• LAINYA

6. Wahdatul Wujud: Cara dan Kriteria Mencapai Tauhid

Bagaimana mencapai tingkat Wahdatul Wujud dalam bertauhid? Atas dasar kriteria apa seseorang dinilai telah mencapai tingkat tersebut? Ayat Cahaya secara lengkap menyinggung cara dan kriteria pencapaian derajat Tauhid ini di penutupan ayat.

Kembali ke kalimat Tauhid. Kalimat ikrar ini dengan makna di atas tadi tak lain dari doktrin Wahdatul Wujud. Tauhid ini tidak hanya dicapai dan dideskripsikan dalam dua pola: afirmasi sekaligus negasi, tetapi dua pola ini juga tampak dalam memulai dan menjalani upaya menempuh jalan menuju jenjang tinggi Tauhid. Coba perhatikan penggalan masih dalam ayat Cahaya, Allah cahaya lelangit dan bumi … Allah menunjukkan kepada Cahaya-Nya siapa yang Dia kehendaki (QS. Al-Nur 24: 35).

Penggalan kedua ini sesungguhnya menegaskan Wahdatul Wujud di penggalan pertama. Seperti juga rahmat Allah, dalam Alquran hidayah Allah juga ada dua: hidayah umum dan hidayah khusus. Cahaya juga demikian: cahaya umum dan cahaya khusus. Rahmat umum, hidayah umum dan cahaya umum bersifat ontologis (terkait dengan realitas objektif atau, sebut saja, tata-cipta), sementara rahmat khusus, hidayah khusus dan cahaya khusus bersifat aksiologis (terkait dengan kehendak bebas makhluk atau, sebut saja, tata-tinta).

Hidayah dalam penggalan itu kemungkinan besar adalah hidayah khusus, yakni bagi orang yang dikehendaki Allah, orang yang bercahaya dengan cahaya khusus, yaitu cahaya ilmu dan iman. Sesuai kadar ilmu-imannya, dia menjangkau tingkatan tertentu dari cahaya Allah. Dari kalangan mufasir, entah sufi atau nonsufi, ada kesepakatan atas tafsiran hidayah di sini sebagai hidayah khusus atau hidayah taufik (Simiari, 2018).

Atas dasar ini, Allah menunjukkan kepada Cahaya-Nya siapa yang Dia kehendaki, bisa juga berarti begini: Allah menunjukkan (hidāyah) yaitu mengantarkan (īshāl) orang beriman hingga ia, dengan hidayah khusus-Nya, dapat menjangkau dan menyingkap Cahaya-Nya yang Absolut yang tersebut di awal ayat, Allah Cahaya lelangit dan bumi.”

Cahaya Mutlak Allah adalah Ada Absolut yang Esa yang keesaan-Nya melenyapkan setiap dan seluruh klaim cahaya, Ada dan kenyataan, Tidak ada tuhan kecuali Allah Yang Esa Maha Perkasa (Shad 38: 16). Keesaan Maha Perkasa (al-wāhid al-qahhār) yaitu Kesatuan Maha Mengalahkan yang melenyapkan apa saja selain-Nya hingga tampak dan nyata realitas mereka sesungguhnya tidak ada apa-apanya dan bukan apa-apa sama sekali. Keperkasaan ini akan disadari dan diakui, kalau tidak di dunia sekarang ini secara sukarela, kelak di kehidupan setelah kematian secara terpaksa: Milik siapakah kekuasaan hari ini? Milik Allah Yang Esa Maha Perkasa.” (QS. Ghafir 40: 46)

Thabathaba’i menuliskan, “Intinya, yang dimaksud dengan cahaya dalam firman-Nya, Allah Cahaya lelangit dan bumi, ialah Cahaya Universal yang dengannya segala sesuatu bersinar. Maka, cahaya ini identik dengan Ada segala sesuatu, dengan kenyataan-Nya pada Diri-Nya dan untuk selain-Nya. Itulah al-rahmat al-‘ammah ‘kasih universal’.” (Thabathaba’i, 1997, v. 15, p. 123).

Baca Juga :  Bolehkah Bernyanyi dengan Ayat-ayat Alquran Diiringi Alat Musik?

Derajat absolut dan akbar dari kesatuan cahaya universal Allah ini juga dapat dijangkau oleh orang beriman dengan cahaya khusus dan istimewa berupa iman dan ilmu karena kedekatannya dengan Allah melalui ibadah, taat mutlak dan kepasrahan total hingga tidak tersisa dari dirinya selain menyerahkan segenap kehendak bebasnya; segenap wujud dan totalitas dirinya berada sepenuhnya habis dan lenyap dalam kehendak dan hukum Allah. Tidak! Siapa yang memasrahkan wajahnya (sepenuh dirinya) kepada Allah dalam keadaan berbuat baik, dia mendapat pahalanya di sisi Tuannya dan tidak ada rasa takut pada mereka juga mereka tidak bersedih. (QS. Al-Baqarah 2: 112)

“Memasrahkan diri” itulah takhalli, “dalam keadaan berbuat baik” itulah tahalli, “mendapatkan pahala di sisi Tuan-Nya” itulah tajalli (tampaknya) hidayah, cahaya khusus dan tercapainya derajat Tauhid. Demikian prestasi tertinggi orang bertakwa yang disebutkan di ayat sebelum ayat Cahaya: nasihat bagi orang-orang yang bertakwa. Di ayat lain, orang beriman dan bertakwa itu adalah para wali (awliya’) dan kekasih terdekat Allah: Ketahuilah bahwa wali-wali Allah tidak takut juga tidak sedih. [Yaitu] orang-orang beriman dan mereka senantiasa bertakwa. Bagi merekalah berita bahagia di kehidupan dunia dan di akhirat, tidak ada pergantian bagi kalimat-kalimat Allah. Demikian itu adalah kesuksesan yang besar (QS. Yunus 10: 62-64).

Wali bertakwa adalah orang yang telah menyerahkan segenap wujud dan apa pun kehendak di hatinya kepada Allah. Ia dikehendaki Allah mendapat hidayah taufik dan cahaya khusus-Nya hingga dapat mencapai Cahaya Mutlak Allah karena keberhasilannya meniadakan kehendak dirinya sendiri (negasi diri: fana’) hingga berhasil dikuasai hatinya oleh kehendak Allah (afirmasi Allah). Tidak mungkin ada dua kehendak dalam satu hati: Allah tidak menjadikan bagi seseorang dua hati dalam dirinya (QS. Al-Ahzab 33: 4).

Orang yang masih mempertimbangkan keinginan, kemauan, kepentingan dan ego diri sendiri di atas kehendak Allah atau merasa kurang puas hingga berkelat-kelit dan mencari-cari celah lolos dari hukum Allah apalagi sampai mempertanyakan atau mengubah-ubahnya, semua itu tanda dirinya menyimpan kecenderungan menduduki posisi tuhan, sebagian kecil ataukah sepenuhnya. Dari Sayidina Ali bin Abi Thalib, “Musuhmu yang paling memusuhi adalah nafsumu dalam dirimu sendiri.” Apakah kamu pernah melihat orang yang menjadikan keinginannya sebagai tuhannya …?!” (QS. Al-Jatsiyah 45: 23).

Itulah mengapa manusia tidak disebut Allah sebagai orang beriman kecuali dia sudah tidak lagi berpikir diri sendiri dan tidak lagi memprioritaskan pilihannya di atas pilihan dan hukum Allah, Dan tidaklah pantas bagi lelaki mukmin dan perempuan mukminah, apabila Allah dan Rasul-Nya telah menetapkan suatu keputusan, masih memiliki pilihan [lain] dari urusan mereka (QS. Al-Ahzab 33: 36).

Baca Juga :  Naskah Raksasa Al-Quran Tulisan Tangan di Afganistan

Tauhid di sini bukan hanya memurnikan Allah dari selain Allah, tetapi juga berarti bertakwa (menjaga diri tetap suci) dari apa pun kecenderungan ke arah klaim ketuhanan, ke situasi apa pun yang berpotensi jadi beda dengan kehendak Allah. Menegasikan ego, kehendak dan pilihan sendiri merupakan cara yang dapat memastikan kosongnya hati untuk lantas diisi dan dikuasai sepenuhnya oleh kehendak Allah.

Ketiadaan pilihan dan tidak mendefinisikan kehendak bebas kecuali dengan hukum dan kehendak Allah adalah hakikat budak, yakni makhluk yang tidak punya kebebasan; kehendaknya tidak berada pada dirinya selain ditentukan oleh tuannya. Menjaga hakikat diri untuk tetap konsisten sebagai budak adalah takwa. Di hadapan Allah Tuan seluruh alam, derajat budak ini adalah manusia sempurna dan mukmin seutuhnya. Sabda Nabi SAW, “Hati orang beriman adalah arasy Sang Mahakasih.”

Maka tidak ada cara memperoleh hidayah khusus untuk mencapai Cahaya Mutlak dan Wahdatul Wujud kecuali dengan tidak menyekutukan Allah dalam diri sendiri atau, dengan kata lain, menggosok layar hati sampai bening dan bersih dari selain Allah dan menunggalkan hati hanya Ada Allah, seperti kisah seniman China dan seniman Eropah dalam Matsnawi Jalauddin Rumi.

Keadaan orang beriman dekat dengan Allah digambarkan Nabi SAW dalam hadis Qudsi demikian:

Allah berfirman, “Siapa yang memusuhi wali-Ku, maka Aku umumkan perang kepadanya, dan hamba-Ku tidak bisa mendekatkan diri kepada-Ku dengan sesuatu yang lebih Aku cintai daripada yang telah Aku wajibkan. “Hamba-Ku terus menerus mendekatkan diri kepada-Ku dengan amalan sunnah sampai Aku mencintainya. Jika Aku sudah mencintainya, maka Akulah pendengarannya yang dengannya ia mendengar, Aku penglihatannya yang dengannya ia melihat, Aku tangannya yang dengannya ia memukul, dan Aku kakinya yang dengannya ia berjalan. Jikalau ia meminta-Ku, pasti Ku-beri, dan jika meminta perlindungan kepada-Ku, pasti Ku-lindungi.” (al-Bukhari, 1980, p. 192)[1]

 

KESIMPULAN

Salah satu tantangan sekaligus tanggung jawab epistemologis (doxastic responsibility) yang paling klasik di hadapan kalangan sufi ialah bagaimana menjelaskan pengalaman intuitif dan personal mereka hingga dapat dicerna oleh rasionalitas kalangan lain. Sudah lama dan banyak upaya menurunkan doktrin Wahdatul Wujud sebagai pengalaman batin dan penyaksian intuitif tertinggi sufi ke tingkat pemahaman konseptual, dan dicurahkan bukan hanya oleh para sufi sendiri, tetapi juga ditunaikan oleh kalangan filsuf, terutama oleh Mulla Sadra melalui aliran filsafatnya, Kebijaksanaan Luhur (al-hikmah al-muta’aliyah), dalam karya-karya filsafat, tafsir dan hadisnya (Yazdanpanah, Y. (2011). Ushul va Mabani Irfan Nadzari, Qom, hal. 30).

Baca Juga :  Tadabur: QS. Al-Mukminun [23]: ayat 18

Pemahaman konseptual itu juga diupayakan oleh kalangan mufasir yang, untuk sementara ini, masih berlatar belakang tasawuf dan filosof. Artinya, wajar sekali bila mereka selaku sufi atau filsuf melakukan upaya itu dalam tafsir-tafsir sufistik dan filosofis mereka. Namun selain mereka, tampaknya relatif sulit menjumpai mufasir yang mengupayakan pemahaman konseptual atas doktrin Wahdatul Wujud melalui tafsirnya atas ayat-ayat suci tertentu. Dan lebih sulit lagi menanti dari mufasir dan mutakallim yang senyatanya menggunakan metode literalisme. Sebaliknya, kecenderungan umum mereka ini justru menilai gagal upaya dan pertanggungjawaban intelektual sufi bersama filsuf tersebut melalui narasi sesat, bid’ah hingga kafir (Mosavi, et al., 2021).

Di sini, penulis mencoba meninjau kembali penilaian negatif mereka tadi dengan cara yang sama, yaitu menggunakan metode literalisme dalam memahami teks suci. Bertolak dari rumusan masalah, Ayat Cahaya, tafsir-tafsir sufi dan non-sufi serta metode literalisme tadi, bahkan dalam bentuknya yang paling elementer, yakni terjemah literal, peninjauan dan penelitian ini mencapai, secara berurutan, dua konklusi teoretis dan tiga konsekuensi praktis berikut ini:

Pertama, Wahdatul Wujud dapat dipahami, dijelaskan dan diargumentasikan kesahihannya dari sekedar terjemah literal (harfiah) atas Ayat Cahaya.

Kedua, penjelasan konseptual atas Wahdatul Wujud, selain menyatakan perbedaannya dari kemenempatan (hulul) dan kemenyatuan (ittihad), juga menolak dua doktrin ini.

Ketiga, penjelasan dan argumentasi atas Wahdatul Wujud, selain turut meluruskan kesalahpahaman, juga membuka peluang untuk menyusut keregangan antara sufi dan non-sufi akibat polemik seputar doktrin tersebut.

Keempat, praktik memahami teks sepanjang pembahasan kiranya dapat memfasilitasi publik untuk juga terlibat dalam tadabbur atas ayat suci dengan memaksimalkan ketelitian atas makna terjemahan harfiah.

Kelima, metode terjemah literal ini berpeluang untuk dikembangkan dengan elemen lain dalam memahami teks suci di kalangan sufi seperti: konsep Ruh Makna, juga di kalangan outsider seperti: teori Medan Makna dari Toshihiko Izutsu.

Keenam, metode terjemah literal perlu diuji lebih lanjut penerapannya pada ayat-ayat selain Ayat Cahaya yang diacu para sufi dalam menjelaskan Wahdatul Wujud ataupun doktrin tasawuf lainnya seperti: konsep sesat (al-dhalal), konsep zalim (al-dzulm), kafir, syirik,  agnoseologi (al-ta’thil), derajat esensi (maqam al-dzat).

 

Referensi selengkapnya agar dirujuk ke makalah asli dengan judul “Literal Signs around the Verse of Light: Examining Unity of Being in the Translation of the Qur’an”, di jurnal al-Turas, UIN Jakarta:

———————————

[1] Al-Bukhari: Shahīh al-Bukhārī, hadis no. 6502, jld. 4, hlm. 192.

Share Page

Close