• LAINYA

FILSAFAT-POLITIK–“Seperti apa negeri impian Buya Maarif?” Pertanyaan yang dipasang litbang Kompas (Senin, 30/05/2022) jadi tajuk utama refleksinya ini tidak berarti apa-apa jika tidak ada hubungannya dengan kita, dengan masa depan kita, sekarang ini.

Entah kompas sendiri pernah melitbangkan masa depan ideal negeri ini untuk menakar nilai keberadaannya sendiri dengan pertanyaan serupa: seperti apa negeri impian Kompas? Namun, masing-masing kita, sebelum orang lain, pernahkah menguji kualitas hidup kita dengan pertanyaan itu: seperti apa negeri impian dan masa depan ideal aku?

Pertanyaan ini hanya dan hanya berarti bagi orang yang punya mimpi, mau dan berani bermimpi. Beruntungnya, orang Indonesia sudah punya mimpi, bahkan oleh Soekarno diberanikan untuk bermufakat mau bermimpi hidup merdeka. Tentu, mimpi saja tidak cukup, sama tidak cukupnya punya Pancasila dan berteriak “Saya Pancasila”. Tidak cukup.

Alhasil, pertanyaan litbang Kompas di atas itu masalah filosofis paling jadul sejak awal kali filsafat diinisiatif sekaligus paling mantul karena esensial dan masih saja aktual menegangkan saraf ketelitian pemikir sampai sekarang. Diksi “negeri impian” sudah diperkenalkan untuk pertama kalinya oleh filosof dan lantas lazim dikonsepkan oleh hukama Islam dengan nama “madinah fadhilah”.

Sejak awal kali nama filsafat dipilih Sokrates bersama muridnya, Platon, filsafat digagas dan diagendakan hanya dan utamanya untuk menjawab pertanyaan itu. Filosof ini melakukan sekian banyak percobaan di di dalam dan di luar negeri, melaksanakan tanggung jawab filsafatnya dalam mewujudkan negeri impiannya dengan segenap resiko pikiran dan nyawa.

Pertanyaan di atas, bagi filosof, sama dengan pertanyaan fundamental mengenai identitas dan hakikat filsafat itu sendiri: untuk apa berfilsafat?

Jawaban filosof sama dengan Tuhan-nya orang Islam menjawab pertanyaan, “Untuk apa kita hidup di bumi, dan untuk apa kita beragama?”, yaitu untuk jadi khalifah ‘pengganti’ dan wakil kekuasaan Dia di bumi dan membangun surga di dunia dengan (1) pengetahuan (allama adam al-asma’) dan (2) kemauan-keteguhan jiwa (fa istaqim kama umirta).

Baca Juga :  Profil Pemimpin Ideal dalam Tasawuf Politik Platon dan Khomeini (3): Ulama sama dengan Nabi

Kira-kira bisa diraba-raba siapa orang-orang yang merasa terancam kepentingan mereka oleh jawaban ini, seperti juga sudah bisa membayangkan siapa saja pihak-pihak yang tersinggung oleh konsep negeri impian Buya Maarif.

Pada hemat filosof Platonik, filsafat senyatanya dikapsulkan dalam rumusan hidup: menjadi tahu untuk membangun negeri impian di atas keadilan melalui kekuasaan. Trisula pengetahuan-keadilan-kekuasaan inilah hikmat kebajaksanaan.

Karena berbasis pengetahuan (sophia), filsafat menentang peluang orang jadi penguasa hanya lantaran popularitas (selebritas) dan kekayaan (oligarkia). Karena kemauan dan cinta (phila), filsafat juga menentang pemikir yang hanya pandai berteori, menulis, berpidato, mendeskripsikan dunia dan masa depan.

Sudah sepenuhnya tepat bila Karl Marx menyindir para filosof yang hanya teliti menafsirkan dunia tapi tidak siap hadir dalam medan konflik dan sekedar bekerja di luar agenda mengubah dunia.

Sekedar berpikir, berteori, menulis, berpidato dan berseminar saja tidak akan mengubah dunia apalagi menghadirkan surga di dalamnya, tak ubahnya dengan hanya menggosok gigi dan berkumur tanpa memuntahkan. Yang tersisa hanya busa pasta gigi bercampur kuman di ambang tenggorokan.

Pemikir dan filosof sejati adalah pejuang dan pengabdi sampai mati. Tidak banyak filosof jenis ini, karena boleh jadi, seperti kebanyakan orang, mereka lebih memilih hidup di zona aman.

Setiap pilihan hidup ada resikonya, dan resiko akan menentukan nilai pilihan. Semakin resiko serius, semakin pilihan hidup kita serius. Seperti kata-kata Ali bin Abi Thalib, tidak ada resiko yang lebih serius dari kematian.

Filosof memang bukan nabi, kendati nabi itu pasti filosof. Sama dengan nabi, filosof sekualitas Platon dan Suhrawardi mengabdikan pengetahuan dan kebijaksanaannya untuk bekerja keras meyakinkan dan membangun manusia sempurna, dunia surgawi dan negeri impian dengan resiko dan ongkos tertinggi: mati atau terancam mati. Untuk juga jadi catatan pelengkap, nabi dan filosof itu dimatikan, diancam mati dan disengsarakan oleh penguasa.

Baca Juga :  Profil Pemimpin Ideal dalam Tasawuf Politik Platon dan Khomeini (1): Parodi Kekuasaan

Yang tidak punya mimpi atau tidak mau bermimpi atau menganggap mimpi itu utopis, maaf saja, bukan filosof, bukan filsuf, apalagi ulama, karena bermimpi ingin dan jadi manusia sempurna saja sudah gagal, bagaimana lantas akan berperan semirip Tuhan Mahakuasa di atas bumi.

Dunia kita adalah pikiran kita. Dunia kita adalah cermin dari kualitas pikiran dan idealisme kita. Mimpi dan idealisme Buya Maarif tidak muluk-muluk dan sesungguhnya hanya itu-itu lagi: sekedar berdaulat dan tidak korupsi, tidak seberapa daripada impian filosof. Tetapi, dua impian ini saja sudah nyata dan tepat disebut utopis dan muluk-muluk sepanjang dua dekade bangsa ini dan elitenya menjalani era reformasi.

Kita yang kini harus memperpanjang tidur dan mimpi bangsa sampai 2050 nanti dan mengais Pancasila seolah berada di ujung hidung lokomatif “kemerdekaan” sambil terus menerus memperbaiki rel sepanjang jalan dengan bercucur peluh dan keluh, sementara di atas gerbong segelintir elite, seperti jajaran kapten kapal dalam parodi Sokrates, berpesta pora atas nama konstitusi dan demokrasi.

Kita bebas menjatuhkan pilihan: mau terus menjalani hidup berindonesia ini dalam posisi di bawah lokomotif atau di atas gerbong. Asal kita tetap yakin masih ada kemauan dan keberanian mengambil pilihan out of the box, di luar dari dua posisi primitif kebinatangan dan keiblisan tadi. Kalau tidak berminat jadi Tuhan dan khalifah-Nya, setidaknya ada sisa kemauan mempertahankan diri tetap jadi manusia, sekedar jadi manusia beradab: bersih dan berdaulat. Selamat Hari Lahir Pancasila!-AFH

Share Page

Close