• LAINYA

TAFSIR-ETIKA–Tidak ada tema yang dibicarakan lebih banyak dari manusia. Allah menyanjung manusia sebagai makhluk terbaik, ciptaan dengan bentuk paling ideal, khalifah Allah yakni makhluk pengganti keberadaan-Nya di bumi.

Tetapi juga tidak sedikit Allah membicarakan kekurangan dan kehinaan manusia. Bukan hanya tidak sabaran dan gampang mengeluh, tetapi lemah sekaligus merasa punya, cukup, kuat dan mandiri. Perkalian lemah dan perasaan itu adalah bodoh dan tak tahu diri.

 

يَٰٓأَيُّهَا ٱلۡإِنسَٰنُ مَا غَرَّكَ بِرَبِّكَ ٱلۡكَرِيمِ

“Wahai manusia! Apa yang telah menipumu dengan Tuhanmu yang Maha Pemurah?!”
(QS. Al-Infithar [82]: ayat 6)

Satu: Ketika ada pertanyaan dis ampaikan, tadabur tidak hanya merenungkan pada poin pertanyaan, justru juga difikirkan tentang apa jawabannya. Pertanyaannya, apa yang membuat kita jadi tertipu dan terpedaya hingga lalai dan lupa diri di hadapan kebaikan dan kemurahan Tuhan?
Ya, karena kita curang, memanfaatkan kebaikan Allah, menyalahgunakan kemurahan-Nya.

Dua: Betapa banyak aib dan kekurangan kita yang hingga saat ini belum terbongkar dan masih dirahasiakan Allah. Allah maha penutup (satir) aib kita, padahal kita masih saja membicarakan dan memuka aib orang-orang yang boleh jadi mereka itu kekasih Allah. Keadaan aman ini malah dimanfaatkan untuk melanggar perintah agama-Nya.

Tiga: Betapa banyak kita melakukan maksiat dan kesalahan yang disengaja, namun Allah maha pemurah dan masih saja memberi kesempatan kita untuk berubah menjadi insaf dan baik. Kemurahan Allah ini malah disalahgunakan untuk melanjutkan kesalahan, padahal dirinya tahu itu salah.

JAGALAH DIRIMU DARI MABUK NIKMAT–Sayyidina Ali bin Abi Thalib

Empat: Kurang ajar dan kecurangan kita pada Allah kian nista dengan memanfaatkan kebenaran Allah, Alquran dan agama, untuk kepentingan dan keinginan nafsunya menjadi hidup enak, berkuasa, mencitrakan diri tampak baik, bahkan menindas yang lain. Dalam Al-Baqarah [2]: 26, perumpamaan nyamuk saja bagi orang beriman adalah kebenaran Tuhan yang memberi petunjuk hidup, tapi kebenaran yang sama menjadi penyesatan hidup bagi orang yang tidak menghargai nilai nyamuk.

Baca Juga :  Tema-tema Pokok Al-Qur'an: Tafsir Tematik Fazlur Rahman, Orientasi Kemanusiaan

Lima: Keterpedayaan akibat dari kesalahan dan kedangkalan nalar. Allah SWT mengingatkan kita akan kelemahan pikiran kita. Pada dasarnya, mengabaikan Allah merupakan sikap irasional, meskipun pada umumnya manusia pendosa masih mengaku bahwa dirinya berakal sehat.

Kita harus waspada terhadap kondisi-kondisi yang, di dalamnya, menganggap diri kita sudah sangat cerdas dan selamat dari penipuan. Dalam logika Al-Quran, jauh dari Allah SWT, tidak berterima kasih, apalagi melanggar hukum-Nya, merupakan kedangkalan berpikir dan kesalahan menghitung dan menimbang.

EnamKecurangan kita pada Allah boleh jadi karena menyepelekan (tidak peduli, masa bodoh) pada kemurahan Allah. Ya, kita akan mudah bersikap santun dan ramah kepada orang yang masing asing, belum kita dikenal.

Justru kita tidak atau kurang berterima kasih kepada mereka yang dekat dengan kita dan lebih menghargai kita, atau kita malah menganggap penghargaan mereka kepada kita sebagai kewajiban. Dalam anggapan seperti ini, kita boleh jadi bukan hanya tidak bersukur, tetapi juga bisa geram, jengkel dan bermuka masam hanya karena kekhilafan sepele.

Barangkali contoh terbaik di sini adalah orang tua. Umumnya, kita akan berterima kasih dan berhormat kepada orang yang membantu menyelesaikan satu urusan kantor yang tidak memberikan keuntungan sedikit pun dari kita. Jelas, bantuannya tidak seberapa bila dibandingkan dengan kedua orang tua kita; mereka membesarkan kita dengan susah payah, bertahun-tahun berbaik hati demi mencukupi kebutuhan kita tanpa pamrih, malam-malam bergadang demi kita bisa tidur enak, masa muda mereka dihabiskan demi menjaga kehormatan hidup keluarga.

JANGAN PERNAH MEMPERMALUKAN SEORANG MUSLIM, KARENA MUSLIM YANG RENDAH DI MATA MAKHLUK ADALAH MULIA DI SISI ALLAH–Sayyidina Abu Bakar

Lantas, sekali saja keinginan kita tidak terpenuhi, begitu cepat kita kecewa, ngambek, rewel, atau berkata tak pantas kepada mereka. Kita lalai hingga tidak berterima kasih dan tak tahu budi orang tua, karena kita memandang apa yang selama ini mereka perbuat untuk kita tak lebih dari kewajiban mereka.

Baca Juga :  Tadabur: QS. Al-Fatihah [1]: ayat 3

Begitu pula, kita dengan Allah SWT. Apa pun yang kita miliki berasal dari kasih sayang dan kemurahan-Nya, bahkan kemampuan kita memprotes sampai membangkang kehendak-Nya juga berasal dari-Nya. Ayat di atas mengajak kita menyadari diri sendiri: apa yang membuat kita jadi lalai, lupa diri hingga tertipu dalam kebaikan Allah?! Sudah kita memikirkan diri sendiri?

Tujuh: Introspeksi diri, evaluasi diri dengan jujur. Sejenak saja kita pantas meluangkan waktu untuk menghitung karunia Allah SWT seperti: mata, telinga, tangan, kaki, lidah, gigi, tenggorokan, jari, …., ayah, ibu, sahabat, fasilitas hidup, udara, …. cinta, kasih, rasa, hati lapang dan lain-lainnya.

Lalu, dibandingkan dengan semua ini, seberapa banyak ingatan kita tertuju kepada Allah?, sebesar apa fokus niat dan ketulusan kita kepada-Nya?, seberapa rencana dan pola hidup kita sesuai dengan kehendak dan agama-Nya? Betapa kita tidak berterima kasih dan tak tahu budi di hadapan-Nya dalam setiap kesulitan dan ujian kehidupan kita.

Maka, perlu kita berulang-ulang mengintrogasi diri sendiri: pantaskah kita menuntut dan merasa memiliki hak di hadapan Allah?! Bila kita tidak berterma kasih dan sombong terhadap orang yang berjasa, kenapa kita justru lalai tidak berterima kasih atas jasa paling besar dari Allah Yang Maha Pemurah dan Maha Bijaksana?! Apakah ini bukan bukti bahwa kita lupa diri sendiri?! Bukankah ini bukti bahwa kita tidak tahu diri, tidak tahu malu?

DelapanDalam ayat ini, Allah SWT melontarkan pertanyaan mendasar: apakah yang menyebabkan manusia terperdaya di hadapan Tuhan yang Maha Pemurah?! Ayat ini memperingatkan kita agar menyadari diri sendiri, menguasai diri tidak tertipu oleh segala hal yang palsu menggantikan yang asli dan hakiki.

Baca Juga :  Tafsir Tematik Karya Fazrul Rahman sudah bisa Diunduh

Kita terperdaya oleh dunia (QS. Al ‘Imran [3]: 185), terperdaya oleh setan (QS. Al-Nisa’ [4]: 120), terperdaya oleh manusia-manusia zalim (QS. Fathir [35]: 40), terperdaya oleh berbagai usaha dan prestasi orang kafir (QS. Al ‘Imran [3]: 196). Padahal manusia sombong akan mudah termakan oleh tipu daya mereka.

Sembilan: Keliru bila dikatakan bahwa kemurahan Allah telah memperdayai kita, karena kemurahan Allah berdampak pada taat dan bersyukur, bukan malah bermaksiat dan mengkufuri nikmat. Juga keliru bila dikatakan bahwa setan telah mempedayaiku, karena dalam Al-Quran disebutkan setan sebagai musuh yang nyata tidak boleh untuk diikuti.

Demikian pula keliru bila dikatakan kebodohanku memperdayaiku, karena selama ini para nabi diutus untuk mengajarkan hukum dan hidayah kepada manusia. Maka, tidak ada alasan apa pun yang dapat dijadikan pembelaan atas keterpedayaan kita kecuali diri sendiri.

Sepuluh: Dalam beberapa ayat setelahnya, secara rinci Allah SWT menyebutkan nikmat-nikmat-Nya. Dia juga menunjukkan satu jalan paling utama agar tidak sombong dan tidak terperdaya oleh dunia, yaitu mengingat Allah dan merenungi nikmat-nikmat-Nya.

Ini sebagaimana juga ketika seorang selalu mengingat berbagai bencana dan kesulitan lain seperti: mengunjungi orang-orang sakit, berempati pada kesusahan orang lain, semua ini merupakan cara-cara mengingat kenikmatan-kenikmatan dirinya sendiri.

Suatu hari, Sayyidina Ali ra. pernah membaca ayat ini dan, dalam pidatonya (Nahj Al-Balaghah, pidato no. 223), ia menjelaskan kandungannya, “Tidak ada alasan bagi orang berdosa yang terperdaya sebagai pihak yang diajak bicara langsung oleh ayat “Wahai Manusia, apakah yang telah mempedayamu terhadap Tuhanmu yang Maha Pemurah”. Jelas, dia memaksakan diri untuk tetap dalam kebodohannya, sehingga pilihan kebahagiaannya adalah dunia yang fana ini daripada surga abadi.”

Share Page

Close