• LAINYA

TAFSIR-FILSAFAT–“Barangsiapa mengenal diri sendiri pasti mengenal Tuhannya.” Hadis masyhur ini menempatkan diri kita sebagai jalan mengenal Tuhan, jalan yang paling dekat, paling terang sekaligus paling terbuka dan tak pernah tertutup untuk ditempuh. Tidak ada perantara apalagi penghambat antara diri dan Tuhan asal kita mau tahu diri.

Bagaimana lantas mengenal diri? Sebelum kita mencari-cari jawaban atas pertanyaan: bagaimana Aku, kenapa Aku, dan untuk apa Aku, sudahkah kita berpikir tentang “Apakah Aku?”

Dalam hadis di atas, jawabannya sudah tersedia. Aku adalah jalan langsung menuju Allah. Seperti halnya jalan, diri ini ada awalnya. Titik awal diri dan jalan adalah sama-sama nol. Di ayat pertama dari surah yang namanya Manusia, nilai nol di titik awal keberadaan kita diungkapkan, lam yakun say’an madzkura”: bukan sesuatu yang bisa disebut (QS. Al-Insan [76]: 1). Manusia itu bukan apa-apa, tidak ada apa-apanya, maka tidak pantas mengaku-ngaku punya. Itulah ubudiyyah, derajat budak.

Tidak ada hakikat dan status bagi manusia di hadapan Allah selain sebagai budak yang miskin (faqir). Di ayat pertama dari surah Al-Isra’, Allah memanggil dan memperkenalkan manusia maha sempurna, Muhammad SAW, dengan sebutan ‘abd, yakni hamba, sahaya, budak, Mahasuci Yang telah memperjalankan [pada waktu malam] hamba-Nya pada waktu malam (QS. Al-Isra’ [17]: 1).

Kata ‘abd berasal dari ‘abada ya‘budu yang berarti menyembah, mengabdi, dan merendah-ratakan diri di hadapan Allah. Dalam Bahasa Indonesia, kata hamba sendiri diartikan sebagai budak dan biasanya dilawankan dengan tuan.

Seseorang hanya akan disebut tuan jika dan hanya jika dia memiliki otoritas yang menentukan nasib orang lain. Ketika kita menyerahkan hidup ini sepenuhnya kepada seseorang untuk menentukan kehendak dan masa depan kita, maka orang itu sudah jadi tuan bagi kita, sebaliknya kita sudah jadi budak di tangannya. Atas dasar itu, perbedaan antara tuan dan budak itu terletak pada kehendak.

Baca Juga :  Mengagungkan Nabi sambil Puas Mempermalukan Umatnya

Seakar kata dengan abd adalah mu’abbad, yakni rata. Orang Arab mengatakan, thariq mu’abbadah, yakni jalan yang lembut-halus (mudzallalah), rata dan datar (mumahhadah). Sedemikian rata dan lembut jalan itu hingga mulus, lancar dilalui dan bebas hambatan.

JANGAN PERNAH DIPERBUDAK OLEH JIWA RAKUS, KARENA ENGKAU DICIPTAKAN MERDEKA–Sayyidina Ali bin Abi Thalib ra.

Seorang hamba yang sempurna di hadapan Tuhan tak ubahnya dengan jalan yang rata, satu ukuran, satu permukaan dari awal sampai akhir. Dia tidak berbeda, tidak berubah, keadaan dirinya sekarang sama dengan keadaannya semula di titik awal. Dia hidup seperti awal kali diciptakan dengan kebeningan, kesucian dan kemurnian fitrah cinta Tuhan (Tauhid).

Hamba ini tetap berada di sepanjang garis nol; tidak ada gejala sedikitpun sepanjang keberadaan dirinya untuk cenderung keluar dan meninggi (takabbur) dari batas statusnya sebagai budak yang tidak ada apa-apanya. Dengan tetap berada di titik nol, dirinya adalah tempat mengalir sepenuhnya kehadiran, kehendak dan kekuatan Allah. Dalam hadis qudsi, “…maka Aku penglihatannya yang dengannya ia melihat, Aku pendengarannya yang dengannya ia mendengar, Aku tangannya yang dengannya ia memukul, Aku kakinya yang dengannya ia berjalan.”

Begitu lancar penglihatan dan pendengaran Allah mengalir di mata dan telinga hamba saking tidak ada ganjalan, sandungan dan hambatan dalam dirinya; tidak ada kehendak dalam hatinya yang menghambat aliran kehendak Allah, tidak ada keinginan dalam dirinya yang berbeda atau berbelok dari jalan kehambaan dirinya, yaitu ketiadaan di hadapan wujud dan kehendak Allah. Ketiadaan kehendak memastikan diri sejalan dengan kehendak Allah sehingga, dalam hadis qudsi, Allah berfirman, “Hambaku! taatlah kepada-Ku, Aku jadikan engkau seperti Aku.”

Ketaatan mutlak yaitu kepasrahan tanpa syarat, tanpa kehendak diri sendiri. Ibnu Arabi berkali-kali mencatat kata-kata Abu Yazid Bustami, “Aku hanya ingin tidak menginginkan.” Kehendak Allah menjadi terganjal dan tersumbat oleh munculnya kehendak diri sendiri. Besar-kecilnya cinta dan keinginan kita pada diri sendiri akan menentukan besar-kecilnya hambatan yang menghadang kehendak Allah hadir pada diri kita.

Baca Juga :  Alquran di Balik Keunikan Sikap Ghazali: Logika Wajib, Filosof Kafir

MUSUHMU YANG PALING BERBAHAYA ADALAH JIWAMU DALAM DIRIMUBaginda Nabi SAW

Begitulah hamba sempurna menjadi representasi jalan yang lurus, jalan yang rata, halus, bersih dan lancar. Dalam surah teragung Al-Fatihah, setelah kita menyatakan sumpah pertama kita: “Hanya kepada Engkaulah aku menyembah, dan hanya kepada Engkau pula kami memohon pertolongan”, kita segera menegaskan status kebukan-apa-apaan dan ketidak-punyaan kita dengan menyempurnakan sumpah kita tadi dengan doa pertama kita, “Tunjukkanlah kami jalan yang lurus!” Yakni, tunjukkan kami jalan yang konsisten agar kami tetap teguh sejalan dengan kerataan, kelurusan dan ketulusan sumpah kami hingga menjumpai-Mu.

Jalan yang lurus bukan hanya Alquran, tetapi juga wujud Baginda Muhammad SAW. Jalan yang lurus itulah manusia sempurna. Alquran merupakan keterangan yang menunjukkan jalan konsistensi kebenaran yang harus ditempuh, sementara Nabi SAW adalah hakikat hidup yang membimbing kita menempuh jalan kehambaan kita dan menghantarkan tujuan kita berjumpa Allah. “Itulah jalan orang-orang yang Engkau beri nikmat kepada mereka”.

Nabi SAW adalah perwujudan sempurna dari nikmat dan rahmat Allah untuk manusia dan alam semesta. Maulid Nabi hanyalah salah satu momentum kita mengenal diri agar dapat menunaikan syukur kita menjalani kehambaan diri sendiri menuju Allah bersama Nabi.

قُلْ إِن كُنتُمْ تُحِبُّونَ الله فَاتَّبِعُونِي يُحْبِبْكُمُ الله وَيَغْفِرْ لَكُمْ ذُنُوبَكُمْ

“Katakanlah! Jika kalian mencintai Allah, maka ikutilah aku, pasti Allah mencintai kalian dan mengampuni dosa-dosa kalian bagi [kebahagiaan] kalian” (QS. Al Imran [3]: 31).

Maka, mengenal diri bukan hanya akan mengenalkan diri pada Allah, tetapi juga cara diri kita mengenal manusia sempurna dan tercinta-Nya yang paling tercinta: Sang Hamba Muhammad. Karena itu pula, merayakan maulid Nabi adalah memperingati dan mengenali nilai maulid diri sendiri.

Baca Juga :  Tadabur: QS. Al-Fatihah [1]: ayat 5 (Bagian Pertama)

Merayakan Nabi yaitu upaya lahir kembali suci dengan taubat dan tahu diri (yaqdzah). Sebaliknya, perayaan meriah dan suka cita semewah apa pun untuk Nabi menjadi sia-sia bila kita sendiri gagal membidani diri ini lahir untuk kedua kalinya (wiladah tsaniyah); kita hanya manusia yang hidup layaknya binatang, “bentuknya manusia, tetapi hatinya binatang.”

Perayaan Maulid yang tak berdampak perubahan positif pada kemanusiaan kita hanyalah perayaan atas kebinatangan diri sendiri. Ini tidak begitu berbeda dengan hadis Nabi: begitu banyaknya pembaca Alquran, justru Alquran membalas bacaan mereka dengan kutukan dan laknat.

Di sini salawat tampak nilainya sebagai kesadaran dan kemauan kuat kita untuk memanusiakan diri sendiri. Siapapun dengan kemegahan nama program dan sistem pendidikan apapun tidak akan mampu memanusiakan seseorang kecuali diri sendiri bersama Nabi. Memanusiakan manusia sepenuhnya berada di tangan dirinya bersama manusia yang sudah memanusia dan menuhan dengan sifat-sifat agung-Nya.

Maka, tidak juga keliru bila salawat kita kepada Nabi hanya akan mengalir kembali kepada kita. Salawat adalah upaya kita menghilangkan duri tumbuhan, batu ganjalan dan meredam gelombang nafsu serta amarah dari jalan diri menjadi jiwa yang tenteram (nafs muthma’innah). Dengan memurnikan status hamba dan merata-haluskan jalan diri sendiri, salawat akan mengalir deras dan lancar kembali kepada diri tanpa hambatan dan sumbatan.

يَا أَيُّهَا الَّذِينَ آمَنُوا ادْخُلُوا فِي السِّلْمِ كَافَّةً

“Hai orang-orang yang beriman! Masuklah kamu ke dalam silm (kepasrahan) secara menyeluruh” (QS. Al-Baqarah [2]: 208).

Share Page

Close