• LAINYA

TAFSIR-FILSAFAT–Benarkah setiap pemahaman itu relatif? Benarkah agama itu, tidak lain, hanyalah hasil penafsiran dan pemahaman orang yang bisa benar dan bisa salah? Apakah tidak ada peluang sekecil apa pun manusia mencapai pemahaman yang sesuai dengan maksud Tuhan? Apakah rasional membiarkan diri kita merasa benar dan menilai orang lain salah dalam memahami Alquran?

Isu agama, terutama Islam, selalu saja provokatif, menyulut naluri penasaran sekaligus emosi, bahkan bagi orang ragu atau ingkar agama. Agama Islam kerap menjadi ruang nyaman menyatakan gairah pikiran dan emosi itu dalam berbagai cara memahami dan mengamalkan kebenarannya. Cara-cara ini tampak krusial, sebanding dengan pentingnya objek pemahaman dan pengamalan mereka, yaitu Alquran sebagai sumber utama dan referensi primer Islam. Sulit dirahasiakan adanya lebih dari sekedar gejala radikalisme dalam memahami maksud Tuhan di balik teks ayat Allah dan hadis Nabi.

 

DUA POLA RADIKAL DALAM MEMAHAMI AGAMA

Kini cara radikalis dalam memahami Alquran sudah menjadi pola pikir dan pola sikap hingga seorang muslim radikal tidak merasa puas dengan kebenaran pemahamannya kecuali setelah dia menghukum pemahaman muslim lain yang beda itu dengan predikat-predikat salah, bid’ah, sesat dan kafir. Pola pikir radikal akan memastikan pemahamannya hanyalah satu-satunya kebenaran yang sesuai dengan maksud Tuhan sekaligus menilai pemahaman yang berbeda dengannya pasti salah, sesat dan kafir.

Cara radikal ini juga kerap ditanggapi oleh ketersinggungan pihak-pihak yang menjadi sasaran penyalahan, penyesatan dan pengkafiran. Sebagai respon yang juga radikal dari pihak sebaliknya, mereka mengatakan bahwa agama dan Alquran tidak sampai kepada manusia kecuali melalui penafsiran dan pemahaman, dan pemahaman itu bukan maksud Tuhan yang kebenarannya absolut.

Jadi, pemahaman manusia itu bisa benar juga bisa salah. Maka, pemahaman dan penafsiran setiap orang itu relatif. Pada akhirnya, sebagian orang lantas membuat kesimpulan: Islam itu agama manusia, bukan agama Tuhan, “Semua Islam yang dianut oleh setiap muslim adalah Islam manusia.”

Dalam banyak kasus dan isu, kerap berdiri dua sikap: ifrath (eksesif) dan tafrith (defisit), terlalu ketat dan terlalu longgar. Tampaknya beda tajam, namun kedua-duanya radikal dan ekstrem: sama-sama keterlaluan. Dan kita seolah-olah tidak punya kebebasan selain berada di satu dari dua sikap radikal ini.

Mengacu pertanyaan-pertanyaan di atas, tulisan ini berusaha menerobos dua arus radikalisme dalam memahami agama dan, utamanya, Alquran dengan berbasis pada Alquran itu sendiri, yaitu melalui ayat berikut ini:

كِتَابٌ أَنْزَلْنَاهُ إِلَيْكَ مُبَارَكٌ لِيَدَّبَّرُوا آيَاتِهِ وَلِيَتَذَكَّرَ أُولُو الْأَلْبَابِ
“Sebuah kitab yang Kami turunkan kepadamu sebagai sumber-kebaikan agar mereka merenungkan tanda-tanda [nyata]-Nya dan agar orang-orang berakal menjadi sadar.” (QS. Shad [38]: 29).

Baca Juga :  QS. Al Imran [3]: Ayat 135-136; Pemuda Tampan Tapi Keji (1)

“Sebuah kitab” di awal ayat ini, tak lain, adalah Alquran yang ada di tangan generasi awal Islam diterima langsung dari penerima suci wahyu, Nabi Muhammad SAW, hingga sampai di tangan kita sekarang ini. Sementara frasa “yang Kami turunkan kepadamu” merupakan sifat dan deskripsi untuk kitab itu.

Dalam terjemahan ayat di atas, sebagaimana umumnya terjemahan yang lain, kitab sendiri berposisi sebagai predikat untuk subjek yang tidak dinyatakan eksplisit, seolah-olah bentuk sempurna dari ayat ini berbunyi, “Inilah sebuah buku yang Kami turunkan kepadamu ….”

Ayat-ayat senada ini sesungguhnya banyak terulang di sepanjang Alquran. Allah SWT sebagai subjek penurun kitab dinyatakan dengan ‘Kami’, kata ganti yang mengungkapkan keagungan dan ketinggian posisi-Nya dalam konteks penurunan Alquran.

Ayat ini, sejak awal, sudah menegaskan bahwa Alquran yang ada di tengah umat Islam ini berasal sepenuhnya dan selengkapnya dari Allah SWT; Nabi SAW menerima kitab suci terakhir ini sepenuhnya dari Allah SWT, tanpa kurang dan tanpa lebih. Karena itu, Nabi yang dikenal sebagai al-amin ‘terpercaya’ adalah manusia sempurna yang layak menerima wahyu seutuhnya dan menyampaikannya juga secara seutuhnya.

Perintah dan pengawasan Nabi sepanjang penulisan setiap ayat dan surat yang dilakukan oleh para sahabatnya adalah dalam rangka memastikan bahwa setiap wahyu yang diterimanya sebagai amanat suci Allah telah tersampaikan dan diterima umat manusia secara sepenuhnya dan seutuh-utuhnya.

Nabi menerima sepenuhnya dan seutuhnya Alquran dari Allah itu baik kandungan setiap ayat yang dimaksudkan Allah juga redaksi teks yang Dia pilih. Dalam banyak ayat, Allah juga mendefinisikan Alquran sebagai bacaan bahasa Arab yang jelas dan lisan bahasa Arab. Ada penekanan nyata pada Arab sebagai bahasa kitab suci akhir zaman ini.

Penekanan ini juga ditegaskan melalui sejumlah hukum pengamalan agama. Hukum-hukum fiqih terkait sisi lahiriah teks Alquran seperti: kewajiban membaca Alquran dengan tartil dan tajwid, sunnah membacanya dengan suara, nada dan langgam yang indah, sunnah menghafal Alquran, kewajiban menyentuh naskah Alquran dan aksara ayat-ayatnya dalam keadaan suci (dengan mandi besar atau dengan wudhu). Semua hukum lahiriah ini adalah untuk melindungi kesucian, keutuhan dan keterjagaan redaksi teks (kata-kata dan kalimat) Alquran.

Boleh jadi, ada bahasa selain Arab yang digunakan sebagai terjemahan Alquran bagi bangsa dan etnis non-Arab dalam memahami kandungan Alquran. Namun, apa pun terjemahan itu tidak memiliki kesucian dan keutuhan teks bahasa asli (bahasa Arab) Alquran. Hukum-hukum fiqih tadi juga tidak seluruhnya berlaku pada teks terjemahan Alquran.

Baca Juga :  Realitas Manusia dalam Kebijaksanaan Luhur (1): Ruh dan Badan

Aspek kesucian dan keutuhan Alquran juga memastikan keterjagaannya, bukan hanya dari pengurangan dan penambahan, tetapi juga dari intervensi dan campurtangan siapa pun, termasuk intervensi dari diri Nabi sendiri, entah dari pikiran, perasaan, budaya dan tradisi beliau.

Oleh karena itu, ayat ini merupakan pandangan Alquran yang, jauh sebelumnya, sejak awal kali diturunkan, telah mengantisipasi akan munculnya pemikiran dari sejumlah pemikir Muslim belakangan ini, dimana mereka menganggap redaksi dan bahasa Arab yang digunakan Alquran adalah hasil dari pengalaman hidup subjektif Nabi seperti pengalaman hidupnya dalam tradisi, budaya, dan sejarah yang melingkupi dirinya sepanjang era Jahiliyah dan interaksinya dengan realitas dunia masa itu.

Ayat ini menyatakan dengan tegas bahwa Allah adalah subjek aktif penurun kandungan sekaligus teks Alquran, maka Nabi berperan sebagai penerima pasif Alquran. Objek yang diturunkan Allah dan objek yang diterima Nabi, tidak lebih dan tidak kurang, hanyalah satu, yaitu Alquran. Hati Nabi sedemikian suci laksana kaca bening yang pasif sepenuhnya menerima warna-warni (kandungan dan teks bahasa) wahyu yang diturunkan Allah SWT melalui Jibril sebagai Ruh Terpercaya (al-ruh al-amin).

Tidak ada intervensi dari aspek apa pun dari diri Nabi, karena hati suci dan bening akan menerima secara objektif sepenuhnya kebenaran lahiriah (teks bahasa) dan batiniah (kandungan) wahyu Ilahi. Alquran adalah kalam Allah (kata-kata Allah) yang suci lahir dan batin, diterima oleh diri Nabi yang suci lahir dan batin, melalui Ruh Terpercaya Jibril, dari dari Allah Yang Mahasuci.

Kemurnian Alquran dari intervensi subjektif Nabi SAW ini ditegaskan dalam beberapa ayat di surat Al-Haqqah berikut ini:

إِنَّهُ لَقَوْلُ رَسُولٍ كَرِيمٍ وَمَا هُوَ بِقَوْلِ شَاعِرٍ ۚ قَلِيلًا مَّا تُؤْمِنُونَ. وَلَا بِقَوْلِ كَاهِنٍ ۚ قَلِيلًا مَّا تَذَكَّرُونَ. تَنزِيلٌ مِّن رَّبِّ الْعَالَمِينَ . وَلَوْ تَقَوَّلَ عَلَيْنَا بَعْضَ الْأَقَاوِيلِ . لَأَخَذْنَا مِنْهُ بِالْيَمِينِ . ثُمَّ لَقَطَعْنَا مِنْهُ الْوَتِينَ . فَمَا مِنكُم مِّنْ أَحَدٍ عَنْهُ حَاجِزِينَ

“Sesungguhnya ia (Alquran) itu benar-benar perkataan utusan yang mulia.
“Dan ia (Alquran) bukanlah perkataan seorang penyair. Sedikit sekali kamu beriman kepadanya.
“Dan bukan pula perkataan tukang tenung. Sedikit sekali kamu mengambil pelajaran darinya.
“Ia (Alquran) adalah [wahyu] yang diturunkan dari Tuhan alam-alam.
“Dan sekiranya dia (Muhammad) mengada-ngadakan sebagian perkataan atas [nama] Kami, “Pastilah Kami pegang dia pada tangan kanannya, kemudian kami potong pembuluh jantungnya.
“Maka tidak seorang pun dari kamu dapat menghalangi [Kami untuk menghukumnya]”
(QS. Al-Haqqah [69]: 40-47)

 

APAKAH PERCAYA PADA KEMURNIAN ALQURAN BERARTI KAFIR?

Kesucian dan kemurnian Alquran dari intervensi subjektif Nabi sejak dahulu kerap diragukan oleh kaum Musyrikin dan penganut non-Muslim era Nabi. Kini, sebagian kalangan ahli juga dengan cara lain meragukan bahkan meyakini intervensi Nabi dalam menerima dan menyampaikan Alquran.

Baca Juga :  QS. Al-Baqarah [2]: 42; Cara Membuat Hoax dan Manipulasi Fakta

Mereka terdesak untuk berpandangan demikian karena, di antaranya, kekhawatiran mereka bahwa jika Alquran yang diturunkan Allah itu sepenuhnya, seutuhnya, sesucinya, dan seobjektifnya diterima Nabi, tanpa intervensi apa pun dari diri beliau, maka itu artinya kita telah menyekutukan Nabi sebagai makhluk dengan Allah Yang Mahaesa, dan ini bertentangan dengan asas Tauhid. Dalam kata-kata sebagian pemikir, orang muslim yang merasa pemahamannya sama dengan maksud Allah berarti telah menempatkan dirinya sebagai Tuhan dan telah kafir sekafir-kafirnya!

Namun, kiranya tidak perlu kuatir bila manusia punya cita-cita menjadi Tuhan, juga tidak perlu tersinggung bila lantas divonis sudah kafir sekafir-kafirnya. Cita-cita adalah tingkatan tinggi dari cinta, dan kesempurnaan cinta yaitu perjumpaan dan ketiadaan diri dalam Tercinta Utama, yaitu Allah. Alquran merupakan kitab suci pernyataan cinta Ilahi yang memberi arahan-arahan penuntun agar cinta sejati manusia berada di jalan mencapai Allah. Di tingkat cintanya mencapai Allah di situlah dia “menjadi Tuhan”.

Menjadi yaitu proses peralihan dari satu keadaan ke keadaan lain. Maka, menjadi Tuhan itu bukan Tuhan itu sendiri. Tuhan tidak mungkin menjadi dan berproses atau beralih keadaan. Dan di sisi lain, menjadi Tuhan yakni proses manusia sampai di tingkat Tuhan. Inilah puncak kesempurnaan manusia, yaitu manusia Tuhan atau, dalam bahasa Ibnu Sina di akhir adikaryanya, al-Syifa’, rabb insani “tuhan-manusia”.

Dalam hadis qudsi disebutkan, “Hamba-Ku, taatlah kepada-Ku, niscaya Aku jadikan kamu seperti Aku.” (al-Jawahir al-Saniyyah, hlm. 709).

Betapapun sempurnanya, manusia hanyalah makhluk dan sama sekali bukan Tuhan. Dia hanya bisa “seperti” Tuhan dan perlu proses menjadi Tuhan, itu pun tidak dengan sendirinya, tetapi disepertikan dan dijadikan oleh Allah menjadi seperti dan menjadi Diri-Nya.

Hamba yang taat, pecinta dan kekasih Allah itulah khalifah-Nya di dunia. Menjadi-Tuhan, karena itu, idealisme dan cita-cita tertinggi dari puncak cinta manusia. Menjadi-Tuhan adalah kesempurnaan, kewajiban sekaligus keinginan manusia Muslim dan, karena itu, tidak perlu kuatir ataupun tersinggung dianggap kafir sekafir-kafirnya.

Hanya perlu juga dicatat, menjadi-Tuhan tidak berarti membuat manusia sempurna menjadi jumawa, ujub (merasa diri lebih baik dari yang lain), keras, kasar dan mengkafirkan orang lain. Menjadi-Tuhan berarti cinta pada semua makhluk Tuhan dan makhluk terbaik-Nya, yaitu manusia. Menjadi-Tuhan yaitu sabar, tetap optimis dan cinta dalam rangka menjalani tugas mencintai makhluk Allah, yakni menunjukkan arah dan cara mencapai Allah.

Share Page

Close