hukum darinya? Berikut poin-poin terkait pertanyaan ini:

Baca Juga :  Melacak Sejarah Penerjemahan Al-Quran, Bahasa Persia di Peringkat Pertama

Pertama, secara umum dapat dikatakan bahwa Alquran merupakan referensi primer hukum. Alquran merupakan sumber utama dalam upaya memperoleh pandangan dan ketentuan agama.

Kedua, upaya menggali Alquran tidak akan valid dan berarti apa-apa kecuali jika memenuhi dua azas: validitas keberasalan (hujjiyyat al-shudur) dan validitas pemaknaan (hujjiyyat al-dalalah) Alquran.

Ketiga, azas seorang mujtahid dalam menyimpulkan hukum dari Alquran berpijak pada dua: keberasalan (shudur) dan makna (dalālah).

Keempat, azas keberasalan Alquran adalah:
(1) Alquran turun sepenuhnya dari Allah’
(2) Alquran terjaga utuh dari distorsi, pengurangan ataupun penambahan;
(3) wahyu terjaga utuh dari kesalahan, dan
(4) Nabi Muhammad SAW terjaga (maksum) dari segala bentuk kesalahan, sengaja atau lalai, dalam menerima wahyu juga dalam menyampaikannya.

Kelima, azas pemaknaan, yakni makna yang ditunjukkan Alquran, yaitu:
(1) Tuhan menghendaki makna-makna definitif yang terkandung dalam kata-kata dalam kalimat-kalimat Alquran;
(2) penjelasan atas makna-makna tersebut, setidaknya dalam hukum-hukum partikular, tidak keluar dari pola umum yang digunakan dalam proses pemahaman orang berakal sehat;
(3) adanya peluang yang memadai untuk menjangkau dan memahami makna-makna yang dimaksud oleh Tuhan bagi orang-orang berakal sehat terkait ayat-ayat hukum pada masa turunnya ayat-ayat tersebut, dan
(4) hukum-hukum Tuhan bersifat universal, tidak khusus pada tempat dan kondisi tertentu, kecuali hukum-hukum tersebut telah dihapus (mansukh) atau berubahnya hukum-hukum tersebut dapat dibuktikan.

Dalam seluruh mazhab Islam, Alquran dikenal, sekali lagi, sebagai sumber utama. Seluruh mujtahid, pertama-tama, akan merujuk Alquran untuk memperoleh pandangan agama dalam perkara apa pun. Artinya, Alquran merupakan mukjizat abadi Rasulullah SAW dan lebih superior (muhaiman) di atas kitab-kitab samawi lainnya.

Atas dasar perspektif dan konsensus ini, dua asas berikut ini dalam penyimpulan hukum dari Al-Quran diterima setiap kalangan:

Baca Juga :  Kematian dan Mendesain Masa Depan (1): Kematian, Identitas Manusia

Pertama, Alquran merupakan pijakan Ilahi dan hujjah Tuhan atas manusia. Apa yang kini disebut Alquran di tangan kaum Muslimin adalah Alquran yang diturunkan asli oleh Tuhan dan tidak ada unsur non-ilahi apa apun. Di dalamnya tidak ada kesalahan, baik lalai atau sengaja. Artinya, Alquran yang kini di tangan kita, kaum Muslimin, memiliki validitas keberasalan.

Kedua, makna dan kandungan Alquran dapat diakses, dijangkau dan dipahami. Untuk dapat memperoleh pandangan agama, Alquran menjadi referensi. Jadi, di samping memiliki validitas keberasalan, Alquran juga memiliki validitas makna.

Oleh karena itu, tatkala seorang mujtahid terjun dalam proses penyimpulan hukum (istinbāth) agama, ia akan menempatkan Alquran sebagai sumber ijtihad (sumber pemahaman dan penyimpulan hukum) dan menggunakan Alquran untuk memperoleh hukum partikular.

Jadi, sebelum beranjak mengeksplorasi Alquran, mujtahid sesungguhnya sudah menerima sejumlah azas terkait validitas keberasalan Alquran dan azas lainnya terkait validitas makna Alquran.

Sebaliknya, jika ia sedikit saja ragu terhadap keberasalan Alquran dari Tuhan, secara logis ia tidak dapat mengaitkan pandangannya kepada Alquran dan wahyu atau mengklaim hukum yang diperoleh dari proses instinbāth sebagai hukum Tuhan dan agama.

Lantas, apa saja azas-azas validitas keberasalan Alquran, ikuti selanjutnya!

Share Page

Close