• LAINYA

[arabic-font]إِنَّا أَرْسَلْنَا إِلَيْكُمْ رَسُولًا شَاهِدًا عَلَيْكُمْ
كَمَا أَرْسَلْنَا إِلَىٰ فِرْعَوْنَ رَسُولًا[/arabic-font]

“Sesungguhnya Kami telah mengutus kepada kamu seorang rasul yang merupakan saksi atas kamu, sebagaimana Kami telah mengutus seorang rasul kepada Fir’aun”

(QS. Al-Muzammil [73]: 15)

Ayat ini, sebagaimana banyak ayat yang lain, pada awal kali diturunkan tertuju pada orang-orang kafir Quraisy. Namun, ayat ini tidak terbatas hanya berlaku pada mereka di masa itu saja, tetapi juga masih dan tetap berlaku pada semua orang hingga hari ini. Maka, kata ganti ‘kamu’ dalam dalam “kepada kamu” di awal ayat di atas juga tertuju kita dan orang-orang yang sudah beriman.

Atas dasar ini, coba kita baca kembali dengan kesadaran kita sedang diajak bicara oleh Allah SWT melalui ayat ini, maka akan tampak jelas bahwa “sebagaimana Kami telah mengutus kepada Fir’aun seorang rasul, Kami juga telah mengutus kepada kamu seorang rasul yang merupakan saksi atas kamu.”

Bukankah ini mengungkapkan bahwa fir’aun juga ada dalam diri kita?! Jika benar ada, dan memang ada, segera ambil langkah bagaimana membunuhnya sebelum dia bangkit menguasai diri kita. Ya, bunuh fir’aun dulu, baru mengaku jadi pemimpn dan diakui jadi figur publik. Selama gagal membunuhnya, kita hanya menjadi fir’aun-fir’aun yang setiap harinya berpikir bagaimana mengadaptasikan nilai-nilai dan cita-cita jahatnya sesegera mungkin diterima oleh publik dan bangsa.

Maka, ada dua fir’aun: (a) Fir’aun sebagai raja sombong di Mesir kuno yang ditaklukkan Nabi Musa a.s.; (b) fir’aun sebagai watak buruk dan sifat sombong dalam diri setiap orang. Karena itu pula, ada dua Musa: (a) Musa sebagai nabi yang diutus Allah SWT dan menaklukkan Fir’aun; (b) musa yang merupakan watak mulia dan sifat menghamba pada Allah SWT dalam diri setiap orang.

Untuk benar-benar menjadi sebagaimana Musa memimpin dan menyelematkan Bani Israil, seorang Muslim harus berhasil menaklukkan ruh firaun dan balatentara kebodohan dalam dirinya sekaligus menjaga cahaya akal, fitrah dan wahyu kenabian tetap menyala dalam jiwanya.

Saat ini, Fir’aun itu tidak ada. Tetapi fir’aun sebagai watak dan sifat jahat tetap ada dalam diri kita. Maka, kisah Fir’aun dengan Musa a.s. juga berlaku pada diri kita sendiri; nasib akhir Fir’aun juga bisa dialami oleh diri kita.

Baca Juga :  QS. Al-Syu’ara’ [26]: Ayat 192; Bisakah Allah Diturunkan?

Dalam hadis disebutkan bahwa ada dua rasul: rasul lahiriah dan rasul batiniah. Allah mengutus rasul, yakni para nabi a.s., untuk menguatkan dan menyempurnakan peran rasul-rasul batin kita, yakni akal dan fitrah, dalam menyadari diri kita berada dan pada posisi dan berperan sebagai siapa: Fir’aun ataukah Musa. Tidak ada yang bisa mengetahui dan melakukan kesadaran kita ini kecuali diri kita sendiri.

Dalam QS. Al-Syams [91]: 8, disebutkan, “Maka Dia (Allah) telah mengilhamkan kepada jiwa itu kefasikan dan ketakwaannya.

Dalam hadis diriwayatkan panjang oleh guru para imam, yakni Imam Ja’far bin Muhammad al-Shadiq ra., disebutkan bahwa Allah SWT telah menciptakan akal (al-‘aql) dan kebodohan (al-jahl) dalam diri manusia. Masing-masing memiliki panglima dan barisan balatentara.

Setiap saat kita berniat, berhekendak, memutuskan dan bertindak, terjadi peperangan dalam batin kita antara akal kita beserta angkatan (balatentara) ketakwaannya dan kebodohan kita beserta angkatan kejahatannya. Mana yang kuat dan menang itulah yang tampak dalam niat, kehendak, keputusan dan tindakan kita.

Diri yang berwatak fir’aun tidak akan melahirkan dan membentuk kepribadian musa. Begitu pula sebaliknya, jiwa yang terdidik dengan kekuatan akal dan wahyu kenabian tidak akan menjadi pribadi fir’aun. Seperti dalam hadis disebutkan, taklukkan diri sendiri, pimpinlah diri sendiri sebelum meyakinkan dan memimpin bangsa. Tanpa membersihkan sifat-sifat korup fir’aun dari jiwa elit-elit bangsa, mereka sesungguhnya hanya memimpin dengan nafsu fir’aun dan menularkan sifat-sifat korup itu kepada jiwa-jiwa rakyat.

Ayat ini mengingatkan kita agar dapat menaklukkan fir’aun diri kita di hadapan Allah SWT. Jika fir’aun diri kita itu gagal ditundukkan dan dihancurkan, diri kita sendiri akan menjelma sebagaimana Fir’aun muncul kembali dan, dengan kegagalan kita itu, kita sendiri sesungguhnya sedang membangkitkan ruh jahat Fir’aun dalam diri kita sehingga kita sendiri hidup dan memperagakan watak dan sifat-sifat Fir’aun di tengah masyarakat.[ph]

Share Page

Close