• LAINYA

QURANIKA.COM–Sepertinya, argumen ini tercatat paling awal sekaligus indikasi atas kecenderungan awal di kalangan umat Islam dalam menganut doktrin Sekularisme. Benihnya ditanamkan Muawiyah bin Abi Sufyan, tepatnya pada tahun 40 H segera setelah pakta perdamaian dan menerima peralihan pemerintahan dari Imam Hasan bin Ali bin Abi Thalib, (Thabathaba’i, hlm. 21), lalu memantapkannya dengan dengan mengangkat anaknya sendiri, Yazid, sebagai raja. Sebaliknya, Yazid mengokohkan pemisahan agama dari pemerintahan dengan ayat yang kini jadi salah satu argumen andalan sebagian Sekuler, yaitu ayat ke-26 dari Al Imran (Abu Mikhnaf, hlm. 217).

Baca juga: Tafsir Sekularisme (1): Ayat-Ayat Yang Diklaim Mendukung Sekularisme
Baca juga: Tafsir Sekularisme (1): Ayat-Ayat Sekuler (2): Alquran Menafikan Pemerintahan Dari Nabi

Dalam argumen mereka kali ini, ada ayat-ayat yang menunjukkan bahwa kekuasaan adalah karunia yang diberikan kepada siapa pun yang Allah kehendaki. Karunia ini umum, tidak terbatasi oleh syarat atau kualifikasi apa pun, sehingga Allah memberikannya kepada siapapun dan dari kalangan manapun, baik yang mukmin maupun yang fasik. Sementara posisi kenabian tidaklah demikian. Allah menekankan bahwa kenabian adalah karunia khusus yang hanya diberikan kepada manusia pilihan.

Perbedaan ini (kekuasaan sebagai karunia umum dan kenabian sebagai karunia khusus) menunjukkan bahwa kenabian, wahyu dan agama adalah perkara samawi yang sakral, sedangkan kekuasaan dan pemerintahan adalah perkara duniawi yang profan dan diserahkan kepada manusia sendiri. Ayat berikut ini secara jelas menunjukkan bahwa kekuasaan terbuka bagi semua orang.

“Engkau memberikan kekuasaan kepada siapa pun yang Kau kehendaki dan mencabutnya dari siapa pun yang Kau kehendaki” (QS. Al Imran [3]: 26).

Ayat lain secara mutlak menunjukkan bahwa Allah memberikan kekuasaan kepada siapa saja yang Dia kehendaki:

“Dan Allah memberikan kekuasaan-Nya kepada siapapun yang Dia kehendaki, dan Allah Mahaluas (pemberian-Nya) dan Mahatahu” (QS. Al-Baqarah [2]: 247).

Tinjauan Kritis
Ada dua catatan yang patut digasibawahi dalam mengevaluasi argumen Sekuler di atas:

Pertama: Campur-aduk antara Kehendak Cipta dan Kehendak Tinta
Berdasarkan prinsip-prinsip qurani dan filosofis, Allah adalah Pencipta dan Sumber ada segenap makhluk dalam awal kejadiannya (hudūtsan) sampai keberlangsungan adanya (baqā’an). Setiap gerak dan perbuatan yang terjadi di dunia bergantung pada Allah melalui sebab-sebab dan perantara. Dalam ilmu Kalam, doktrin ini disebut dengan Tauhīd Af‘ālī (mengesakan Tuhan dalam tindakan-Nya).

Baca juga: Penguasa Dan Seni Menaklukkan Rakyat
Baca juga: Tafsir Psikologis Pembangunan Dan Perjuangan Umat

Dengan kata lain, setiap aksi, besar ataupun kecil, seperti jatuhnya daun dari pohon atau pergerakan planet, terjadi dengan kuasa dan izin Allah. Izin ini diistilahkan dengan Kehendak Cipta (irādah takwīyyah). Karena itu, semua perbuatan manusia, baik yang terpuji (seperti beriman dan berbakti) maupun yang tercela (seperti kafir dan maksiat), terjadi dengan kehendak cipta Allah. Artinya, Dia memberi kemampuan kepada manusia untuk melakukan perbuatan baik dan buruk ini.

Baca Juga :  Palestina dalam Alquran (2): Bani Israel Nama Surat dalam Alquran

Selain kehendak cipta, Allah juga memiliki kehendak lain, yaitu keinginan-Nya agar manusia, sebagai makhluk yang berkehendak-bebas, hanya melakukan perbuatan baik dan meninggalkan keburukan dengan kemampuan yang dimilikinya. Namun, kehendak ini hanya berbentuk arahan dan hukum saja, bukan determinasi dan pemaksaan sebagaimana kehendak cipta. Dengan kata lain, manusia dengan kehendak-bebasnya bisa saja menyalahi kehendak Allah ini, tetapi dia akan mendapat konsekuensinya dari Allah di akhirat kelak. Kehendak ini disebut dengan Kehendak Tinta (irādah tasyrī‘iyyah).

Dengan kata lain, kehendak cipta Allah adalah takdir Allah itu sendiri. Semua yang terjadi adalah takdir Allah. Penciptaan manusia juga berdasarkan takdir Allah. Takdir Allah atas manusia yaitu menciptakannya sebagai makhluk yang hidup dengan kehendak-bebas. Dalam rangka takdir dan kodrat inilah Allah menetapkan hukum-hukum atas kehendak-bebasnya.

Ketetapan hukum ini adalah kehendak tinta Allah dan, berdasarkan takdir Allah, tidak memaksa kehendak-bebas manusia, karena kalau memaksa, ini sama artinya manusia bukan makhluk yang hidup dengan kehendak-bebas dan merusak takdir Allah itu sendiri dalam penciptaan manusia. Ketetapan hukum Allah ini juga adalah agama, yaitu mengarahkan dan mengatur kehendak-bebas manusia. Jika kehendak-bebasnya sesuai pengaturan hukum, agama dan kehendak tinta Allah, maka ia taat, namun jika tidak lagi sesuai, maka ia bermaksiat, “Dan katakanlah, ‘Kebenaran itu dari Tuhan kalian; barangsiapa mengkehendaki [beriman], maka berimanlah, dan barangsiapa menghendaki [kafir], maka menjadilah kafir” (QS. Al-Kahf [18]: 29).

Baca juga: Tafsir Jihad Dan Perang (1): Surah Perang (Al-Qitāl)
Baca juga: QS. Qaf [50]: Ayat 18; Diam Atau Berkata Baik

Atas dasar premis ini, pemerintahan semua penguasa, dari dulu sampai sekarang, terjadi dalam kerangka kehendak cipta dan takdir Allah, karena berkuasanya seseorang atau, secara umum, terjadinya suatu peristiwa akan berlangsung melalui sebab (seperti: sebab sosial, politik, dan sebab lainnya); yang semuanya kembali kepada Sebab Utama (Allah), “Dan kepada-Nya kembali semua urusan” (QS. Hud [11]: 123).

Maka, bisa dikatakan bahwa pemerintahan para penguasa, baik ataupun buruk, terwujud dengan kehendak cipta Ilahi. Tentu saja, kehendak ini bukan argumen atas legitimasi pemerintahan itu. Dengan kata lain, pemerintahan penguasa zalim terjadi dengan kehendak cipta Allah, bukan dengan Kehendak Tinta dan tidak sesuai dengan pengaturan hukum-Nya. Karena itu, Allah tidak menyetujui pemerintahan semacam ini. Dengan demikian, pemerintahan zalim, dari satu sisi, bisa dinisbatkan kepada Allah (kepada kehendak cipta-Nya) dan, dari sisi lain, juga bisa dinafikan dari-Nya (dari kehendak tinta-Nya).

Baca Juga :  Mufasir Perempuan (2): Banu Mujtahidah Isfahani dari Persia

Ringkasnya, Allah mengatur kejadian dan kelangsungan pemerintahan berdasarkan sistem kausalitas dan, di dalamnya, Dia tidak melakukan intervensi langsung di luar sistem tersebut. Namun, masalah kenabian dan agama, seperti yang diklaim kaum Sekuler, adalah perkara yang terwujud dengan seleksi Allah. Dia memilih manusia pilihan-Nya menjadi nabi menjadi penyampai wahyu dan agama-Nya.

Karena itu, berkuasanya para nabi juga dilakukan Allah berdasarkan sistem kausalitas dan mekanisme yang lazim di alam ini. Allah tidak membuat nabi berkuasa dan memerintah dengan mukjizat, tetapi melalui sebab-sebab seperti: kehendak umat dan kondisi zaman.

“Sesungguhnya Allah tidak akan mengubah nasib suatu kaum sampai mereka sendiri yang mengubahnya” (QS. Al-Ra‘d [13]: 11; Al-Anfal [8]: 53).

Sampai di sini jelas bahwa, pertama, kenabian terwujud dengan seleksi dan kehendak khas Allah. Kedua, pemerintahan siapa pun terjadi dengan kehendak cipta-Nya. Namun, khusus untuk pemerintahan orang-orang saleh, Dia juga memberikan kehendak tinta dan legitimasi-Nya.

Baca juga: QS. Al-Dhaha [93]: Ayat 7; Nabi Sesat (1): Antara Tidak Tahu, Bingung Dan Lengah
Baca juga: QS. Al-Nur [24]: Ayat 35: Wahdatul Wujud (1); Kafir Atau Tidak?

Catatan: Gejala Radikalisme dan Eksklusivisme
Tampak sekali, dalam argumen ketiga ini, bagaimana Sekuler membela diri dengan takdir Allah. Mereka yang biasanya paling depan menunjukkan diri sebagai orang-orang inklusif dan pluralis justru terlihat radikal dalam memahami takdir dan kehendak Allah, yakni memaknai takdir dan kehendak Allah secara eksklusif hanya pada satu makna: kehendak cipta, tanpa peduli dan terbuka melihat kehendak tinta Allah sebagai bagian dari kehendak cipta-Nya.

Gejala ekslusivisme dan radikalisme di kalangan Sekuler, dalam argumen mereka ini, juga dipicu oleh ketidakpedulian mereka terhadap ayat-ayat yang menghormati peran kehendak-bebas manusia dalam kejadian peristiwa dan perubahan nasib seperti ayat terakhir tadi. Sekali lagi ironis, mereka yang paling bersemangat menyuarakan humanitas dan nilai-nilai kemanusiaan justru menjadi kehilangan semangatnya ini dan tidak peduli dengan kehendak-bebas manusia sebagai pemeran utama perubahan dan salah satu penentu peradaban. Dengan kata lain, dengan hanya berpegang pada takdir dalam pemahaman sempit seperti di atas, mereka justru seolah-olah lebih teologis dan lebih fanatik dengan Allah.

Baca Juga :  QS. Al-Baqarah [2]: Ayat 121; Membaca Alquran Berarti Mengerti dan Mengamalkan

Kedua: Sekularisme dan Legitimasi Rezim
Apakah premis bahwa pemerintahan itu perkara tata-cipta (takwīnī) dan takdir Allah, yang mencakup rezim yang kompeten (memenuhi kriteria) juga rezim inkompeten, bisa dijadikan argumen atas Sekularisme?

Jawabannya, tidak ada hubungan antara premis dan argumen ini, sama sekali. Sebab, yang diklaim dalam doktrin integralitas kenabian dan pemerintahan adalah kehendak tinta (tasyrī‘ī) Allah: yakni aturan hukum-Nya agar manusia dengan kehendak-bebasnya berupaya menggabungkan kedua-duanya.

Baca juga: Cara Filsafat Menaklukkan Bencana
Baca juga: Kenapa Harus Ada Bencana? 5 Penjelasan Dari Alquran
Baca juga: Kontradiksi Alquran (1): Dalam Beribadah, Ada Batasnya Atau Tidak Ada?

Namun, sebagaimana telah dikemukakan, mungkin saja kehendak tinta Allah ini tidak terealisasi dan kenabian tetap terpisah praktis dari kekuasaan. Kendati begitu, keterpisahan ini dan berkuasanya orang-orang yang inkompeten tidak bisa dijadikan argumen bahwa Allah telah menghendaki (menginginkan dan melegitimasi) kekuasaan mereka ini atau, pada hemat kaum Sekuler, terpisahnya agama dan pemerintahan.

Jadi, legitimasi tidak bisa disimpulkan dari sekedar berdirinya pemerintahan. Jika fakta dan kejadian berkuasanya suatu rezim dijadikan dalil untuk legitimasi pemerintahannya, maka ada lebih banyak fakta berkuasanya rezim-rezim bahkan dalam sejarah umat Islam sendiri yang despotik dan kejam dapat dibela benar serta sesuai keinginan Allah hanya dengan argumen: semua terjadi karena takdir-Nya!

Jika argumen takdir ini dipertahankan, seorang sekuler yang biasanya beridealisme demokrasi tidak perlu lagi kuatir, kalau tidak berpeluang bekerja sama, dengan rezim manapun yang anti-demokrasi bahkan juga dengan dinasti dan kerajaan. Dengan begitu, tanpa kesepakatan kerja sama, rezim dan dinasti itu sudah mendapatkan legitimasi dan pembenaran dari ayat-ayat Sekuler. Tidak sepenuhnya keliru bila agama, dalam pemahaman ini, berfungsi sebagai candu masyarakat. Alih-alih sebagai inspirasi perubahan dan semangat perbaikan, Alquran jadi surat kuasa untuk siapa yang berkuasa.

[arabic-font]أَلَمْ تَرَ إِلَى الَّذِينَ يَزْعُمُونَ أَنَّهُمْ آمَنُوا بِمَا أُنزِلَ إِلَيْكَ وَمَا أُنزِلَ مِن قَبْلِكَ يُرِيدُونَ أَن يَتَحَاكَمُوا إِلَى الطَّاغُوتِ وَقَدْ أُمِرُوا أَن يَكْفُرُوا بِهِ وَيُرِيدُ الشَّيْطَانُ أَن يُضِلَّهُمْ ضَلَالًا بَعِيدًا[/arabic-font]

Tidakkah engkau memperhatikan orang-orang yang mengaku bahwa mereka telah beriman pada apa yang diturunkan kepadamu dan kepada apa yang diturunkan sebelummu, tetapi mereka masih mau menyerahkan ketetapan hukum kepada taghut, padahal mereka telah diperintahkan untuk mengingkari taghut, dan setan telah menyesatkan mereka dengan kesesatan yang sejauh-jauhnya.”
QS. Al-Nisa’ [4]: 60

Share Page

Close