• LAINYA

HADIS-ETIKA–Rasanya mustahil hidup di dunia ini tanpa masalah. Hidup sendirian sama mustahilnya, hidup dengan yang lain hanya menambah masalah. Ada semacam serba-salah. Kata orang bijak Athena, Solon, tidak ada yang sepenuhnya senang dan bahagia hidup di dunia fana ini.

Dalam Alquran sendiri, hidup ini adalah medan pengujian (QS. Al-Mulk [67]: 2). Setiap orang diuji dengan berbagai kemungkinan mati dan hidup. Kebahagiaan seseorang dipastikan dari kesuksesannya menuntaskan hidupnya dan menjalani cara kematiannya, yaitu husnul khatimah.

Sepanjang hidup dan mati itu, ujian dan masalah akan datang. Kompleks dan rumitnya masalah kerap muncul dalam interaksi sosial, dari mulai di dalam rumah hingga negara. Dalam masalah-masalah interaksi itu, kita berada satu dari dua keadaan: jadi subjek pembuat masalah atau jadi objek-korban masalah.

Dalam penyelesaian masalah sosial, keadilan adalah hukum paling minimal dan paling merata. Berdasarkan azas keadilan ada kepastian hukum: mana yang benar, mana yang salah; pihak mana yang memperoleh hak dan pihak mana yang harus menunaikan tanggung jawab.

Namun, ada azas yang lebih ideal dan maksimal untuk menuntaskan perkara, yaitu memaafkan, mengalah, memaklumi dan berbesar jiwa. Tidak ada tuntut-menuntut; tidak ada hak dan tanggung jawab. Yang ada dalam memaafkan dan memaklumi adalah cinta dan belas-kasih. Dalam bahasa kita, orang Indonesia, azas ini adalah azas kekeluargaan.

Azas kekeluargaan tidak akan tegak tanpa saling memahami, ada pihak mau mengalah dan mau memaklumi. Tuntutan moral mengalah dan kekekuargaan sudah sepatutnya diteladankan oleh pihak-pihak beperkara yang posisinya lebih kuat (status, otoritas, ekonomi, media).

Orang-orang kuat itu termasuk pejabat, tokoh masyarakat juga orang tua. Dengan begitu, warga mendapatkan keteladanan moral untuk memprioritaskan dan memaksimalkan penyelesaian kekeluargaan daripada menempuh proses perkara di pengadilan.

Baca Juga :  Menimbang Kasus Syekh Siti Jenar, dari Sufi Syi’ah hingga Korban Politik

Berikut ini beberapa hadis tentang orang kuat yang memaafkan:

“Orang yang memaafkan pada saat mampu membalas pasti akan dimaafkan Allah di hari kesusahan.”
“Orang yang paling patut memaafkan adalah yang paling mampu membalas.”
“Jika engkau berkuasa atas lawanmu, maka jadikanlah maafmu untuknya sebagai syukurmu atas kekuasaanmu.”
“Tindakan terindah dari orang yang berkuasa adalah memaafkan.”

Karakter memaafkan dan memaklumi ini sangat ditekankan dalam Alquran (QS. Al-Baqarah [2]: 109; Al Imran [3]: 159; Al-Maidah [5]: 13). Kedudukan dan derajat orang pemaaf juga mudah dijumpai dalam banyak riwayat. Salah satu di antaranya diriwayatkan oleh Imam Hakim Al-Naisyaburi berikut ini.

Pada suatu hari, Rasulullah SAW berkumpul dengan para sahabatnya. Di tengah perbincangan, tiba-tiba ia tertawa ringan sampai-sampai terlihat giginya yang putih dan rapih.

Umar bin Khatthab yang berada di situ bertanya, “Demi engkau, ayah dan ibuku sebagai tebusannya! Apa yang membuatmu tertawa, wahai Rasulullah?”

Rasulullah SAW menjawab, “Aku baru saja diberitahu bahwa di Hari Kiamat nanti, ada dua orang yang duduk bersimpuh sambil menundukkan kepala mereka di hadapan Allah.

Salah satunya mengadu kepada Allah sambil berkata, ‘Ya Rabb, ambilkan kebaikan dari orang ini untukku, karena dulu dia pernah berbuat zalim kepadaku!’

Allah SWT berfirman, “Bagaimana mungkin saudaramu ini bisa melakukan itu, karena sudah tidak ada lagi kebaikan pada dirinya?”

Orang itu berkata, “Ya Rabb, kalau begitu, biarlah dosa-dosaku dipikulkan ke atasnya!”

Sampai di sini, mata Rasulullah SAW berkaca-kaca. Ia tidak mampu membendung tetesan air matanya. Ia menangis lalu berkata, “Hari itu adalah hari yang begitu mencekam, dimana setiap manusia ingin agar ada orang lain yang memikul dosa-dosanya.”

Baca Juga :  Masuk Islam karena Alquran (1): Maurice Bucaille, Dokter Profesor Perancis

Rasulullah SAW melanjutkan kisahnya, “Lalu Allah menyuruh orang yang mengadu tadi, “Angkat kepalamu!”

Orang itu mengangkat kepalanya lalu berkata, “Ya Rabb, aku melihat di depanku ada istana-istana sangat megah yang terbuat dari emas, dan di dalamnya terdapat singgasana yang terbuat dari emas dan perak bertatahkan berlian, intan dan permata. Istana-istana itu untuk siapa, ya Rabb? Untuk nabi? para syuhada? ataukah untuk orang jujur, ya Rabb?”

Allah berfirman, “Istana-istana itu diberikan kepada orang yang mampu membayar harganya.”

Orang itu berkata, “Siapakah yang bakal mampu membayar harganya, ya Rabb?”

Allah berfirman, “Engkau juga mampu membayar harganya.”

Orang itu terheran-heran sambil berkata, “Dengan cara apa aku membayarnya, ya Rabb?”

Allah berfirman, “Caranya, engkau memaafkan saudaramu yang duduk di sebelahmu ini, yang engkau adukan kezalimannya kepada-Ku.”

Orang itu berkata, “Ya Rabb, kini aku memaafkannya.”

Allah berfirman, “Kalau begitu, pegang tangan saudaramu itu, dan ajak dia masuk surga bersamamu.”

Setelah menceritakan kisah itu, Rasulullah SAW bersabda:

“Bertakwalah kalian kepada Allah dan hendaknya kalian saling berdamai! Sesungguhnya Allah mendamaikan persoalan yang terjadi di antara kaum muslimin.” (HR. Al-Hakim dengan sanad yang shahih).

Share Page

Close