• LAINYA

HADIS-SOSIAL–Dalam hadis masyhur, setiap muslim dan umat Islam wajib belajar. Berada dalam keadaan tidak belajar adalah dosa dan penanggaran. Hidup orang muslim, karena itu, adalah belajar dan mengajarkan ilmu. Nabi SAW bersabda, “Jadilah orng berilmu atau pencari ilmu, dan jangan jadi orang ketiga karena kamu pasti binasa.” (Al-‘Aqd Al-Farid, jld. 2, hlm. 152).

Siapa orang ketiga itu? Apa ciri-cirinya? Sayidina Ali bin Abi Thalib ra. menjelaskan. Penjelasannya kelak dicatat sebagai wasiat oleh kalangan imam hadis, tafsir dan para sejarawan besar seperti: Ibnu Taimiyah, Ibnu Abd Al-Barr, Ibnu Asakir, Ibnu Hajar, Khatib Baghdadi, Al-Dzahabi, Imam Suyuthi, Ibnu Al-Jauzi, Muttaqi Hindi, hingga Syaikh Syanqithi. Dalam Nahj Al-Balaghah, wasiat ini dicatatkan Syarif Radhi sebagai hikmah ke-139.

Di bagian pertama wasiat disebutkan, suatu hari, Sayidina Ali ra. mengajak sahabat sekaligus gubernurnya, Kumail bin Ziyad Al-Nakha’ie, keluar kota Kufah, Iraq, ke arah Jabbana. Ketika kami tiba di padang sahara, ia duduk lalu menghela napas panjang. Ia berkata, “Hai Kumai bin Ziyad! Sesungguhnya hati-hati ini adalah wadah. Maka hati terbaik adalah hati yang paling besar tampungannya.”

Orang-orang berbeda dalam memanfaatkan air hujan. Ada yang mengambilnya seukuran danau karena ia memiliki tempat penampungan luas, ada yang hanya dapat mengambil satu gelas kecil saja karena memang tidak bisa lagi mendapatkan lebih banyak dari itu. Ada juga sekelompok orang yang sama sekali tidak dapat mengambilnya, karena ia telah menutup dan membalikkan bejana hatinya. Perumpamaan ini menjelaskan bahwa kesalahan bukanlah pada Allah, melainkan pada wadah bagaimana disiapkan untuk menerima dan menampung air hujan.

Sayidina Ali ra. melanjutkan wasiatnya kepada Kumail, “Jagalah apa yang akan aku katakan kepadamu! Orang itu ada tiga: guru rabbani, pelajar dalam rangka mencapai kesuksesan, dan dugu remeh pengikut setiap teriakan, bergerak ke mana angin berhembus, tidak bernaung di bawah cahaya ilmu, tidak berpijak di atas pilar yang kokoh.”

HATI INI ADALAH WADAH. MAKA, HATI TERBAIK ADALAH YANG PALING BESAR TAMPUNGANNYA–Ali bin Abi Thalib ra.

Seperti Nabi SAW, Sayidina Ali ra. membagi manusia kepada tiga kelompok:

  • Manusia berilmu suci, berhati ilahi, aktif mengajar dan membina kesucian masyakarat.
  • Manusia yang tidak berilmu, tetapi cinta ilmu hingga belajar dan terbina dan terbimbing oleh ilmu suci orang berilmu ilahi.
  • Manusia dungu dan remeh, yakni sisa makanan yang terbuang, ampas dan sampah yang tak lagi berarti apa-apa. Dia tidak mau belajar maka tidak mengerti, tidak terbimbing. Ciri-ciri orang ini ada empat:
  1. Mengikuti setiap teriakan, yakni mengikuti suara, berita atau opini apa saja dari orang dan media tanpa memeriksa, membaca lengkap dan menyaring.
  2. Mengikuti setiap arah angin bertiup kemanapun. Dia seperti kapas di tengah hempasan angin, jadi objek dan korban kepentingan orang lain.
  3. Tidak bernaung di bawah cahaya ilmu. Dia tidak mau bertanya dan mencari tahu, masabodoh atau tergesa-gesa atau fanatik buta.
  4. Mereka tidak berpijak di atas pilar yang kokoh. Tidak hanya kehilangan ilmu, dia tidak punya landasan keyakinan dan pendirian yang kuat. Karena itu, dia cenderung lari dari tanggung jawab dan, di saat salah, menyalahkan orang lain.
Baca Juga :  Tafsir Psikologis Pembangunan dan Perjuangan Umat

Orang yang tekun ibadah tidak disinggung di sini, karena boleh jadi dia dungu; ketekunan ibadahnya hanya untuk dirinya, tidak peduli pada masyarakat sehingga dia juga tidak mengerti apa yang sedang berlaku pada dirinya.

Disebutkan oleh Al-Sya’bi, orang melintas di hadapan Ibnu Mas’ud. Kepada kawan-kawannya ia mengatakan, “Ini orang bodoh, dan dia tidak tahu kalau dirinya bodoh, bahkan tidak belajar pada orang yang tahu.” (Al-‘Aqd Al-Farid, jld. 2, hlm. 152).

قُلْ هَلْ نُنَبِّئُكُم بِالْأَخْسَرِينَ أَعْمَالًا الَّذِينَ ضَلَّ سَعْيُهُمْ فِي الْحَيَاةِ الدُّنْيَا وَهُمْ يَحْسَبُونَ أَنَّهُمْ يُحْسِنُونَ صُنْعًا

“Katakanlah, apakah kalian ingin kami beritahu orang yang paling merugi perbuatannya? Mereka itulah orang-orang yang usahanya sia-sia dalam kehidupan dunia, sementara mereka mengira sedang melakukan perbuatan baik” (QS. Al-Kahfi [18]: 103-104).

Sangat rugi bila orang itu tidak mengerti dirinya bodoh. Sebaliknya, awal keberuntungan ialah kesadaran akan kebodohannya sendiri. Kesadaran ini berharga sebagai sarana untuk mengeluarkan dirinya dari kekosongan pengetahuan lalu mengisinya dengan pengetahuan dan kepribadian positif.–[HCF]

Share Page

Close