• LAINYA

FILSAFAT AGAMA-HUMANIORA–Konflik antara agama dan sains yang berbuntut pada konflik antara dua sumber pengetahuan manusia, yakni akal manusia dan wahyu Tuhan, bukan pengalaman yang baru saja muncul. Konflik-konflik ini menggejala di kalangan internal umat Islam sendiri dalam skala internasional, setidaknya getaran dan gesekannya begitu terasa keras terutama di tahun pertama krisis Corona dan era pandemi ini.

Di dalam negeri sendiri, terjadi ketegangan verbal hingga fisik di tengah masyarakat Indonesia dalam menjalani era pandemi ini beserta konsekuensi-konsekuensi kesehatan, pendidikan, sosial, politik bahkan dalam urusan agama.  Di antaranya faktornya adalah perbedaan persepsi teologis di antaranya mereka yang sama-sama mengambil sikap radikal dan dogmatis: mengatasi krisis kesehatan akibat Covid dengan arahan wahyu Tuhan saja atau dengan penanganan medis berbasis akal manusia saja. Publik seolah dihadapkan hanya pada dua pilihan dan dua kubu: kubu sains atau kubu iman, kubu akal atau kubu agama.

Relasi antara pengetahuan yang berasal dari akal dan wahyu senantiasa jadi fokus manusia sejak dahulu sampai sekarang. Tidak berlebihan bila sejarah pemikiran manusia disebut-sebut juga sejarah gagasan seputar relasi pengetahuan aklani dan pengetahuan wahyuni.

Berbagai polemik yang muncul dari produk-produk kedua sumber pengetahuan ini terus menjadi fokus kaum agamawan dan para cendekia. Sebagian kelompok berusaha menjatuhkan martabat akal dengan maksud melindungi kehormatan wahyu. Sementara sebagian lain begitu menjunjung tinggi posisi dan superioritas akal dengan cara menjatuhkan wahyu. Ada pula sekelompok yang mengerahkan segenap upaya untuk mendamaikan kedua sumber pengetahuan itu.

Akal dan Wahyu dalam Tradisi Muslimin
Sepanjang sejarah, konflik antara akal dan wahyu memiliki dimensi dan pola yang berbeda-beda, seiring formasi wacana yang populer saat itu. Awalnya, polemik ini mengemuka dalam formasi “filsafat versus agama”. Ajaran-ajaran filosofis—dalam kapasitasnya sebagai pengetahuan rasional yang disusun sistematis—diyakini bertolak belakang dengan ajaran agama. Akibatnya, muncul sekelompok agamawan yang berusaha mati-matian menjadikan ruang lingkup agama steril dari “kuman-kuman” filsafat.

Peluru-peluru tudingan dogmatis (hitam-putih) yang mereka tembakkan tak ayal menghambur ke mana-mana, hingga menyasar disiplin Logika, Filsafat dan bahkan Teologi. Dalam rangka ini, tidak jarang dari mereka menulis buku dan risalah secara khusus; mereka menjuluki ilmu Logika sebagai “pengunyah sisa makanan orang kafir dan ateis Yunani Kuno”. Mereka juga menyerang habis-habisan kaum teolog yang bermaksud merasionalisasi agama dan keberagamaan.

Dalam buku terkenalnya, Tahāfut al-Falāsifah, Imam Ghazali terlihat jelas ingin menunjukkan betapa kasar pergesekan antara konklusi filosofis dan ajaran wahyu. Belum lagi Ibnu Taimiyah yang secara khusus menulis Nashīhat Ahl Al-Īmān fī Al-Radd ‘alā Mantiq Al-Yūnān untuk memperingatkan orang-orang beriman akan bahaya logika Yunani. Sementara muridnya, Ibnu Qayim, ikut bergabung dengan kelompok penghujat Logika (Ibnu Qayim Jauzi: Miftāh Dār Al-Sa‘ādah, hal. 189).

Baca Juga :  Masuk Islam karena Alquran (5): Wilfried Hofmann Temukan Jawaban di Surah Al-Najm

Perlu digarisbawahi, hujatan dan serangan itu, pada dasarnya, tidak diarahkan semata-mata pada akal, melainkan dapat dipandang sebagai serangan terhadap ajaran-ajaran tertentu yang, oleh pendukungnya, dianggap sebagai pengetahuan aklani. Untuk lebih jelas lagi, para kritikus itu mengatakan, “Apa yang kalian sebut ‘filsafat’ tidak lebih dari hasil spekulasi, asumsi dan pemitosan, bukan produk akal, argumentasi, dan penelitian.”

Tidak ketinggalan, kaum sufi juga menghujat akal dan argumentasi filosofis. Dalam pandangan mereka, semua itu bertentangan dengan gairah percintaan yang merupakan inti dari sensasi religius. Pada hemat mereka, argumentasi tidak ada gunanya, kalau bukan justru menghambat pengalaman tinggi menjumpai Tuhan Yang Mahanyata. Bagi sufi objektif, akal dan argumentasi ibarat tongkat di tangan tunanetra; niscaya kurang berarti kalau saja tak dibantu juru pemandu (mursyid) yang melihat dan mengenal jalan.

Sebaliknya, kalangan filosof Muslim mengerahkan segenap kekuatan untuk membuktikan relasi harmonis filsafat dengan agama. Menurut mereka, memperkarakan Yunani sebagai asal-usul filsafat guna dijadikan alasan untuk menentang filsafat merupakan bentuk dari kedangkalan dan penyesatan berpikir (falasi generik). Meski begitu, mereka juga mengakui aneka kekeliruan tak disengaja dalam pengetahuan manusia. Karena itu, mereka berupaya meminimalisasi kekeliruan para filosof terdahulu dan semaksimal mungkin mengharmonikan filsafat dengan ajaran Islam.

Dalam filsafat Kebijaksanaan Luhur (al-hikmat al-muta‘āliyah), upaya intelektual itu tampak mencapai puncak di tangan penggagasnya, Shadrul Muta’allihin. Dia membangun sistem filsafat itu sebagai perwujudan dari integralitas bayan (Alquran), irfan (penyingkapan batin), dan burhan (logika-filsafat). Filosof agung ini mengatakan, “Mustahil hukum-hukum agama ilahi yang benar dan cemerlang akan bertentangan dengan pengetahuan pasti-benar (qath’i). Celakalah filsafat yang hukum-hukumnya tidak sebangun dengan Alquran dan Sunnah!”

Akal dan Wahyu dalam Peradaban Barat
Di Barat, nasib akal dan wahyu juga nyaris tidak begitu beda dengan dinamika di dunia Islam. Bedanya, penolakan terhadap akal dan ajakan kaum agamawan kepada iman tanpa akal (reasoning) telah merepresentasi Gereja sebagai institusi keagamaan yang antiakal. Ini lantaran mata ajaran agama Kristen sudah berubah, dan ini sama sekali tidak ada sangkut-paut genealogis dengan wahyu suci Alquran.

Baca Juga :  Filsafat Manusia dalam Alquran (1): Esensi Manusia

Karenanya, dapat dibedakan: mana ajaran-ajaran suci samawi dan mana ajaran-ajaran manusiawi yang bersifat profan; juga mana yang berbasis asas Tauhid dan mana yang berdasar doktrin Trinitas. Atau, mana agama yang mengajarkan, “Siapa yang lebih giat menggunakan akalnya, tentu lebih banyak ibadahnya,” (Hadis Nabi Saw, “Siapa saja dari kalian yang lebih kuat akalnya, niscaya takutnya kepada Allah lebih dahsyat.” (M. Faidh Kasyani: al-Mahajjah al-Baydhā’ fī Tahdzīb al-Ihyā’, jil. 1, hal. 172) dan mana agama yang menyakinkan, “Iman yakni tersalibnya akal.” (R. Reneau & J. Wahl: Phenomenology and Philosophy of Being Existent, hal. 129). Secara prinsipal, Islam adalah agama berpikir.

Polemik akal dan wahyu ini terus berlanjut di dunia kontemporer, dan kali ini berlangsung antara sains versus agama. Sebagian data yang diajukan sains dan ilmu-ilmu empiris dianggap melawan pengetahuan wahyuni. Akibatnya, muncul perdebatan sengit di kalangan agamawan, baik di Timur maupun di Barat.

Namun, yang paling bermasalah dengan oposisi biner sains-agama ini justru kalangan agamawan di Barat. Sepanjang Abad Pertengahan, pengetahuan nonwahyu sudah banyak dihasilkan. Namun, menjamurnya pengetahuan nonwahyu ini dinilai mengganggu lingkungan Gereja, karena apa yang selama ini mereka anggap sebagai bagian dari agama ternyata tidak relevan dengan temuan sains modern.

Pada masa berikutnya, yakni abad pasca-Renaisans, Rasionalisme menggejala dan melawan Gereja yang anti-akal. Puncak kebangkitan itu ditandai dengan kelahiran sejumlah isme seperti: Evidensialisme. Mereka begitu jauh memuja akal, sampai-sampai memosisikannya di arasy ketuhanan, “Wahai alam! Wahai raja alam semesta! Dan engkau, wahai Keutamaan dan Akal serta Hakikat sebagai tuhan termulia … jadilah tuhan kami selama-lamanya” (Ian Barbour: Religion and Science, hal. 77).

Keberpihakan pada akal yang begitu kaku dan berlebihan ini bukan hanya mengusik tokoh-tokoh Gereja, tetapi juga para pujangga dan seniman Barat. Mereka menuntut jatah ruang untuk hati yang diabaikan dan memandang akal sebagai tamu tak diundang. Mereka bahkan mengecam akal yang disebut-sebut hanya punya keterampilan satu-satunya, yakni mencoreng keindahan dan kebaikan.

Sekarang ini, kita dipusakai sejarah agung pemikiran dan peradaban manusia. Dan tak ada yang lebih mendesak kita selain berusaha sekuat tenaga terjun dan berjuang di medan ini seraya mencari terang kebenaran akal, sains dan wahyu di sudut-sudut remang berbagai isu dan polemik.

Akal dan Wahyu dalam Islam
Disadari sepenuhnya atau tidak, setiap orang merasa unggul di atas makhluk lain. Yakni, dan memang demikian, manusia diciptakan Tuhan secara istimewa di atas semua makhluk lain. Dia diciptakan sebagai ahsan al-taqwīm, sebaik-baiknya penciptaan dan penciptaan sempurna.

Baca Juga :  Mengenal Tafsir Sufistik-Filosofis Surat Al-Fatihah, Karya Mulla Sadra (2): Isti’adzah (2): ilmu, Keadaan dan Amal

Nilai wujud manusia terletak bukan dari sisi kodrat penciptaan semata, tetapi pada tujuan penciptaannya, yaitu mengenal Pencipta, mengabdi pada-nya hingga menyatu bersama-Nya. Untuk mencapai tujuan ini, Tuhan membekali manusia sarana sejenis rasul “utusan” dalam dirinya yang disebut dengan “akal”, sekaligus melengkapinya dengan indra lahiriah dan indra batiniah yang berfungsi sebagai juru bantu.

Keistimewaan yang melampaui semua makhluk lain ini tertanam dalam kemampuan manusia meraih suatu pengetahuan yang tidak diperoleh makhluk lain. Itulah sebabnya, bila manusia tidak menggunakan sarana ilahi ini secara maksimal, dirinya akan sederajat dengan—bahkan jauh lebih rendah lagi dari—binatang ternak sekalipun:

“Dan sesungguhnya Kami jadikan untuk (isi) neraka Jahanam banyak dari jin dan manusia; mereka mempunyai hati tetapi tidak menggunakannya untuk memahami; mereka mempunyai mata (tetapi) tidak menggunakannya untuk melihat; dan mereka mempunyai telinga (tetapi) tidak menggunakannya untuk mendengar. Mereka itu seperti binatang ternak, bahkan mereka lebih sesat lagi. Mereka itulah orang-orang yang lalai” (QS. Al-A‛raf [7]: 179).

Jelas, indra dan akal juga kerap menemui jalan buntu sehingga diakui memiliki kelemahan dan ketakmampuan mengenali seluruh detail jalan dan cara meraih kebahagiaan (tujuan). Karena itu, mereka juga menaruh harapan pada sarana lain yang terpercaya, saran yang mampu memetakan hubungan kehidupan alam ini dengan alam lain, juga menunjukkan manusia jalan ke titik kesempurnaannya.

Untuk itu, Tuhan menutupi semua kekurangan ini dengan sarana lain, yakni wahyu. Para utusan Tuhan, dengan bukti-bukti kuat yang meyakinkan, menyatakan diri sebagai penerima pengetahuan wahyuni, untuk kemudian mengajak umat manusia memosisikan wahyu bersanding padu dengan akal.
Dengan demikian, rasul-rasul internal dan eksternal manusia, pada dasarnya, saling menguatkan satu sama lain dengan catatan: pesan dan tuntunan mereka ini dicerna dengan benar (logis) dan baik (metodologis). Akal tidak akan enggan menerima pengetahuan wahyuni. Sebaliknya, wahyu pun tidak mungkin membuka diri bilamana akal ditanggalkan, sebab keduanya merupakan bukti Tuhan.

“Allah memiliki dua bukti atas manusia: bukti yang tampak dan bukti yang batin. Bukti yang tampak adalah para rasul dan para nabi, se-dangkan bukti yang batin adalah akal.” (Kitāb al-‛Aql wa al-Jahl, hadis no. 12, hal. 60).

Share Page

Close