• LAINYA

QURANIKA.COM–Asal men-share berita dan langsung memviral cerita, menurut sebuah hadis, adalah pembiasaan diri jadi pembohong. Kebiasaan ini juga disebut polos dan lugu, yakni gampang percaya, sehingga tidak sadar juga tidak kuatir kalau dirinya sedang bekerja demi kebohongan. Kepolosan bukan hanya tidak berpikir panjang atau tidak tahu dampak dari perbuatannya. Adakalanya tahu, tapi tidak bijak mengkonsumsi dan menviral berita. Banyak bicara dan pandai berargumentasi bisa juga tetap polos karena meloloskan jadi siaran apa yang ada dalam benaknya tanpa melalui pikiran yang jernih dan hati yang tulus.
 
[arabic-font]يَا أَيُّهَا الَّذِينَ آمَنُوا إِن جَاءَكُمْ فَاسِقٌ بِنَبَإٍ فَتَبَيَّنُوا أَن تُصِيبُوا قَوْمًا بِجَهَالَةٍ فَتُصْبِحُوا عَلَىٰ مَا فَعَلْتُمْ نَادِمِينَ[/arabic-font]

“Wahai orang-orang beriman! Jika seorang fasik membawa suatu berita kepadamu, maka telitilah kebenarannya agar kamu tidak mencelakakan suatu kaum karena kebodohan yang akhirnya kamu menyesal atas apa yang telah kamu perbuat.”
QS. Al-Hujurat [49]: 6

Suatu karakter tidak terbentuk begitu saja; perlu adaptasi. Termasuk berbohong akan menjadi karakter dengan pembiasaan diri. Pertama kali bohong terasa deg-degan tak nyaman; ada perlawanan dan perang di batin. Awalnya coba-coba, memulai bohong dari yang kecil-kecil dan, bila terulang, berikutnya makin berani berbohong yang lebih serius sampai akhirnya nyaman dalam berbohong. Itu tanda hatinya sudah mati, mata hatinya sudah buta.

Imam Ali Zainal Abidin mengingatkan, “Hati-hati dari berbohong kecil juga besar, dalam keseriusan juga canda, karena bila sudah berbohong hal kecil, ia akan berani berbohong hal besar.”

Lalu, apa kira-kira berbohong kecil itu? Apa ukuran seseorang sudah tidak jujur dan mulai berbohong kecil?

Dalam ilmu Akhlak, bohong yaitu pemberitaan yang tidak sesuai dengan fakta. Sebaliknya, jujur berarti pemberitaan yang yang sesuai dengan fakta. Namun, berita yang jujur dan benar juga bisa dianggap bohong, yaitu menyampaikan berita yang benar adanya namun belum terkonfirmasi, belum pasti kebenarannya bagi seseorang. Maka, berita benar tersebut masih perlu diobservasi bagi orang yang belum yakin akan kebenarannya. Apa jadinya bila ia menshare berita seperti itu? Di sinilah peringatan ayat di atas.

Baca Juga :  Tadabur: QS. Muhammad [47]: ayat 1

Baca juga: QS. Al-Baqarah [2]: Ayat 42; Cara Membuat Hoax
Baca juga: Cara Filsafat Menaklukkan Bencana

Orang yang suka langsung membagi berita, gambar, video, status dan komentar orang lain, terutama di medsos, sudah dapat dikatakan pembohong, karena dengan kebiasaan seperti itu dia tidak menimbang-nimbang, mengkonfirmasi dan memastikan dahulu benar-salahnya berita dan komentar yang masuk. Dengan begitu, dia tidak menyeleksi dan memilah-milahnya sesuai hasil konfirmasi yang meyakinkan sehingga ada kemungkinan terviralkan kebohongan dari mulut dan jarinya. Ayat di atas menyumbat aliran kebohongan sejak dari pangkalnya, yaitu melarang menshare berita yang belum jelas kebenarannya dan mungkin kepalsuannya.

Sejurus dengan itu, Nabi SAW bersabda, “Untuk menjadi pembohong, seseorang cukup membicarakan setiap apa saja yang didengarnya” (Kanz al-Ummāl, hadis no. 8208). Dalam hadis lain dinyatakan, sudah merupakan dosa bagi seseorang yang menyampaikan apa saja yang didengarnya (Kanz al-Ummāl, hadis. No. 8207 & 8224).

Jadi, berdasarkan peringatan hadis-hadis ini, perilaku membicarakan berita dan laporan apa saja yang diterimanya secara langsung atau tidak langsung adalah kebiasaan buruk yang membiarkan kebohongan tak tersaring dan tersebar dari mulut dan medsosnya.

Baca juga: Kenapa Harus Ada Bencana? 5 Penjelasan Dari Alquran
Baca juga: QS. Al-Baqarah [2]: Ayat 42, Seni Berbohong Dan Merancang Fakta

Orang berkebiasaan seperti itu disebut juga polos dan lugu, gampang percaya hingga mempercayai semua yang dibaca dengan matanya dan didengar atau terdengar oleh telinganya. Boleh jadi dia tidak ada maksud buruk, tetapi niat saja tidak cukup. Dia semestinya kritis, tajam dan cermat untuk kemudian percaya pada berita yang sampai kepadanya. Ia seperti pipa saluran pembuangan.

Nabi mendesak agar kita bersikap hati-hati dan waspada pada diri sendiri agar tidak menyesal dan pada masyarakat agar tidak terusik dan dikotori persepsi mereka dengan kebohongan. Hadis di atas mendorong kita agar, sebelum berbicara dan menshare berita, mencerna duhulu dengan kebijaksanaan, yaitu hati yang bersih dan pikiran yang jernih: apakah berita itu benar atau tidak, apakah bermaslahat diviralkan atau tidak.

“Hati-hati dari berbohong kecil juga besar, dalam keseriusan juga canda, karena bila sudah berbohong hal kecil, ia akan berani berbohong hal besar.”
Imam Ali Zainal Abidin ra.

Dengan ayat dan hadis di atas kita dididik agar bersikap kritis sebelum menyebarkan berita, layaknya pipa saringan yang hanya mengeluarkan air bersih layak dikonsumsi dan menyehatkan. Seperti juga air yang asalnya bersih bisa kemudian jadi keruh bila mengalir di pipa yang kotor, berita yang benar bisa jadi kebohongan yang berbahaya bila masuk ke pendengaran dan penglihatan seseorang tanpa melalui saringan pikiran yang jernih dan hati yang tulus. Pikiran yang kotor dan hati yang keruh akan mencampur berita dengan kotoran dan keruhannya.

Baca Juga :  Tadabur: QS. Al-Fatihah [1]: ayat 5 (Bagian Terakhir)

Baca juga: Tafsir Sekularisme (1): Ayat-Ayat Yang Diklaim Mendukung Sekularisme
Baca juga: Tafsir Jihad Dan Perang (1): Surah Perang (Al-Qitāl)
Baca juga: QS. Qaf [50]: Ayat 18; Diam Atau Berkata Baik

Maka itu, melawan kepolosan dan tidak mudah percaya adalah salah satu cara menjaga diri dari berbohong dan membohongi orang lain, caranya:

1. Terbuka menerima berita dan informasi. Tahu itu lebih baik daripada tidak tahu (QS. Al-Zumar [38]: 18).

2. Penting, memilih berita yang penting bagi dirinya, meninggalkan apa yang tidak berguna bagi dirinya (QS. Al-Zumar [38]: 18). Nabi bersabda, “Bagian dari kesempurnaan islam seseorang ialah meninggalkan apa yang tidak penting bagi dirinya” (Al-Albani, al-Targhīb wa al-Tarhīb, hadis no. 2339).

3. Sabar, tidak panik dan tidak tergesa-gesa (QS. Al-Isra’ [17]: 11; QS. Al-Kahfi [18]: 66-69), sehingga tidak terbawa emosi sendiri, arus kehebohan, rumor dan opini yang berkembang.

4. Kritis, menampung dan mencerna berita yang penting bagi dirinya secara hati-hati tentang kebenara isinya dengan cara mengamati konsistensi isinya, atau membandingkan dengan berita lain, atau mengkonfirmasi ke sumber terpercaya (QS. Al-Hujurat [49]: 6).

5. Ragu adalah alarm peringatan, maka sedikit saja ada keraguan apalagi menduga-duga tentang suatu teks atau gambar berita sudah cukup menjadi alasan untuk diam, tidak men-share dan tidak memviralkan. “Mereka tidak lain hanyalah mengikuti dugaan, dan sesungguhnya dugaan itu tidak mencukupi sedikit pun dari kebenaran” (QS. Al-Najm [53]: 28).

Baca juga: QS. Al-Dhaha [93]: Ayat 7; Nabi Sesat (1): Antara Tidak Tahu, Bingung Dan Lengah
Baca juga: QS. Al-Nur [24]: Ayat 35: Wahdatul Wujud (1); Kafir Atau Tidak?

6. Objektif, terserah pada fakta dan data, bukan pada teman, kubu atau kebanyakan orang, “Jika kamu mengikuti kebanyakan orang di muka bumi ini, niscaya mereka akan menyesatkanmu dari jalan Allah” (QS. Al-An’am [6]: 116). Ali bin Abi Thalib mengatakan, “Kebenaran tidak diukur dengan status orang. Kenalilah kebenaran, engkau akan tahu orang yang benar” (Mīzān al-Hikmah, jld. 1, hlm. 658).

Baca Juga :  Gara-gara Orang Murtad, Kaisar Romawi Belajar Tafsir Al-Fatihah dari Khalifah

7. Bijak dan menimbang asas maslahat, apakah berdampak positif dan pada moment yang tepat ataukah tidak (QS. Al-Zumar [38]: 18).

8. Baca bismillah sebelum menshare teks atau gambar. Sebagai orang beriman sudah sepatutnya memulai apa saja dengan bismillah agar sadar bahwa ia tidak dalam rangka melakukan perbuatan tercela, tetapi tulus untuk ibadah dan sesuai dengan keinginan Allah. “Dan sesungguhnya [surat] itu adalah dari Sulaiman, dan itu sesungguhnya adalah ‘Dengan Nama Allah yang Mahakasih dan Maha Pengasih” (QS. Al-Naml [27]: 30).

9. Konsisten pada kebenaran agar pantas menasihatkan kesabaran dan kebenaran kepada orang lain (QS. Al-Ashr [103]: 3).

10. Dan terakhir adalah kesatria. Manusia tempat kesalahan, dan tidak ada kesalahan yang tidak bisa diperbaiki. Pintu taubat senantiasa terbuka. Entah disengaja atau tidak kesalahan itu, perbaikan dapat tercapai cukup dengan insaf, berjiwa besar dan kesatria untuk meminta maklum dan maaf serta tidak mengulang kembali. “Dan Dialah yang menerima taubat dari hamba-hamba-Nya dan meaafkan kesalahan-kesalahan dan mengetahui apa yang kalian kerjakan” (QS. Al-Syura [42]: 25).[HCF]

Share Page

Close