• LAINYA

QURANIKA-FILSAFAT–Dua bulan, dua bencana nasional. Tidak ada yang tahu kapan bencana datang. Juga tidak ada yang tahu itu yang terakhir. Pada siapa pun bencana bisa terjadi. Hari ini, kita tidak tertimpa bencana. Di lain hari, boleh jadi giliran kita diuji langsung oleh bencana. Saat itu kita baru merasakan arti penilaian dan kata-kata kita hari ini.

Baca juga: Kenapa Harus Ada Bencana? 5 Penjelasan Dari Alquran
Baca juga: QS. Al-Baqarah [2]: Ayat 42, Seni Berbohong Dan Merancang Fakta

Dalam relasinya dengan bencana, kita hanya diberi dua opsi: menjadi korban atau selamat. Dalam dua keadaan ini, kemanusiaan dan ketulusan iman kita diuji. Apakah berhasil atau tidak, itu bergantung pada bagaimana diri kita memandang lantas merespon keadaan diri sendiri.

Gejala Radikalisme
Bagi orang ateis, bencana ghalibnya dipandang sebagai alat bantu untuk lebih meyakinkan bahwa Tuhan benar-benar tidak ada dan agama itu percuma. Bencana alam hanyalah bukti atas absennya cinta dan kasih Tuhan.

Pola pandang ini juga bisa dialami manusia bertuhan. Ia mengimani Tuhan sebagai Asal kehidupan dan Sebab segala kejadian. Pada saat bersamaan, ia bisa juga tidak sepenuhnya menggantungkan hidupnya pada Dia. Alih-alih menerima katastrofi seperti: gempa, tsunami dan banjir sebagai sarana memperkuat iman, ia justru menanggapinya dengan rasa terpuruk, putus asa dan kalap “saat penglihatan terpana dan hati menyesak sampai ke tenggorokan hingga kamu berprasangka yang bukan-bukan terhadap Tuhan” (QS.33:10).

Baca juga: Tafsir Sekularisme (1): Ayat-Ayat Yang Diklaim Mendukung Sekularisme
Baca juga: Tafsir Jihad Dan Perang (1): Surah Perang (Al-Qitāl)
Baca juga: QS. Qaf [50]: Ayat 18; Diam Atau Berkata Baik

Orang beriman tadi memandang bencana sebagai kejadian yang sepenuhnya buruk dan tidak ada baiknya sama sekali. Ia tampak radikal menilai bencana semata-mata keburukan dan gagal melihat sisi-sisi positifnya. Gejala radikalisme ini juga dapat dijumpai pada pikiran yang menilai bencana hanyalah azab Tuhan atau mengidentikkannya dengan semata-mata ketiadaan kasih Tuhan.

Di tangan orang selamat, bencana alam bisa berlanjut jadi bencana kemanusiaan.

Ketidakpastian dan Kehati-hatian
Bila sebabnya diurut ke belakang, kejadian bencana sulit dilacak faktor-faktornya secara eksklusif dan definitif sehingga sulit pula dipastikan kapan terjadi. Ilmu empirik apa pun tidak mampu mengidentifikasi sebab kejadian alam hanya itu-itu saja, juga tidak bisa menepis kemungkinan faktor lain di luar jangkauan empiris, termasuk keterlibatan ulah manusia (Misbah Yazdi, 1990, v. 1, p. 103). Bila dalam kitab suci disebutkan manusia sebagai salah satu sebab kerusakan alam (lih. QS.30:41), data ini semestinya dipandang, secara filosofis, tidaklah mustahil.

Baca Juga :  Filsafat Alquran (2): Sejarah Jatuh-Bangun Manusia dalam Relasi Akal dan Wahyu

Karena itu, menilai bencana sebagai azab tidak keliru. Namun, mendefinisikannya semata-mata azab juga tidak berarti benar. Ulah manusia bukan satu-satunya sebab; masih terbuka keterlibatan sebab alternatif lain yang boleh jadi lebih dominan dalam kejadian suatu bencana. Juga sebaliknya, sama sulitnya memastikan tidak adanya pengaruh ulah manusia.

Baca juga: QS. Al-Dhaha [93]: Ayat 7; Nabi Sesat (1): Antara Tidak Tahu, Bingung Dan Lengah
Baca juga: QS. Al-Nur [24]: Ayat 35: Wahdatul Wujud (1); Kafir Atau Tidak?

Dalam ketidakmustahilan dan ketidakpastian ini, rasional kiranya:
Pertama, tidak memandang bencana secara dikotomis dan hitam-putih: azab atau rahmat Tuhan, kasih atau murka Tuhan;
Kedua, memandang penting semua faktor yang mungkin terlibat dan berpengaruh.
Dalam kerangka filsafat inilah peran ilmu empirik dan agama sama krusialnya dalam mengantisipasi dan menangani bencana.

Ujian untuk Semua
Bila dampaknya ditinjau ke depan, bencana alam tampak nisbi dan beragam nilainya. Dalam tinjauan filsafat, alam ini medan relativitas; di dalamnya tidak ada kejadian yang benar-benar mutlak: baik sepenuhnya atau buruk sepenuhnya (Farabi, 1408 H, p. 46). Kejadian buruk apa pun masih membuka celah untuk dilihat nilai dan dimensi positifnya. “Karena bersama kesulitan ada kemudahan. Bersama kesulitan ada kemudahan” (QS.94:5-6). Juga benar sebaliknya, kejadian baik pun tidak menutup peluang bernilai negatif (lih. QS.2:216).

Maka itu, nalar manusia juga kitab suci sepakat menempatkan bencana sebagai rahasia takdir yang hanya menampilkan separuh wajahnya. Dalam ketidakpastian ini ujian jadi bermakna. Bencana sesungguhnya ujian bukan hanya bagi korban, tetapi juga bagi warga di tempat yang paling aman. Terutama pemerintah sebagai penanggung jawab utama penanganan bencana, setiap warga juga diuji moralitas kemanusiaan dan keberimanannya.

Baca Juga :  Allah: Ada di mana? Kapan Dia Ada? Di Luar atau Bersama Makhluk?

Dalam posisi sebagai korban, biasanya hati kita dikuatkan dengan pesan sabar beserta tawakal. Pesan ini tidak akan berarti apa-apa bila tidak menumbuhkan harapan untuk tetap bertahan selama dalam penderitaan. Sebaliknya, sekedar doa dan kata-kata empatis hanya menyisakan putus asa dan kecewa. Iman pada Tuhan sebagal Asal kehidupan dan segala kejadian tidak cukup menanamkan harapan itu bila tidak dilengkapi dengan ajaran kehidupan setelah kematian, yakni iman pada Tuhan sebagai Asal kehidupan sekaligus Tujuan hidup. Iman ini sejatinya merupakan dasar ketetapan hati dalam berharap dan bersabar untuk siap kehilangan sementara.

Baca juga: QS. Maryam [19]: Ayat 96; Syarat Menjadi Manusia Rahmatan Lil Alamin
Baca juga: QS. Al Imran [3]: Ayat 169; Jihad Dan Syahid, Dua Ajaran Unik Dan Istimewa

Dalam posisi sebagai selamat, ujian orang bebas bencana tidak lebih ringan dari ujian korban: sekuat apa hatinya peka, tergetar dan terpanggil, setulus apa akalnya menyadari suara hati untuk fokus dan peduli serta bergerak bersama membantu meringankan beban korban. Kalaupun bencana itu jadi pelecut kita yang selamat untuk bersyukur, tetap saja syukur tidak berarti bila tidak berdampak pada kepedulian. Di tangan orang selamat, bencana alam bisa berlanjut jadi bencana kemanusiaan.

Menundukkan Alam
Bencana alam memang tidak pandang bulu. Tetapi, bila keterlibatan manusia dalam kejadian bencana tidaklah mustahil, manusia juga punya peluang bernegosiasi dengan alam. Kendati alam tidak berkolusi, ia masih bisa disuap. Menjadi rakyat yang adil dan memerintah dengan adil adalah cara orang selamat menyuap alam dalam menyukuri keberuntungan selamat. Keadilan kolektif ini pasti juga berdampak berkah pada korban. Kecuali berpikiran radikal, perilaku adil tidak dapat dinafikan sama sekali pengaruhnya dalam perubahan alam dan penanganan bencana.

Baca Juga :  Ontologi Manusia (2): Tafsir Fitrah dan Misteri Ruh

Seperti tersirat dalam kitab suci (QS.29:6), dalam filsafat juga terumuskan bahwa kebaikan untuk orang lain adalah juga investasi untuk diri sendiri (Ibn Sina, 1418 H, p. 289). Dengan begitu, cukup alasan egoistis juga altruistis bagi semua orang dalam posisi dan opsi apa pun untuk toleran dalam membaca bencana, terbuka menangkap sinyal-sinyal positifnya, dan bersabar menghadapi musibah satu sama lain.

Anasir keseimbangan dalam menguatkan motivasi berbuat, adil membaca peristiwa, lengkap meninjau sisi dan dimensi serta sabar bekerja sama adalah nilai-nilai yang menampilkan wajah kemanusiaan dan kebertuhanan diri sendiri. Wajah ini kelak menunjang kesiapan kita semua berada entah sebagai korban ataupun selamat.

Dengan nilai-nilai ini, kita tidak lagi kuatir akan gagal menyingkap wajah bencana sepenuhnya atau bencana sendiri tetap merahasiakan wajahnya. Entah sampai kapan manusia menundukkan keperkasaan alam. Setidaknya, masing-masing kita sudah bisa menyadari nilai-nilai tadi sepenuhnya dalam kendali diri sendiri. “Sesungguhnya Allah tidak akan mengubah apa yang ada pada suatu bangsa sampai mereka mengubah apa yang ada pada diri mereka sendiri.”[AFH]

Share Page

Close