• LAINYA

TAFSIR-SUFI–Umumnya dan galibnya, basmalah atau ayat bismillah (bismillahirrahmanirrahim) dipandang sebagai deskripsi Allah mengenalkan diri-Nya. Dari artinya saja sudah cukup menjelaskan focus ayat pembuka di setiap surat Alquran ini (selain surat Al-Taubah), yaitu “Dengan nama Allah Yang Mahakasih Maha Pengasih”.

Namun, sedikit saja mencermati setiap kosakata dan diksi yang membentuk ayat (kalimat) bismillah akan dijumpai makna lain, yaitu deskripsi Allah tentang manusia, padahal di dalamnya tidak ada kata apa pun yang terkait langsung dengan manusia. Bagaimana demikian? Berikut ini penjelasannya!

Cukup secara literal dan harfiyah saja, perhatikan frasa pembuka ayat: bi-smi-Allah “dengan nama Allah”. Kata “dengan” sebagai padanan kata aslinya “bi”, dalam Bahasa Arab, mengandung banyak arti. Leksikolog Arab menghimpunnya hingga 16 arti. Dalam konstruksi kalimat bismillah, kata “bi” (dengan) bisa juga untuk menyatakan ketinggian (li al-isti’la’). Atas dasar ini, maka frasa bi-smi-Allah ini berarti “atas nama Allah”.

 

ATAS NAMA ALLAH

Dalam budaya bahasa Arab juga Bahasa Indonesia dan bahasa lainnya, frasa “atas nama” digunakan pada seseorang yang menggantikan keberadaan dan posisi orang lain yang punya otoritas dan kewenangan asli.

Misalnya, di akhir teks Proklamasi Kemerdekaan 1945,  Soekarno menuliskan dan membacakan, “Atas nama bangsa Indonesia”, yakni saya berdiri dan menyatakan kemerdekaan di sini sebagai wakil yang merepresentasikan eksistensi dan kedudukan sah bangsa Indonesia.

Begitupula, surat dan dokumen resmi yang ditandatangani oleh seorang wakil dalam ketiadaan pihak yang diwakilinya sebagai pemegang hak kuasa asli adalah surat dan dokumen yang sah, legal dan berkekuatan hukum meskipun dibubuhi a/n, yakni atas nama.

Demikian pula bismillah. Frasa ini, bila diartikan “atas nama Allah”, maka yang membaca Alquran adalah manusia yang layak mengatasnamakan Allah, yaitu punya kepatutan dan segenap syarat menjadi wakil dan reperesentatif Allah sehingga kedudukannya sama dengan kedudukan Allah.

Dengan membaca bismillah, pembaca seolah-olah menyatakan dirinya sebagai representatif Allah, yakni aku mengatasnamakan Allah, aku sebagai wakil Allah Yang Mahakasih dan Maha Pengasih. Tinggal selanjutnya berpikir diri sendiri: dengan membaca bismillah, sudahkah aku layak ataukah lancang mengatasnamakan Allah?

Baca Juga :  Al-Mizan fi Tafsir Al-Qur’an: Neraca dalam Tafsir Alquran, Karya Thabathaba'i

Orang yang layak mengatasnamakan Allah dan menjadi wakil Allah itulah manusia sempurna; dia ada dan hadir sebagai representatif dari ism a’dzam (nama teragung) Allah sekaligus cermin utuh dan tanda nyata (ayat mubin) yang menampilkan rahmaniyyah (kemahakasihan) dan rahimiyyah (kemahapengasihan) Allah bagi segenap makhluk.

 

BISMILLAH DAN MANUSIA KHALIFAH 

Dalam istilah Alquran, wakil Allah itu disebut dengan nama khalifatu-Allah, khalifah dan pengganti Allah. Ayat-ayat seperti di surat QS. Al-Baqarah [2]: 30, Al-An’am (6): 165, QS. Shad [38]: 26 yang mengangkat status agung manusia sebagai khalifah Allah dapat melengkapi pemahaman tentang frasa bismillah dalam arti “atas nama Allah” ini.

Dalam makna khalifah dan khilafah, terdapat minimal dua pihak: Allah dan manusia. Di antara mereka terdapat aspek-aspek kesamaan dan fungsi keperantaraan. Maka, seseorang yang layak menjadi khalifah serta wakil Allah di alam semesta ini ialah manusia yang paling dekat kesamaannya dengan Allah sehingga ia menjadi tuhan (t kecil) yang mendapatkan anugerah otoritas, perwakilan dan keperantaraan dari Allah dalam mengelola umat manusia dan alam semesta.

Dengan makna “atas nama Allah” ini, maka perdebatan seputar subjek utama Alquran: apakah poros dan fokus utama Alquran? Tuhan ataukah manusia, dapat diterobos sebagai jawaban penengah, yaitu poros utama kandungan dan ajaran-ajaran Alquran adalah Tuhan juga manusia, Allah dan khalifah-Nya, Allah dan makhluk yang paling serupa dengan-Nya.

Jika alam semesta ini tanda-tanda yang mengungkapkan Allah dan manusia ini makhluk Allah yang paling mulia (QS. َAl-Tin [95]: 4), maka manusia adalah tanda Allah yang paling agung.

Dari sisi ini, ayat bismlillah dalam tafsir Sufi tidak begitu beda dengan ayat “Tidak ada yang-seperti yang-serupa dengan-N/nya sesuatu apa pun” (QS. Al-Syura: 11).

Menurut tafsir Ibnu Arabi juga sejumlah mufasir yang lain, ayat ini selain tentang Tuhan, juga mengungkapkan status manusia: tidak ada makhluk apa pun yang serupa-sama dengan manusia, sebagaimana tidak ada sesuatu apa pun yang serupa-sama dengan Allah. Manusia dan Allah sama-sama serupa dalam ketidakserupaan dengan yang lain, serupa dan sama-sama unik dari yang lain.

Baca Juga :  Tafsir Al-Tustari, Tafsir Sufi Pertama dalam Sejarah

“Hambaku! taatlah kepada-Ku, Aku jadikan engkau seperti Aku.” Kandungan semirip hadis Qudsi ini mudah dijumpai, menjelaskan derajat tinggi manusia di hadapan Allah. Kata “seperti” menegaskan adanya kesamaan dan keserupaan manusia dengan Allah, dan derajat tertinggi ini diperoleh dengan menjadi hamba sepenuhnya.

Keserupaan ini justru ditegaskan juga dengan frasa bismillah dalam arti yang umum dan ghalib itu, yaitu “dengan nama Allah”. Kata sambung “dengan” (bi) di sini bermakna “melekat” (ilshaq) dan “bersama” (mushahabah).

Maka, bismillah dalam arti umum dan galibnya yaitu “bersama nama Allah”. Tentu saja, dalam kebersamaan harus ada kesamaan dan keserupaan antara Allah dan yang-bersama Allah, yaitu manusia.

 

BISMILLAH DAN MANUSIA PEMIMPIN

Semirip dengan istilah khalifah, Alquran juga mengangkat status manusia sebagai imam dan pemimpin, seperti dalam QS. Al-Baqarah [2]: 124. Ada korelasi dan hubungan kesalingan antara status khalifah dan status imam, yaitu manusia khalifah adalah manusia pengganti Allah, penerus dan kepanjangan kehendak serta kekuasaan Allah di muka bumi, maka ia adalah imam dan tuan pemimpin yang mengemban tugas-tugas ketuhanan dan pengelolaan (rububiyyah).

Karena itu, ayat berikutnya dari bismillah, yaitu “Segala puji bagi Allah Tuhan alam-alam”, juga merupakan rasa syukur manusia yang dirinya dipercayai oleh Allah jadi khalifah-Nya untuk mengelola alam semesta.

Senapas dengan status khalifah, Allah memfasilitasi manusia dengan berbagai dan segenap potensi dan sumber daya semesta. Sekian puluhan ayat menyatakan ketetapan Allah menjadikan alam semesta sebagai alat dan fasilitas untuk manusia untuk menjadi dan aktif sebagai khalifah-Nya.

هُوَ الَّذِی خَلَقَ لَکُم مَا فِی الْأَرْضِ جَمِیعاً
“Dialah yang menciptakan untukmu segala yang ada di bumi” (QS. Al-A’raf [7]: 29; QS. Al-Baqarah [2]: 29)).

وَسَخَّرَ لَكُم مَّا فِي السَّمَاوَاتِ وَمَا فِي الْأَرْضِ جَمِيعًا مِّنْهُ ۚ إِنَّ فِي ذَٰلِكَ لَآيَاتٍ لِّقَوْمٍ يَتَفَكَّرُونَ
“Dan Dia telah menundukkan untuk kamu apa saja yang ada di langit-langit dan apa saja yang ada di bumi seluruhnya dari-Nya. Sungguh dalam hal itu terdapat tanda-tanda bagi orang-orang yang berpikir” (QS. Al-Jatsiyah [45]: 13).

Baca Juga :  Tadabur: QS. Al-Nur [24]: ayat 52

 

BISMILLAH DAN MANUSIA HAMBA

Sampai di sini, dapat disadari betapa kandungan bismillah itu berat dan serius. Meski gampang diucapkan, namun tidak setiap orang punya kelayakan menjadi representasi dan perwujudan dari kandungannya.

Meski demikian, setiap orang dianjurkan oleh Nabi SAW, Manusia Mahpurna ini, agar memulai setiap berpikir, memutuskan dan bertindak dengan kalimat bismillahirrahmanirrahim untuk menyadarkan cita-cita tertingginya dan status termulianya sebagai representatif dan khalifah Allah.

Bismillah adalah ikrar dan kemauan kuat agar manusia berusaha mengisi perannya sebagai khalifah Allah, dari urusan kecil seperti makan-minum dan tidur hingga mengatur keluarga, masyarakat dan bangsa.

Sebaliknya, kesadaran dan tindakan apa pun yang tidak diawali dan tidak dilapisi oleh bismillah sesungguhnya telah memutus hubungannya dari Tuhan Maha Penguasa alam sekaligus menurunkan status dirinya sendiri di bawah manusia yang bukan khalifah sekalipun. Makan, minum dan tidurnya tidak lebih bernilai dari makan, minum dan tidurnya binatang.

Tanpa bismillah, seseorang bukan lagi khalifah Tuhan, tetapi sudah menghilangkan otoritas dan peran Allah sekaligus merebut posisinya hingga ia tak ubahnya kesombongan Firuan dengan klaim, “Aku adalah Tuhanmu yang tertinggi.”

Bismillah adalah cara kita menjadi hamba Allah, yaitu ber-islam (pasrah total) di hadapan kehendak Allah sehingga pikiran, hati dan segenap wujudnya kosong dan terbuka untuk diisi oleh ilmu, kehendak, cinta dan kasih-sayang Allah. “Allah tidak menjadikan bagi seseorang dua hati dalam rongganya” (QS. Al-Ahzab [33]: 4).

Dengan demikian, wujud hamba ini menjadi saluran yang mengalirkan curahan rahmat Allah kepada segenap alam, dari menyantap sepotong butir nasi yang paling remeh hingga menggunakan kewenangan menentukan nasib kebanyakan orang dan masa depan bangsa.

Share Page

Close